Bila dikalkulasi, dalam posisi tak bermain, untuk 10 bulan tersisa sebelum masa kontrak empat tahun berakhir, pemain jangkung itu akan mendapat 10 juta poundsterling atau setara Rp 169,126 miliar. Seandainya keduanya bertahan hingga akhir 2017, maka pengeluaran untuk gaji mereka menginjak angka 20 juta poundsterling atau sama dengan Rp 338,25 miliar.
Menghargai prestasi dan kualitas mereka, sejak tahun ini hingga 30 Juni lalu, gaji Schweini menggelembungkan gaji untuk seluruh anggota tim United sebesar 4,5 %. Sementara itu, pada 31 Mei 2015, gaji Toure menyerap 5,1 % dari total tagihan upah The Citizen.
Namun dengan bayaran yang stabil sebesar itu untuk 13 kali penampilan Schhweini dengan lima dari antaranya sebagai pemain pengganti sungguh tidak adil. Apalagi untuk sosok sekaliber Toure dengan upah yang begitu tinggi namun baru sekali tampil yakni di babak playoff Liga Champions menghadapi Steau Bucharest pada akhir Agustus lalu.
Belum laga dengan prospek mereka yang bakal semakin buram, paling banter mendapat satu-dua kesempatan tampil di pentas domestik, hingga masa kontrak berakhir atau dilepas sebagai pemain gratisan, kehadiran mereka tak ubahnya pekerja yang mendapat gaji secara 'buta'. Makan gaji buta, demikian kita mengistilahkannya. Dengan istilah lain, keduanya dibayar untuk tidak bermain.
Membaca situasi keduanya secara lurus dengan logika ekonomi, jelas aneh. Namun menurut ahli keuangan Kevin Roberts, pendiri Sport Business Group, konsep membayar pemain yang tidak bermain tidaklah seaneh yang dibayangkan.
"Jika Anda melihat sebuah klub sepak bola secara ketat sebagai bisnis dan pemainnya sebagai aset, hal itu tidak begitu aneh sama sekali," ungkapnya seperti dikutip dari BBC.co.uk.
Menurutnya fenomena kedua pemain hebat itu bisa dianalogikan seperti investasi perusahaan pada teknologi atau mesin yang kemudian menjadi usang, atau disusul kemajuannya. Perusahaan tidak memiliki pilihan lain selain mengeluarkan banyak uang untuk membeli barang baru untuk menggantikan yang lama atau memindahkannya ke suatu tempat sampai perusahaan tersebut memutuskan apa yang harus dilakukan dengan barang-barang tersebut.
“Pada dasarnya itulah yang telah terjadi di sini, meskipun kita jelas berbicara tentang manusia dan siuasi yang jauh lebih emosional,” simpulnya.
Ya, benar. Sekalipun Toure dan Schweini tak lebih dari aset dalam industri raksasa sepak bola, keduanya tetaplah berbeda. Tak bisa menyamakan mereka dengan benda mati yang mudah dicampakkan begitu saja dan diganti yang baru.