Pak Tjip dan Om Bamset adalah beberapa contoh Kompasianer yang memanfaatkan Kompasiana sebagai ruang yang penyingkapan. Itu contoh kecil fenomena ketersingkapan di Kompasiana. Dan itu hanya satu bagian kecil dari dinamika di blog terbesar di Indonesia ini.
Kompasiana mula-mula mengusung slogan “Sharing & Connecting.” Sejak awal tahun ini, slogan itu berganti. Beyond Blogging.Bukan lagi berbagi dan berjejaring, tetapi sudah saatnya melampaui itu.
Hemat saya keberadaan Kompasiana dengan semboyan baru ini sarat makna dan tepat waktu. Sebagai sebuah paltfom digital, peran berbagi dan saling berhubungan itu tetap dimainkan. Sesuatu yang niscaya, tak terhindarkan. Kompasiana tetap menjadi medium bagi para Kompasianer dengan segala kepentingannya. Tidak hanya terus menarik anggota, bahkan dengan cita-cita besar menjadi blog terbesar di Asia dan dunia. Tetapi lebih dari itu di era serba keterbukaan ini, semboyan itu mendapatkan pemaknaan tersendiri.
Banyak pakar sepakat bahwa kita sedang berada di era pasca kebenaran. Kebenaran telah mati, karena yang lebih berperan saat ini adalah berita palsu atau hoax.Celakanya, hoaxitu bisa dipercaya dan dianggap sebagai kebenaran.
Banyak bertebaran di sosial media dan media digital tulisan-tulisan yang diragukan kebenarannya. Berita-berita palsu itu cepat tersebar, mendapat banyak komentar dan tanggapan. Lucunya tidak sedikit mendatangkan ulasan dan analisis bahkan dibicarakan lagi di media konvensional. Benar bahwa saat ini media sedang membicarakan media.Media menjadi berita (Kompas,30 Januari 2017, hal.12).
Apakah selama ini Kompasiana terbebas dari hoax? Apakah para Kompasianer selalu setia mengabarkan kebenaran, menulis dalam berbagai bentuk apa adanya, tanpa memelintir, merekayasa dan mengada-ada? Tidak ada kepentingan lain di Kompasiana selain berjejaring dan berbagi dengan tulus?
Kita tentu memiliki jawaban masing-masing. Sebagai Kompasianer yang masih hijau saya belum berani memberi penilaian. Mengutip hasil penelitian Nic Newman, peneliti di Reuters Institute for the Study of Journalism dalam Proyek Berita Digital 2017 yang diterbitkan Reuters Institut, ada ketakutan terhadap perkembangan teknologi yang bisa memengaruhi mutu informasi dan kehidupan berdemokrasi. Ada kekhawatiran tersendiri terhadap peran platform digital yang berkembang saat ini.
Bagaimana dengan Kompasiana? Tentu sejauh ini Kompasiana sudah memainkan peran seleksi dan kurasi.Apakah itu sudah cukup?
Kedua,tidak cukup mengandalkan teknologi. Kepalsuan mesti dikonfirmasi dengan kebenaran. Dan kebenaran yang belum juga beranjak itu harus bermula dari itikad dan niat baik kita semua. Berani menulis tentang kebenaran, menyajikan informasi secara berimbang, melawan kepentingan picik dan tendesius dan berani berkata tidak pada godaan bersikap partisan. Peran ini mestinya dimainkan oleh para Kompasianer.
Ketiga,seperti ditulis Rhenald Kasali di Koran Sindo, 12 Januari 2017, disruption yang terjadi mestinya memacu kita untuk mengambil dua hikmah. Bahwa keburukan apapun itu tidak akan pernah bisa tersembunyi. Peran kita sebagai blogger dan pengguna media digital adalah turut andil menegakan kehidupan bersama tanpa kepura-puraan.