Di keluarga inti, Yanto “minoritas.” Saudarai-saudarinya mengikuti keyakinan sang ibu, seperti halnya kakak sulung serta Aryanti, bungsu yang turut serta di acara tahbisan hari itu.
Siti dan Yanto adalah gambaran kecil keberagaman hidup umat di Flores khususnya. Selain keragaman kultural, perbedaan keyakinan sudah biasa. Sudah dipandang sebagai sesuatu yang terberi, tidak untuk dipertanyakan, apalagi dipersoalkan lagi.
Bukan baru hari in Flores merayakan keberagaman multidimensional itu. Di Flores, salah satu noktah di gugus kepulauan Nusa Tenggara Timur yang berbentuk ular-karena itu disebut juga Nusa Nipa atau Pulau Ular, dengan delapan kabupaten mulai dari Flores Timur di ujung timur hingga paliang barat di Manggarai Barat sudah “berwarna” sejak abad ke-15 saat Syahbudin bin Salman Al Faris alias Sultan Menanga datang menyebarkan Islam di Pulau Solor, Flores Timur. Selanjutnya Islam mulai merambah ke Ende, di bagian tengah pulau, hingga kini tersebar di seluruh Flores.
Semua hidup berdamping-dampingan. Interaksi sosial selalu berlangsung dalam semangat saling menghargai. Apa yang oleh Paus Fransiskus disebut sebagai pengalaman pertemuan antarbudaya (culture of encounter) benar-benar dihayati dengan disposisi dan sikap siap mendengarkan dan memahami pihak lain.
Sikap seperti itulah yang membuat Siti Asiyah dan kelurga muslim tidak bersoal jawab dengan sang putra yang memilih jadi pastor. Dukungan penuh Siti dan keluarga dalam kadar berbeda seperti dukungan segenap warga Flores khususnya dan NTT umumnya kepada Azizah, penyanyi remaja beragama Islam asal Maumere yang mencuri perhatian pada konteks dangdut di salah stasiun tv swasta nasional.
Demikian pula dalam arti luas membuat Flores hampir tidak pernah disebut karena gesekan antaragama atau aliran kepercayaan, sama seperti keragaman kultural primordial yang paling asali yang terus dihargai hingga kini. Bisa jadi pengalaman asali itu membuat kehadiran agama-agama tidak dipandang sebagai soal beberapa waktu lalu.
Jumat, 20 Januari 2017 lalu Flores kembali bersuka cita. Sebanyak 11 imam baru ditahbiskan di Paroki St.Martinus Nangaroro, Kabupaten Nagekeo. Seperti biasa masyarakat dari ragam latar belakang berbeda melebur jadi satu.
Masing-masing orang datang dan mengambil bagian sesuai porsinya. Seorang ibu berpakaian tradisional setempat berpadu hijab dengan warna senada menyambut hangat para calon imam dan mengalungkan selendang kepada mereka satu per satu.
Jangan kita pura-pura lupa mirip lupa pakai celana ala Prof Peb misalnya, apalagi sampai lupa diri dengan kodrat itu.