Namun perayaan ulang tahun tersebut sekaligus menjadi titik awal persoalan. Kegelisahan sang nenek semakin bertambah melihat cucunya yang mendekati kepala tiga belum juga mendapat jodoh. Kegelisahan Nenek cukup beralasan. Sebagai anak tertua yang telah ditinggal pergi sang ibu, perlu segera mendapat pasangan hidup yang diharapkan turut menopang kehidupan keluarga. Di sisi lain, ada harapan tersendiri sang nenek agar bisa mengambil bagian dalam perayaan kebahagiaan saat hari pernikahan tiba, sebelum ajal menjemputnya.
Tak hanya merengek, nenek pun setengah mendesak Sukardan untuk mencarikan jodoh bagi anaknya. Nenek menawarkan cara, mengundang kolega dan rekan kerja Sukardan untuk bertandang ke rumah dalam tajuk acara makan-makan. Siapa tahu pada kesempatan itu ada yang jatuh hati pada Nunung.
Walau terealisasi,bahkan hingga dua kali acara makan digelar, hasilnya diluar harapan. Demikianpun cara lain menggunakan jasa si bungsu Nenny menemui kegagalan yang sama. Tak habis akal, Nenek meminta bantuan Nana.
Sebagai sosok modern yang digambarkan pandai bergaul, modis, dan rajin mengikuti pesta-pesta, Nana diharapkan merasuki sang kakak dengan virus-virus tersebut. Mengajak Nunung ke acara pesta diiniatkan untuk membuka ruang pergaulannya. Siapa tahu berujung jodoh. Dan cara tersebut cukup ampuh. Nunung berhasil diajak ke sebuah pesta.
Namun, Nunung mengalami pergolakan batin saat menghadiri pesta tersebut. Ia merasa terlalu tua untuk pesta seperti itu. Ia merasa diri sebagai seorang tante di antara anak belasan tahun. Padahal bila mau jujur dengan gaun terusan yang selalu menjadi pilihan, ia tak setua yang disadari. Ia pun meminta Herman (Bambang Irawan) mengantarnya pulang.
Tentu kita berharap saat itu ada secercah harapan, setidaknya mengawali babak baru dalam kisah hidup Nunung. Bukan Usmar namanya bila alur cerita sedemikian sederhana dan mudah ditebak. Alih-alih menyukai Nunung, Herman yang digambarkan sebagai sosok mahasiswa sederhana telah lebih dulu menaruh hati pada Nana. Walau Nana sendiri menolak mentah-mentah.
Konflik justru baru terjadi saat peristiwa berikutnya. Saat tengah menyebrang jalan, Nunung diserempet scooter yang dikemudikan Toto (diperankan oleh Rendra Karno). Nunung menunjukkan segala kedewasaannya dan disposisi dewasa, dengan tak mudah mengobral maaf, apalagi “disogok” oleh tawaran mengantarnya pulang.
Masalah tak sampai di situ. Diam-diam Toto membuntuti Nunung yang memilih naik becak. Saban hari Toto rajin menjenguk dan membawa bunga. Setiap kali dijenguk dan dibawakan kembang, Nunung tetap berkeras hati. Bergeming. Apakah kekrasan hati Nunung membuat Toto semakin jatuh hati pada Nunung?
Tak mudah menebaknya, karena kemudian yang terjadi justru cinta segi tiga. Dalam situasi seperti itu, Nanang masuk untuk mendekati Toto. Kisah cinta segita menjadi berlapis-lapis. Dengan kepiawaiannya, Usmar mengantar penonton dari suasana riang dan senang, dansa dan pesta, menuju konflik yang rumit. Hingga suatu hari Nana mengutarakan niatnya menikah dengan Toto.
Kisah ini jelas menggambarkan kualitas seorang Usmar. Dengan bumbu-bumbu Hollywood yang tercermin dalam gaya hidup Nana, juga munculnya sejumlah ornamen Barat, Usmar tetap tak kehilangan sikap kritis dan keberpihakannya pada masyarakat. Perhatian berlebihan dari sosok yang dianggap lebih tua, rasa takut pada stigma buruk “perawan tua” yang membungkus upaya perjodohan adalah sebagian dari praktik hidup masyarakat pada zaman itu.
Sayangnya, mengedepankan otoritas kultural dan ketakutan-ketakutan tak berdasarkan pada urusan asmara hingga urusan rumah tangga masih menjadi tema sosial budaya masyarakat Indonesia hingga saat ini. Pengaruh barat, yang sudah ada sejak zaman Usmar dan diangkatnya secara jelas, tak juga mampu mengubah pola hidup masyarakat kita secara signifikan, baik secara positif (dalam arti menyerap nilai-nilai baik seperti sikap kritis dan rasional), juga secara negatif yakni digiring masuk secara utuh dan bulat dalam gaya hidup bebas dan luwes-untuk mengatakan melewati sekat-sekat ketimuran-baik itu dalam bergaul maupun berpakaian.