Dilema kadang menghampiri seorang atlet. Mana yang diutamakan, karir atau pendidikan. Ada yang akhirnya memilih bertekun mengejar prestasi dengan tak menghiraukan pendidikan. Tetapi ada yang menyandingkan keduanya seiring sejalan meski harus berjuang ekstra keras.
Seberat apapun perjuangan di arena masih ada ruang untuk pendidikan baik masih berupa impian yang kelak akan diwujudkan, maupun tertatih-tatih mewujudkannya di tengah sempitnya waktu luang.
Ada banyak contoh atlet yang puas dengan pendidikan seadanya. Misalnya merasa cukup dengan ijazah SMA atau lebih rendah saat meniti karir dan tetap bertahan dengan itu hingga lewat masa pensiun. Di sisi berbeda, banyak atlet yang merasa perlu untuk memasukan pendidikan sebagai prioritas.
Tentang kelompok kedua, atlet yang tidak hanya haus prestasi olahraga juga pendidikan, ada baiknya diangkat karena jumlahnya kalah banyak. Dan lebih penting dari itu adalah mencerna setiap pertimbangan yang diambil. Mengapa mereka masih mau berbagi waktu untuk sekolah dan kuliah? Tidak cukupkah olahraga menghidupkan mereka?
Pada 21 Desember 2016 Lindaweni Fanetri, pemain tunggal putri tim nasional Indonesia memutuskan gantung raket. Keputusan tersebut jelas mengagetkan. Di tengah prestasi sektor tunggal putri Indonesia yang menjadi sorotan, mundurnya Lindaweni mendatangkan rasa kehilangan. Betapa tidak, ia merupakan pemain paling senior yang masih bertahan dengan rangking dunia terbaik, meski tidak masuk jajaran elit.
Di bawah Lindaweni mayoritas pemain pelatnas berusia di bawah 20 tahun. Artinya peran Lindaweni sebagai pengayom, penuntun, dan penyemangat masih dibutuhkan. Kehadirannya bisa menjembatani jurang antargenerasi yang cukup lebar sehingga bisa menarik para pemain di bawahnya untuk segera “naik”.
Mundurnya wanita asal Jakarta itu mengingatkan kita pada Susy Susanti. Walau keduanya memiliki riwayat prestasi berbeda, Lindaweni dan Susy memutuskan pensiun justru saat berada di usia emas. Linda mundur pada usia 26 tahun, setali tiga uang dengan juara Olimpiade Barcelona 1992 itu.
Sekitar 19 tahun lalu, Susy melayangkan surat pengunduran diri setelah memutuskan akan mengikat janji pernikahan dengan sesama pahlawan Indonesia di Olimpiade 1992 di nomor tunggal putra, Alan Budikusuma. Pasangan juara Olimpiade 1992 itu pun menjadi pasangan suami istri.
Sementara Linda melayangkan pengunduran diri karena ingin fokus pada pendidikan. Setelah dipertimbangkan matang-matang, wanita kelahiran 18 Januari 1990 itu hendak menyelesaikan pendidikan strata satu (s1) program studi akuntansi di Universitas Trisakti. Selain itu, ia akan melanjutkan bisnis keluarga.
Pertanyaan besar untuk Lindaweni kemudian muncul. Apakah demikian alasan utama di balik keputusan mundur dari pelatnas? Jangan-jangan, ia tak kuasa menahan beban karena tunggal putri terus menerus mendapat sorotan, bahkan cibiran. Tidak ada yang benar-benar bisa memastikannya selain Linda sendiri.