Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Selamat Marcus/Kevin! Juara All England dan Segera ke Puncak Dunia

13 Maret 2017   07:43 Diperbarui: 13 Maret 2017   08:42 919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Marcus/Kevin juara All England 2017/badmintonindonesia.org

All England 2017, selain menghadirkan persaingan ketat yang menarik ditonton, juga menghadirkan banyak kejutan. Salah satu kejutan adalah tidak ada juara bertahan yang mampu mempertahankan gelar, meski situasi ini bukan fenomena baru sejak 1899 saat pertama kali digelar.

Setelah Lin Dan dijegal juniornya Shi Yuqi di semi final maka podium juara perhelatan tertua di dunia tahun ini diisi muka-muka baru. Namun satu  gelar dari antaranya menjadi milik pemain senior Malaysia, Lee Chong Wei. Kemenangan atas pemain masa depan China itu, menambah koleksi gelar All England Datuk Lee dengan tiga gelar sebelumnya, di tahun 2010, 2011 dan 2014.

Shi tetap patut diapresiasi walau gagal meladeni Chong Wei. Pemuda yang baru merayakan ulang tahun ke-21 pada 28 Februari lalu adalah pemain masa depan potensial. Satu atau dua tahun mendatang panggung tunggal putra dunia akan menjadi arena pertarungannya bersama sederet pemain muda lainnya seperti Viktor Axelsen dari Denmark, dan tunggal putra Indonesia seperti Jonatan Christie, Ihsan Maulana Mustofa dan Anthony Sinisuka Ginting.

Saat itu terjadi ketika para pemain senior satu per satu mulai termakan usia. Generasi Lin Dan dan Chong Wei sudah tak bisa lagi berkompromi dengan tubuh. Namun sebelum para pemain muda itu berjaya, tidak mudah bagi mereka untuk merebut takhta yang saat ini masih dikuasai Chong Wei.

Kemenangan atas Shi menunjukkan bahwa Chong Wei masih bertaji. Meski usianya lebih tua 13 tahun dari Shi, performa Datuk masih apik dan masih mampu mengakali staminanya dengan permainan taktis dan terukur. Chong Wei hanya memberi 12 poin di set pertama kepada Shi dalam laga berdurasi 18 menit.

Situasi hampirtak berubah di game kedua. Shi masih sulit menandingi Chong Wei yang begitu tenang dan tak tergoyahkan baik saat diserang maupun dipancing dengan permainan net. Seperti pertemuan terakhir di Jepang tahun lalu, Chong Wei pun mengakhiri perlawanan tunggal nomor 10 dunia itu dua game langsung 21-12 dan 21-10.

Kemenangan ini sekaligus memperpanjang rekor tak terkalahkan Chong Wei atas Shi menjadi 3-0. Di samping itu kegagalan Shi mengisyaratkan bahwa belum ada juara baru di nomor ini sejak 2010 silam. Gelar juara hanya berputar di antara Chong Wei, Lin Dan (2012 dan 2016) serta Chen Long (2013 dan 2015).

Lee Chong Wei juara tunggal putra All England 2017/@YonexAllengland
Lee Chong Wei juara tunggal putra All England 2017/@YonexAllengland
Chong Wei berhasil membawa pulang satu-satunya gelar bagi Malaysia dari Birmingham, Inggris. Sebagai gantinya China yang gagal melalui Shi-namun menjadi isyarat bagus bagi karir Shi yang membetang panjang-lebih dulu mengunci gelar di nomor ganda campuran.

Pertemuan keempat antara Lu Kai/Huang Yaqiong dan Peng Soon Chan/Liu Ying Goh membuka partai final di BarclayCard Arena. Di tiga pertemuan sebelumnya, termasuk terakhir di Australia Open 2016, Lu/Huang tak terbendung. Namun di pertemuan kali ini Peng/Liu yang diunggulkan di tempat keenam nyaris mengakhiri catatan buruk itu. Keduanya mampu merebut set pertama dan memaksa unggulan lima itu bekerja keras di duga game selanjutnya selama 1 jam dan  26 menit dengan skor 18-21 21-19 21-16.

Andai saja Peng/Liu menang maka sejarah baru akan tercipta di panggung All England. Keduanya akan menjadi pemain Malaysia pertama yang menjadi juara setelah David Chong yang berpasangan dengan June White dari Inggris pada1953. Bayangkan sudah berapa puluh tahun lalu.

Tetapi sejarah masih belum berubah. Sejak All England naik level menjadi Super Series pada 2007-lantas Super Series Premier empat tahun berselang, tidak ada negara lain yang berhasil merontohkan dominasi China dan Indonesia. Sejak Zhang Jun/Gao Ling juara pada 2006 hingga Praveen Jordan/Debby Susanto pada 2016 kemudian beralih lagi pada Lu/Huang, China sudah merebut tujuh gelar juara. Sementara sisanya, empat kali, menjadi milik Indonesia.

Kevin/Marcus ke puncak dunia

Indonesia tidak pernah absen mengirim wakil ke final All England sejak 2012. Setelah tahun lalu Praveen/Debby sukses merebut gelar, tahun ini giliran Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo naik podium tertinggi.

Di partai final unggulan lima ini sukses membungkam Li Junhui/Liu Yuchen asal China. Sebelum pertemuan ini Marcus/Kevin dibayangi rekor buruk di pertemuan sebelumnya di Vietnam Open 2015. Saat itu Li/Liu, unggulan enam, menang, 21-15 21-23 18-21.

Seperti yang ditunjukkan saat menumbangkan Mads Conrad Petersen/Mads Pieler Kolding di semi final, kemenangan ini sekaligus merontohkan statistik pertemuan. Duo Mads dua kali menggulung Marcus/Kevin. Termasuk di babak perempat final All England 2015 dengan skor 11-21 21-10 dan 13-21. Namun kali ini keduanya balas dendam menggasak wakil Denmark itu dalam laga berdurasi 69 menit, yang berkesudahan 19-21 21-13 dan 21-17.

Menghadapi Li/Liu, Marcus/Kevin bermain tenang dan fokus. Kepercayaan diri keduanya benar-benar terlihat sejak awal. Menyata dalam permainan taktis dan agresif. Meski pemain China terkenal ulet dan tak mudah menyerah, Marcus/Kevin tak pernah kehabisan akal untuk mendapatkan poin. Smes kencang dipadu dengan tipuan-tipuan mematikan menjadi bagian dari penampilan ciamik mereka. Juara Australia dan India Open 2016 itu hanya butuh 36 menit untuk memastikan gelar juara dengan skor 21-19 dan 21-14. Kemenangan straight set itu berbuah gelar super series premier kedua setelah di China Open tahun lalu.

Menyusul kemenangan per 16 Maret nanti, keduanya berada di puncak rangking dunia, melampaui prestasi Oktober tahun lalu di urutan dua dunia. Tambahan 11.000 poin membuat perolehan poin keduanya menjadi 73.051 uggul atas pasangan Malaysia, Goh/Tan dengan 72.467.

Kekalahan Li/Liu menambah pukulan bagi China yang harus pulang dengan satu gelar setelah peluang menambah gelar di tunggal putra kandas. Hasil  ini mengulangi pencapaian tahun lalu dimana Lin Dan berhasil menyelamatkan muka Negeri Tirai Bambu itu yang merebut tiga gelar di tahun sebelumnya.

Patut dicatat pencapaian China kali ini sekaligus meninggalkan catatan bagi sektor ganda putri. Untuk pertama kali sejak 1996 tanpa wakil China di final. Setelah 20 tahun, tahun ini mahkota itu menjadi milik Korea Selatan melalui Chang Ye Na/Lee So Hee . Unggulan empat ini berhasil menggagalkan satu-satunya harapan Denmark, Kamillla Rytter Juhl/Christina Pedersen. Kamilla/Christina yang dijagokan ditempat kedua menyerah dua game langsung 21-18 dan 21-13. Kekalahan ini tentu mengecewakan pasangan senior Denmark itu. Selain semakin tertinggal dalam catatan pertemuan menjadi 1-3, juga gagal mengulangi hasil baik di pertemuan terakhir di Olimpiade Rio 2016.

Duel sengit antara dua pemain muda menutup babak final. Unggulan teratas dari Taiwan Tai Tzu Ying menghadapi Ratchanok Intanon (5) asal Thailand. Tai berhasil membuktikan statusnya sebagai ratu bulu tangkis dunia dengan memenangkan pertandingan alot dengan skor akhir 21-16 dan 22-20. Statistik pertemuan kedua pemain itu pun imbang dalam 14 pertemuan.

Dengan demikian tahun ini distribusi gelar merata, China, Malaysia, Korea Selatan, Indonesia dan Taiwan berbagi gelar. Taiwan adalah muka baru seperti Rusia tahun lalu mengejutkan dunia melalui ganda putra Vladimir Ivanov/Ivan Sozonov. Sementara Jepang tahun ini kehilangan dua gelar, tidak hanya dari nomor tunggal putri melalui Nozomi Okuhara juga ganda putri setelah jagoannya Misaki Matsutomo/Ayaka Takahashi gagal menunjukkan kelasnya.

Indonesia masa depan

Marcus/Kevin berhasil mengakhiri penantian dua tahun Indonesia setelah Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan naik podium tertinggi pada 2014. Keduanya berhasil mengikuti jejak para pendahulu.Mulai dari Christian Hadinata/Ade Chandra (1972 dan 1973), Tjuun Tjun/Johan Wahjudi (1974, 1975, 1977, 1978, 1979, 1980), Rudy Heryanto/Harimanto Kartono (1981, 1984), Rudy Gunawan/Eddy Hartono (1992), Rudy Gunawan/Bambang Suprianto (1994), Rexy Mainaky/Ricky Subagja (1995 dan 1996), Tony Gunawan/ Candra Wijaya (1999), Tony Gunawan/Halim Haryanto (2001),  hingga Sigit Budiarto/Candra Wijaya yang merebut gelar 11 tahun sebelum Ahsan/Hendra Setiawan  pada 2014.

Secara keseluruhan Indonesia sudah meraih 49 gelar dari arena All England dan 19 dari antaranya dari nomor ganda putra. Tentu sebuah pencapaian yang patut diapresiasi bagi sektor ganda putra yang tak pernah berhenti menyumbang gelar.

Prestasi Marcus/Kevin diharapkan semakin memotivasi para pemain muda dan para pemain dari sektor lain untuk mengukir prestasi pula. Sektor putri baik ganda maupun tunggal, begitu juga tunggal putra sudah lama puasa gelar All England.

Susy Susanti menjadi tunggal putri terakhir yang juara All England pada 1994. Di tahun yang sama Heryanto Arbi mengalahkan Ardy B Wiranata untuk merebut gelar tunggal putra. Meski demikian nomor tunggal putra masih sempat mengirim Budi Santoso ke final pada 2002 sebelum dikalahkan Chen Hong dari China, 4-7 5-7 1-7. Itulah saat terakhir sektor tunggal Indonesia unjuk gigi.

Indonesia terakhir kali berjaya di nomor ganda putri pada 1979 melalui pasangan Verawaty dan Imelda Wiguna, sekaligus menjadi pasangan kedua yang merebut gelar juara setelah Minarni Sudaryanto/Retno Koestijah pada 1968.

Tentu banyak pekerjaan berat yang harus dikerjakan Indonesia agar bisa lebih berprestasi di All England dan turnamen-turnamen berbintang. Stamina yang harus digenjot, mental bertanding yang harus diasah, selain teknik dan skill yang ditempa melalui latihan dan kerja keras.

Melihat beberapa pemain negara lain jatuh bangun di lapangan untuk merebut kemenangan saya jadi berpikir mengapa heroisme dan daya juang para pemain Indonesia tidak bisa seperti mereka. Apakah mental dan semangat pantang menyerah kurang tertantang, atau kita terlalu menyerah pada takdir dan kekalahan? Bakat memang tak bisa dibohongi, tetapi tanpa kerja keras semua itu hanya omong kosong, bukan?

Selamat Marcus/Kevin! Mari bekerja lebih keras Indonesia!

N.B

Hasil pertandingan final All England 2017:

Ganda putra

Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo (Indonesia) vs Li Junhui/Liu Yuchen (China) 21-19, 21-14

Ganda putri

Chang Ye-na/Lee So-hee (Korea Selatan) vs Kamilla Rytter Juhl/Christinna Pedersen (Denmark) 21-18, 21-13

Tunggal putra

Lee Chong Wei (Malaysia) vs Shi Yuqi (China) 21-21, 21-10

Tunggal putri

Tai Tzu Ying (Taiwan) vs Ratchanok Intanon (Thailand) 21-16, 22-20

Ganda Campuran

Lu Kai/Huang Yaqiong (China) vs Chan Peng Soon/Goh Liu Ying (Malaysia) 18-21, 21-19, 21-16

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun