Setali tiga uang dengan infrastruktur yang terbatas dan geliat ekonomi yang lambat, demikianpun sarana olahraga. Jangan Anda berharap akan menemukan sebuah stadion bertaraf nasional. Yang bisa Anda jumpai adalah sebuah kompleks olahraga seadanya di ibu kota bernama Stadion Lebijaga yang baru akan hidup beberapa kali setahun dengan tingkat keramaian tertinggi pada momen yang disebut Haornas yang mempertemukan tim-tim dari setiap kecamatan.
Namun Anda jangan salah sangka bahwa geliat sepak bola di Ngada sedingin hawanya. Bila Anda ke kampung-kampung akan Anda temukan lapangan-lapangan seadanya bahkan dengan tingkat kemiringan yang ekstrem yang selalu ramai saban sore dan terlebih di akhir pekan.
Ada kisah menarik dari Mataloko, ibu kota Kecamatan Golewa sebagai miniatur geliat arus bawah sepak bola Ngada. Persis di bibir panti pembinaan calon imam/pastor Katolik bernama Seminari Santo Yohanes Berchmans ada sebuah kampung bernama Dolu. Saban sore setelah para siswa seminari selesai berolahraga, bocah-bocah sekolah dasar akan sigap melompat dari tembok-tembok pembatas. Dengan bola seadanya, bahkan terkadang bola sejenis Mikasa mereka akan meramaikan lapangan rumput yang menjadi salah satu lapangan terbaik di Ngada.
Di lapangan itu berpuluh tahun lalu Bruder Othmar Jessberger SVD, seorang misionaris Katolik dari Austria, menanamkan teknik bermain dan melengkapi bakat-bakat muda dengan fasilitas yang cukup dan kemudian melahirkan Nadus Subha, Sius Loke, dan Lipus Tadi yang pernah membela Niac Mitra Surabaya.
Dolu dan kampung-kampung lain di Ngada hampir tak pernah kehabisan bibit potensial dengan kemampuan dasar yang baik. PSN sudah lama menjadi raksasa sepak bola di NTT. Delapan kali juara El Tari Memorial Cup (ETMC), turnamen antarkabupaten dan empat kali beruntun juara edisi terkini Piala Gubernur, turnamen yang baru saja muncul untuk para pemain junior, adalah bukti.
Namun sayang jejak langkah para pemain itu selalu kandas di tengah jalan sebelum menginjak kompetisi profesional. Karena aneka keterbatasan bakat-bakat itu hanya mekar sesaat, tumbuh menghiasi taman sari sepak bola Ngada yang harumnya hanya tercium di tingkat provinsi.
Akhir-akhir ini sepak bola NTT dikenal luas setelah Yabes Roni Malaifani, remaja asal Rote yang “ditemukan” Indra Sjafri masuk ke timnas U-17 dan kini bersama Indra di Bali United. Di Linus ada Yohanes Khristoforus Nono dan Okavianus Wou Pone, ujung tombak PSN yang bersaing dengan striker Perseden I Ketut Tirta Nadi Wardana di daftar pencetak gol terbanyak sementara.
Tidak hanya dua pemain itu. Tak terkalahkan dan mampu menggelontorkan lebih dari 19 gol ke gawang lawan menjadi bukti kualitas para pemain yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Meski Perseden pernah mencatatkan produktivitas gol lebih tinggi (pernah mencetak 32 gol dalam 6 laga di tingkat regional) dan kebobolan lebih sedikit (tak pernah kebobolan di tingkat regional dan hanya kebobolan tiga gol), PSN tetap berpotensi membuat kejutan.
Pembicaraan ini bisa saja terlau hiperbolis karena campuran emosi yang meluap-luap. Namun gambaran tersebut lebih dimaksudkan untuk memberi bukti bahwa banyak bibit potensial tersebar hingga ke pelosok-pelosok negeri.
PSN adalah cerminan wajah sepak bola Indonesia yang kaya tidak hanya dalam euforia tetapi lebih dari itu semangat berkompetisi. Dengan sokongan dana terbatas dan jaminan masa depan yang tidak tentu para pemain itu terus berjuang tak kenal lelah. Mereka tak mau peduli karena itu memilih membuang jauh-jauh setiap bayangan ketidakpastian yang akan merenggut masa depan mereka.