"For 54 years now he's been at it reinventing himself, constantly creating a new identity,"kata Darius.
Tidak lebih besar dari murid
Hadiah Nobel Sastra yang jatuh ke tangan Dylan sekaligus merontokkan berbagai spekulasi. Kejutan kembali terjadi. Sebelumnya nama penulis Jepang, Haruki Murakami paling disebut-sebut. Tahun lalu, Murakami bersama sastrawan asal Kenya Ngugi wa Thiong'o juga masuk nominasi. Namun penghargaan itu akhirnya menjadi milik penulis dan wartawan asal Belarusia, Svetlana Alexievich yang tekenal dengan tulisan dokumenter bergaya cerita naratif itu.
Selain menyisihkan kedua favorit itu, Dylan juga merontokkan sejumlah unggulan seperti sastrawan asal Suriah Adonis, novelis asal Amerika Philip Roth, penulis asal New York, Joyce Carol Oates, peraih Irish Booker John Banville, penyair asal Korea Ko Un, novelis Hungaria Laszlo Krasznakorkai, hingga penulis Argentina Cesar Aira.
Terlepas dari itu, menarik melihat sepak terjang Dylan. Dengan tanpa meremehkan para nominator lainnya, Dylan merupakan sosok besar di dunia musik. Majalah musik kenamaan Rolling Stone sampai-sampai menempatkan Dylan di urutan kedua sebagai “Artis Terbesar Sepanjang Masa” (Greatest Artists of All Time), di belakang The Beatles.
Namun siapa sangka grup band rock asal Inggris itu banyak dipengaruhi oleh gaya bermusik Dylan. Bahkan grup asal Liverpool yang beranggotakan John Lennon, Paul McCartney, Gerorge Harrison dan Ringo Starr ini kerap mendengarkan lagu-lagu Dylan.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa tidak selamanya seorang guru lebih besar dari muridnya. The Beatles yang masyur itu ternyata sedikit banyak “berguru” pada Dylan, yang kemudian tidak lebih tinggi posisinya sebagai artis terbesar sepanjang masa.
Dengan tanpa perlu memperpanjang status tersebut, patut dicatat, Dylan telah berkenalan dengan musik sejak di bangku SMA. Sosok dengan karakter suara yang khas hingga membuat Presiden AS Barack Obama terpukau hingga menganjarnya dengan Presidential Medal of Freedom sudah mulai bergaul dengan sejumlah alat musik seperti gitar dan harmonika sejak remaja.
Tahun 1961 ia pindah ke New York. Namun kecintaannya pada lagu-lagu rakyat dan komunitas rakyat tak juga memudar. Malah semakin kuat. Sejak itu ia terus berkreasi seperti kata Sara Darius menemukan “identitas-identitas” baru yang kita temukan dalam aneka karya utamanya lagu (35 album studio, sepuluh album live, dan delapan seri bootleg), di samping buku (salah satunya yang terkenal berjudul “Tarantula”) dan naskah adegan.
Di usianya yang sepuh, Dylan tampaknya belum kapok berkreasi. Gelora semangat masih cukup kuat membakarnya untuk terus menghidupkan hasratnya seperti tajuk tur yang telah dilakukannya sejak akhir 1980, “Never-Ending Tour” atau “Tur Tanpa Akhir.”.