Rangkap jabatan bukan hal baru di negeri ini. Tak terkecuali dalam kepengurusan cabang olahraga. Seakan tak belajar dari pengalaman 'buruk' karena 'hati yang mendua', sejumlah sosok yang masih memiliki tanggung jawab penting di kementerian, instansi daerah, serta kemiliteran seperti berlomba-lomba menduduki pimpinan pucuk pengurus induk olahraga nasional.
PSSI dan PBSI, dua organisasi penting dengan nasib berbeda namun sangat strategis, sedang dikerubuti sejumlah sosok untuk jabatan orang nomor satu. Induk olahraga, masing-masing untuk sepak bola dan bulu tangkis itu, sedang diramaikan kehadiran sejumlah calon dari beragam latar belakang, termasuk dari kalangan pejabat aktif di sejumlah instansi.
Di bulan ini dua organisasi itu akan segera melangsungkan pemilihan Ketua Umum, diawali oleh PBSI yang akan menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) di Surabaya sejak hari ini, 30 Oktober hingga 1 November. Sementara itu PSSI baru akan melangsungkan kongres pada 10 November mendatang.
Terkait PBSI, ada sejumlah nama yang disebut-sebut sebagai calon Ketua Umum. Petahana Gita Wirjawan dikepung oleh Ketua Pengprov PBSI DKI Jakarta, Alex Tirta, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri, Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, dan Menko Polhukam Wiranto. Namun hingga menjelang Munas, baru Gita dan Wiranto yang sudah mengembalikan formulir pendaftaran dan dipastikan siap bertarung dalam Munas nanti.
Terlepas dari berapa banyak calon yang akan bertarung, seperti disinggung di awal, munculnya nama pejabat yang sedang bertugas di instansi tertentu mengundang kekhawatiran tersendiri. Pasalnya Ketua Umum PBSI benar-benar membutuhkan sosok yang bisa memberikan waktu, tenaga dan pikiran sepenuhnya.
Rangkap jabatan dengan sendirinya membagi fokus dan konsentrasi seorang Ketua Umum. Rentang waktu hingga 2020 nanti terlalu panjang dan berharga untuk dijalankan dengan setengah hati. Durasi tersebut sangat berarti untuk membangun kembali supremasi olahraga tepok bulu tanah air yang sedang menjadi sorotan.
Secara iuridis, berdasarkan aturan internal pejabat daerah, seorang pejabat publik dan struktural sejak tingkat pusat hingga daerah diharamkan untuk melakukan rangkap jabatan. Lebih dari itu, di balik larangan tersebut terkandung hikmah agar olahraga tanah air yang sedang terpuruk benar-benar dikelola dan dikendalikan dengan sepenuh hati, segenap tenaga dan seluruh perhatian.
Bisakah kita menjamin seorang pemimpin yang rangkap jabatan, apalagi di instansi yang sangat strategis dan vital, akan mampu mendedikasikan diri secara total untuk mengurus bulu tangkis Indonesia? Jawaban tentu saja tidak. Gita Wirjawan yang notabene tak terikat jabatan struktural saja masih butuh waktu, pikiran, dan tenaga lebih untuk menegakkan kembali supremasi  bulu tangkis kita.
Saat ini perkembangan bulu tangkis dunia semakin pesat dan merata. Tingkat persaingan pun semakin seimbang. Negara-negara yang sebelumnya dikelompokkan sebagai underdog sudah mulai unjuk gigi. Selain negara-negara Eropa seperti Rusia dan Spanyol, di kawasan Asia Tenggara, Thailand sudah mampu bersaing. Bahkan di sejumlah sektor, terutama putri, Negeri Gajah Putih itu sudah bergerak jauh di depan Indonesia.
Tiongkok yang sempat terkoyak di Olimpiade Rio 2016 sudah langsung bergerak cepat. Bahkan Negeri Tirai Bambu itu sudah lebih awal mengantisipasi dengan melakukan proses regenerasi yang baik. Kegagalan di ajang empat tahunan itu langsung ditebus dengan mengorbitkan sejumlah bibit-bibit muda.
Beberapa nama bisa disebut. Di sektor ganda campuran setelah mundurnya Zhao Yunlei, Tiongkok kini memiliki Chen Qingchen dan Zheng Siwei. Juara All England 2016, Praveen Jordan/Debby Susanto sudah tiga kali bertekuk lutut masing-masing di Austaralia Open, Denmark Open, dan terkini di babak perempat final French Open. Dan masih banyak lagi.