Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

(LOMBAPK) Siti dan Pastor di Flores

24 Januari 2017   14:25 Diperbarui: 24 Januari 2017   17:33 1130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di keluarga inti, Yanto “minoritas.” Saudarai-saudarinya mengikuti keyakinan sang ibu, seperti halnya kakak sulung serta Aryanti, bungsu yang turut serta di acara tahbisan hari itu.

Siti dan Yanto adalah gambaran kecil keberagaman hidup umat di Flores khususnya. Selain keragaman kultural, perbedaan keyakinan sudah biasa. Sudah dipandang sebagai sesuatu yang terberi, tidak untuk dipertanyakan, apalagi dipersoalkan lagi.

Bukan baru hari in Flores merayakan keberagaman multidimensional itu. Di Flores, salah satu noktah di gugus kepulauan Nusa Tenggara Timur yang berbentuk ular-karena itu disebut juga Nusa Nipa atau Pulau Ular, dengan delapan kabupaten mulai dari Flores Timur di ujung timur hingga paliang barat di Manggarai Barat sudah “berwarna” sejak abad ke-15 saat Syahbudin bin Salman Al Faris alias Sultan Menanga datang menyebarkan Islam di Pulau Solor, Flores Timur. Selanjutnya Islam mulai merambah ke Ende, di bagian tengah pulau, hingga kini tersebar di seluruh Flores.

Penerimaan calon imam oleh seorang ibu berhijab dalam upacara tahbisan di Nangaroro, Kabupaten Nagekeo, 10 Januari lalu/facebook GerogeSogeSoo
Penerimaan calon imam oleh seorang ibu berhijab dalam upacara tahbisan di Nangaroro, Kabupaten Nagekeo, 10 Januari lalu/facebook GerogeSogeSoo
Selain melalui hubungan kekerabatan dan kawin-mawin, interkasi antaragama terutama dengan pemeluk Katolik sebagai mayoritas, juga terjadi melalui hubungan perniagaan. Banyak pedagang datang dari daerah-daerah di luar Flores, baik itu dari Sulawesi, Kalimantan hingga Jawa, kemudian tinggal dan menetap.

Semua hidup berdamping-dampingan. Interaksi sosial selalu berlangsung dalam semangat saling menghargai. Apa yang oleh Paus Fransiskus disebut sebagai pengalaman pertemuan antarbudaya (culture of encounter) benar-benar dihayati dengan disposisi dan sikap siap mendengarkan dan memahami pihak lain.

Sikap seperti itulah yang membuat Siti Asiyah dan kelurga muslim tidak bersoal jawab dengan sang putra yang memilih jadi pastor. Dukungan penuh Siti dan keluarga dalam kadar berbeda seperti dukungan segenap warga Flores khususnya dan NTT umumnya kepada Azizah, penyanyi remaja beragama Islam asal Maumere yang mencuri perhatian pada konteks dangdut di salah stasiun tv swasta nasional.

Demikian pula dalam arti luas membuat Flores hampir tidak pernah disebut karena gesekan antaragama atau aliran kepercayaan, sama seperti keragaman kultural primordial yang paling asali yang terus dihargai hingga kini. Bisa jadi pengalaman asali itu membuat kehadiran agama-agama tidak dipandang sebagai soal beberapa waktu lalu.

Jumat, 20 Januari 2017 lalu Flores kembali bersuka cita. Sebanyak 11 imam baru ditahbiskan di Paroki St.Martinus Nangaroro, Kabupaten Nagekeo. Seperti biasa masyarakat dari ragam latar belakang berbeda melebur jadi satu.

Masing-masing orang datang dan mengambil bagian sesuai porsinya. Seorang ibu berpakaian tradisional setempat berpadu hijab dengan warna senada menyambut hangat para calon imam dan mengalungkan selendang kepada mereka satu per satu.

Imam baru bersama grup kasidah/facebook GeorgeSogeSoo
Imam baru bersama grup kasidah/facebook GeorgeSogeSoo
Malam itu di salah satu gubuk acara syukuran imam baru sebuah rombongan ibu-ibu berhijab turut menyemarakan suasana dengan musik kasidah. Semua tenggelam dalam kebahagiaan, tak ada jarak karena berbeda penampilan karena kepercayaan. Ini bentuk toleransi yang sangat mendasar, hingga menyentuh hal paling pribadi. Bisa jadi bukan karena momen tahbisan pastor yang melebur segala perbedaan, tetapi karena kesadaran yang telah tertanam kuat di kalangan masyarakat setempat bahwa keberagaman itu niscaya. Kita ditakdirkan berbeda-beda dan  menyatu dalam serba perbedaan itu.

Jangan kita pura-pura lupa mirip lupa pakai celana ala Prof Peb misalnya, apalagi sampai lupa diri dengan kodrat itu.

planet-kenthir-logo-1-575a6b2a8223bda205866aa9-5886ff122bb0bdd904e545e2.jpg
planet-kenthir-logo-1-575a6b2a8223bda205866aa9-5886ff122bb0bdd904e545e2.jpg

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun