Dua tahun perjalanan Marcus/Kevin terasa seperti melintasi jalan tol. Tanpa hambatan merebut gelar demi gelar hingga menjadi nomor satu sejagad. Namun dua tahun tersebut mustahil berhasil baik bila mengenyahkan kenyataan bagaiaman perjuangan mereka sebelumnya.
Seperti atlet-atlet berprestasi lainnya yang memberi kesaksian bahwa tidak ada yang instan untuk meraih prestasi. Konklusi ini setidaknya menyata dalam beberapa titik perjalanan mereka. Pertama,bakat tidak cukup, meski bukan berarti diabaikan begitu saja. Kevin memiliki darah bulu tangkis, setidaknya mengacu pada hubungan darah dengan mantan pemain ganda putra Indonesia Alvent Yulianto Chandra.
Dari hubungan ini meski tidak linear kita bisa mendapatkan Kevin dengan talenta olah tepok bulu yang menonjol sebelum dikenal luas seperti sekarang. Saat masih bermain di level junior kemampuan “jump smash” dan pergelangan tangan yang begitu lentur sudah terlihat. Ia pernah mendapat julukan “Flying Kevin” karena loncatan dan gerakan smes yang mengundang decak kagum meski hanya bertinggi 170 cm. Begitu juga keterampilan memainkan raket untuk menghasilkan tipuan-tipuan yang mencengangkan.
Meski begitu Kevin mengawali semuanya dari belakang rumahnya di Bayuwangi, Jawa Timur. Mulai melihat orang bermain bulu tangkis, lantas tertarik mencoba. Berkat dukungan sang ayah bernama Sugiarto, Kevin dikirim ke klub. Itu pun ia masih harus berpindah-pindah sebelum mengantarnya mengikuti audisi PB Djarum pada 2006.
Pada percobaan pertama ia gagal. Meski begitu ia tak patah arang dan datang lagi ke Kudus, tempat klub itu berada, tahun berikutnya.
Kedua,bersedia berpetualang. Menjadi seorang pebulutangkis itu tidak hanya siap berkarib dengan perjalanan dari pertandingan ke pertandingan, juga menuntut kesediaan untuk siap dibongkar pasang. Jarang kita mendapatkan pemain bulu tangkis yang tetap dengan satu nomor sepanjang karier. Meski perubahan ini hampir menjadi sesuatu yang lumrah, tidak semua perubahan itu bisa diterima dengan mudah dan begitu saja oleh setiap pebulutangkis.
Hal tersebut dialami Kevin dan Marcus. Setelah diterima di PB Djarum, Kevin tidak lantas mendapat kemewahan. Ia masih harus berjuang dengan atlet-atlet lain yang notabene berpostur lebih meyakinkan. Turun di nomor tunggal putra, Kevin pernah gagal dan merasa dianaktirikan.
Ia kemudian diminta bermain di nomor ganda putra pada 2010. Meski sempat kecewa dan berat hati ia pun meninggalkan Kudus menuju Petamburan, Jakarta Barat sebagai pusat latihan nomor ganda PBS Djarum.
Kevin masih harus berganti nomor lagi.Berpasangan dengan Masita Mahmudin keduanya tampil di Kejuaraan Dunia Junior 2013. Meski tak juara, performa di turnamen itu mengantar keduanya ke Pelatnas PBSI di Cipayung.
Berkenalan dengan dua nomor itu membuatnya kerap berganti pasangan. Ia pernah berpasangan dengan Arya Maulana Aldiartama dan Selvanus Geh di ganda putra. Selanjutnya bertandem dengan pemain senior Greysia Polii di nomor ganda campuran. Bersama Grace, keduanya sempat mengukir sejarah di Indonesia Open Super Series Premier 2014. Di babak pertama, mereka sukses menumbangkan pasangan peringkat satu dunia asal China, Zhang Nan/Zhao Yunlei. Meski begitu jalan panggilan Kevin menuju puncak prestasi ditempuh melalui ganda putra bersama Marcus Gideon.
Tantangan yang sama dialami pula oleh Marcus. Lebih kental dari Kevin, darah bulu tangkis Marcus langsung berasal dari sang ayah, Kurniahu, pebulutangkis legendaris era 1970-1990-an. Ia ditempa langsung oleh sang ayah yang juga pendiri PB Tangkas, klub yang kemudian membesarkannya.