Sejumlah hasil penelitian mutakhir menempatkan bangsa kita dalam situasi krisis. Ya, krisi kompetensi hampir dalam segala segi, dan merasuk hingga kelompok dewasa.Hasil tes PIAAC atau Programme for the International Assessment of Adult Competencies yang menyasar kecakapan orang dewasa diperoleh hasil yang memprihatinkan. Hampir semua jenis kompetensi yang diuji seperti literasi, numerasi, dan pemecahan masalah (problem solving), kita berada di titik nadir.
Seperti diutarakan Victoria Vanggidae (Kompas,2/9/2016), mayoritas responden mendapat skor di bawah level 1 atau tingkat terbawah. Kondisi ini membuat siapa saja pantas menepuk dada, membayangkan bagaimana tingkat kecakapan literasi orang dewasa kita. Padahal penelitian itu hanya mengambil tempat di Jakarta, yang notabene menjadi etalase Indonesia, sekaligus daerah dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 78,99, jauh di atas rata-rata nasional yang hanya menyentuh angka 69,5. Bagaimana bila penelitian tersebut dilakukan di luar Ibu Kota dan menyasar daerah-daerah terpencil? Kita sudah bisa membayangkan seperti apa hasilnya.
Penelitian tersebut bukan indikator satu-satunya. Bukti empiris lain mengemuka dari penelitian lainnya yang sudah rutin kita ikuti yakni PISA, yang juga turunan dari PIAAC. Hasilnya setali tiga uang. Kita berada di kelompok terbawah.
Dalam situasi ini timbul pertanyaan, apa yang menyebabkan kompetensi orang dewasa kita bisa sedemikian anjlok? Beragam hipotesis bisa dikemukakan. Namun satu hal tak bisa disepelehkan yakni kualitas pendidikan kita.
Dengan tanpa perlu merunut pendidikan mereka, situasi pendidikan kita saat ini jelas menunjukkan seperti apa kondisi riil. Lagi-lagi data berbicara. Menurut data Kemendikbud 2015/2016, tak kurang dari 997.554 siswa SD putus sekolah (Riduan Situmorang, Kompas,27/10/2016). Situasi ini sungguh memprihatinkan mengingat SD merupakan jenjang pendidikan paling dasar sekaligus fital. SD tak ubahnya fondasi bagi jenjang pendidikan berikutnya.
Tidak perlu mencari data untuk mencari tahu seperti apa kondisi di level pendidikan di atasnya. Dari data ini kita sudah bisa menarik kesimpulan seperti apa rupa pendidikan di jenjang menengah hingga perguruan tinggi. Fondasi dasar saja sudah amburadul bagaimana dengan tingkatan-tingkatan di atas. Setiap kita bisa menjawabnya sendiri tanpa perlu berpanjang-panjang di sini.
Pertanyaan, mengapa angka putus sekolah bisa sedemikian tinggi? Salah satu sebab utama adalah soal akses dan biaya pendidikan. Bukan rahasia lagi, biaya pendidikan meningkat dari waktu ke waktu. Di tengah situasi ekonomi yang sulit, susah bagi masyarakat sederhana untuk menyesuaikan diri. Di kampung-kampung, anak-anak terkadang lebih memilih membantu orang tuanya berladang atau beternak ketimbang bersekolah. Bahkan tak sedikit yang menjadi “mesin uang” bagi keluarganya.
Belum lagi, minimnya sarana dan prasarana seperti akses jalan, ruang belajar dan tenaga pendidik. Sekalipun pemerintah telah meluncurkan Program Wajib Belajar 12 Tahun yang dilengkapi dengan aneka kartu sakti seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan berbagai peluang beasiswa, hasil di lapangan masih jauh dari yang diharapkan.
Apa yang tertera dalam kebijakan tidak seratus persen diterjemahkan dalam realitas. Antara kata-kata dan praksis sering bertolak belakang. Sekalipun hadir sekolah-sekolah gratis, namun yang terjadi justru tak lebih dari ruang-ruang abal-abal yang masih lekat dengan aneka pungutan. Saban tahun ajaran baru pemandangan tersebut jelas terlihat.
Dalam kondisi ini, pertanyaan penting mencuat: mau di bawa kemana generasi Indonesia? Saat ini Indonesia sudah mulai dianugerahi bonus demografi yang akan berpuncak pada 2030 nanti. Tenaga muda produktif (di atas 15 tahun dan di bawah 65 tahun) bakal melimpah. Apa jadinya bila generasi-generasi muda dan bertenaga itu tak dibekali pendidikan dan keterampilan yang memadai? Bukankah yang terjadi adalah bencana demografi berupa hadirnya generasi gagal yang tak mampu berbuat apa-apa?
Sejak dini
Seperti sudah disinggung sebelumnya salah satu persoalan krusial yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masalah dana pendidikan. Tidak semua masyarakat kita mampu membekali anak-anaknya dengan pendidikan yang terbaik. Alih-alih mengirim buah hati mereka ke sekolah-sekolah terbaik, yang ada malah mengajak mereka untuk “terpaksa” menganggur atau memilih jalan putus sekolah.
Selain mengandalkan pemerintah, meski menjadi salah satu penanggung jawab utama berdasarkan amanat undang-undang, kita bisa bergerak dengan cara lain. Hadirnya berbagai asuransi adalah alternatif di tengah kegersangan pilihan hidup.
Saat ini masih bercokol anggapan bahwa produk asuransi hanya milik kelompok tertentu. Hanya orang-orang dari kelas menengah atas yang bisa membeli dan membekali diri dengan layanan asuransi. Muncul pemikiran apriori bahwa premi asuransi mahal dan tidak terjangkau.
Anggapan tersebut sudah langsung dijawab oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan menggalakan asuransi mikro. Berdasarkan survei nasional tentang literasi keuangan yang dilakukan oleh OJK pada 2013, hanya 21,8 persen atau seperlima dari pendudukan Indonesia yang memiliki tingkat literasi asuransi baik (Kompas,18/8/2016).
Dari sisi asuransi jiwa, penetrasinya juga masih rendah. Berdasarkan data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), per triwulan I-2016, baru 7 persen penduduk Indonesia menjadi nasabah asuransi jiwa.
Pada tataran tertentu, kehadiran sejumlah produk AJB Bumiputera hendak menjebatani kebutuhan masyarakat akan proteksi diri, baik jiwa, kesehatan maupun pendidikan. Dalam konteks pembicaraan ini, setidaknya ada dua produk Bumiputera yang benar-benar menjawab kerinduan masyarakat untuk mendapatkan sokongan finansial untuk masa depan pendidikan anak-anak.
Pertama, Mitra Beasiswa. Produk ini memiliki manfaat sepenuhnya untuk pendidikan anak. Mulai dari jenjang pendidikan paling dasar, seperti Taman Kanak-kana hingga perguruan tinggi, kebutuhan sang buah hati dipenuhi seutuhnya.
Produk ini benar-benar menjamin keberlangsungn pendidikan sang anak sekalipun pada suatu waktu orang tua meninggal dunia. Anak-anak masih tetap mendapat beasiswa hingga lulus sekolah.
Beberapa manfaat lainnya adalah:
@ Dana Kelangsungan Belajar (DKB) yang dibayarkan secara bertahap, sesuai dengan tingkat usia anak, baik tertanggung hidup atau meninggal dunia.
@Dana Beasiswa anak, dibayarkan pada saat periode asuransi berakhir, baik tertanggung masih hidup atau meninggal dunia.
@Santunan meninggal dunia sebesar 100% dari uang pertanggungan
@Bebas premi bagi polis jika Tertanggung meninggal dunia.
@Pengembalian simpanan premi bagi polis saat tertanggung meninggal dunia jika premi dibayarkan secara penuh setelah jumlah premi diperhitungkan.
@Hak untuk mendapatkan Reversionary Bonus, jika tertanggung meninggal dunia, penebusan polis, atau habis kontrak.
Anak tidak hanya dicukupkan kebutuhan pendidikannya. Mereka juga mendapat manfaat tambahan dari hasil investasi, sekaligus belajar untuk berinvestasi bagi masa depan mereka. Niscaya manfaat yang diperoleh ini akan memberikan efek berantai bagi generasi-generasi selanjutnya.
Sejumlah manfaat lain adalah:
@Dana Kelangsungan Belajar (DKB) yang dibayarkan secara bertahap sesuai dengan tingkat usia anak-anak, baik tertanggung hidup atau meninggal dunia.
@Jaminan perolehan hasil investasi sebesar 4,5% per tahun dari akumulasi premi tabungan.
@Tambahan hasil investasi jika dana investasi yang diperoleh AJB Bumiputera 1912 melebihi hasil investasi yang dijamin pada poin 2.
@Santunan kematian 100% dari Uang Pertanggungan.
@Bebas premi bagi polis untuk Tertanggung yang meninggal dunia. Pengembangan investasi sebagaimana dinyatakan pada butir 2 dan 3 untuk Dana Kelangsungan Belajar (DKB), yang tidak dapat diambil pada saat jatuh tempo.
@Jika Pemegang Polis menghendaki, setelah Tertanggung meninggal dunia, polis dapat diakhiri dengan penarikan Dana Kelangsungan Belajar (DKB) sekaligus, tanpa mengurangi hak-hak lain yang diuraikan sebelumnya pada butir 2, 3 dan 4.
Memasyarakatkan Asuransi
Peluang bagus telah ditawarkan Bumiputera, selanjutnya keputusan ada di tangan para orang tua. Bila kita benar-benar mencintai masa depan anak-anak kita dan tidak ingin mereka masuk dalam generasi gagal, maka pintu yang telah dibuka lebar-lebar oleh Bumiputera layak dimasuki.
Namun demikian tidak mudah meyakinkan orang tua untuk berani mengambil sikap. Menyadarkan mereka tentang pentingnya asuransi adalah pekerjaan berat yang kini dihadapi oleh dunia perasuransian. Tak terkecuali Bumiputera. Jalan untuk memasyarakatkan asuransi dan mengasuransikan masyarakat masih panjang.
Dengan pengalamannya lebih dari satu abad menancapkan kuku pengabdiannya di nusantara, diharapkan Bumiputera mampu melebarkan sayap pengaruhnya untuk menarik semakin banyak masyarakat Indonesia agar turut berpartisipasi demi masa depan anak-anak mereka.
Saat ini berbagai kemudahan tersedia, salah satunya adalah kemajuan teknologi informasi komunikasi (TIK). TIK adalah berkah bagi dunia asuransi. Berbagai platform yang tersedia seperti Facebookdan Twittermenjadi tools perpanjangan tangan Bumiputera untuk menjangkau masyarakat luas.
Saat ini ekpansi internet di Indonesia sangat tinggi. Demikianpun dengan tingkat penggunaan sosial media yang menginjak angka yang mencengangkan. Mengapa berbagai kemewahan yang ditawarkan sosial media, dan kegandrungan masyarakat terhadap sosial media tidak dimanfaatkan dengan baik?
Saya yakin Bumiputera tahu akan kenyataan itu dan sedang menyiapkan strategi jitu untuk memanfaatkan aneka kemudahan itu. Beberapa terobosan dan inovasi yang telah dilakukan sejumlah perusahaan asuransi seperti layanan voice yang dapat diakses selama 24 jam melalui telepon seluler, penjualan polis secara daring sambil melakukan sosialisasi dan edukasi, klaim elektronik (e-klaim), sistem pembayaran elektronik, dan masih banyak lagi.
Berdasarkan riset Google dan sebuah perusahaan riset pemasaran pada 2015, terkait kebiasaan digital masyarakat perkotaan (dengan responden warga Jabodetabek, Bandung, Semarang dan Surabaya) diperoleh hasil: 61 persen responden mengaku menggunakan smartphone rata-rata 5,5 jam per hari. Responden menggunakan 16 aplikasi dan laman bergerak sebanyak 46 kali dalam sehari.
Penelitian tersebut, meski belum bisa ditarik konklusi untuk seluruh masyarakat Indonesia, sudah memberikan gambaran terkait penetrasi internet dan telepon pintar. Bahkan ada yang lebih memilih ketinggalan dompet ketimbang telepon genggamnya. Peluang bagi Bumiputera tersaji di depan mata. Dan bila bisa berkolaborasi dengan baik maka akan semakin banyak masyarakat yang terlayani, dan semakin banyak pula anak-anak Indonesia dilindungi masa depannya.
Semoga.
Yuk, cari tahu lebih jauh tentang AJB Bumiputera dengan menggunakan sejumlah pilihan di bawah ini:
Kunjungi website resmi www.bumiputera.com
Hotline Halo Bumiputera 08001881912
SMS center:: 0811881912
Email untuk informasi produk: customercare@bumiputera.com
Email untuk informasi umum: info@bumiputera.com
N.B
Twitter: Charlesemanueld
Facebook: Ale Theia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H