Tiongkok semakin menunjukkan keperkasaannya yang kini menyapu hampir semua sisi kehidupan. Tak terkecuali di dunia olahraga. Negeri Tirai bambu itu cukup jitu memanfaatkan kekayaan populasi penduduk mereka.
Sebagai negeri dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, negeri di Asia Timur itu menjadi pesaing utama Amerika Serikat, negara adidaya itu. Rivalitas keduanya terlihat di arena Olimpiade yang edisi terkini baru saja dihelat di Rio de Janeiro.
Tiongkok pernah menjadi pendulang medali emas terbanyak saat menjadi tuan rumah ajang empat tahunan itu pada 2008 lalu. Pada edisi kali ini, Tiongkok menempati peringkat ketiga di belakang Amerika Serikat dan Britania Raya.
Bila di arena Olimpiade, Tiongkok berada di posisi ketiga, tidak demikian di gelanggang Paralimpiade. Di pesta olahraga terakbar bagi para penyandang disabilitas yang baru saja usai di tempat yang sama, Tiongkok menunjukan superioritasnya. Para atlet difabel Tiongkok begitu digdaya dengan meraup medali terbanyak.
Dengan mengantongi total 239 medali (107 emas, 81 perak dan 51 perunggu) Tiongkok mengemas medali emas mendekati separuh lebih banyak dari perolehan medali Inggris Raya di urutan kedua (64 emas, 39 perak dan 44 perunggu) dan nyaris tiga kali lebih banyak dari medali emas yang berhasil dibawa pulang para atlet Amerika Serikat yang berada di urutan keempat. AS-yang mendapat 40 emas, 44 perak dan 31 perunggu- hanya tertinggal satu medali emas dari Ukraina di tempat ketiga dengan rincian 41 emas, 37 perak dan 39 perunggu.
Catatan prestasi Tiongkok itu sungguh mengagumkan. Kekayaan jumlah penduduk dimanfaatkan sepenuhnya. Situasi ini berbanding terbalik dengan Indonesia. Negara dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia belum juga mampu memanfaatkan kekayaan itu.
Alih-alih bersaing dengan Tiongkok dan Amerika Serikat, Indonesia masih tertinggal dari negara-negara Asia Tenggara yang memiliki jumlah penduduk jauh lebih sedikit.
Di negeri ini penduduk yang melimpah masih sekadar potensi, belum menjadi berkah. Lebih dari 250 juta jiwa masih bertahan sebagai angka statistik belaka. Kita belum sepenuhnya berdaya dan diberdayakan, malah pada titik tertentu dianggap sebagai beban pembangunan.
Dalam konteks itu posisi kaum difabel di Indonesia semakin minor. Mereka semakin terjepit di antara derap pembangunan yang bias dan lebih berorientasi pada yang “normal.” Berapa banyak kaum difabel kita yang sungguh-sungguh diperhatikan, setidaknya diberi ruang aktualisasi? Bisa dibilang dengan mudah!
Sepak terjang mereka di dunia olahraga apalagi. Mereka tak hanya jauh dari publikasi, juga masih belum tersentuh secara layak. Terkesan, Indonesia hanya berpenghuni kaum sempurna.
Memang ongkos yang dikeluarkan untuk memperdayakan para atlet difabel tidak sedikit. Cara-cara yang dilakukan Tiongkok menjadi bukti. Namun hasilnya tak hanya soal prestasi, tetapi lebih dari itu martabat. Tak hanya martabat bangsa, juga martabat seluruh warganya. Tanpa terkecuali.