Pihak SA Films memandang penting untuk merestorasi film tersebut. Di satu sisi sebagai bentuk penyelamatan terhadap aset penting dari sutradara legendaris Indonesia dan hasil campur tangan penata musik lintas negara Saiful Bahri. Di sisi lain terkait aktualitas film yang menguak banyak sisi, di antaranya terkait kehidupan sosial-budaya masyarakat Indonesia setelah kemerdekaan.
Film yang sukses secara komersial di awal kemunculannya (diputar selama 8 minggu beruntun di seluruh Indonesia, hingga menembus bioskop kelas satu yang berafiliasi dengan asosiasi importir film Hollywood yakni AMPI-American Motion Picture Association of Indonesia dan dianggap sebagai sebagai film Perfini paling sukses dengan pemasukan Rp.10 juta) pun didaku sebagai pemenang Fesival Film Indonesia 1960 kategori Tata Musik Terbaik dan sempat berkompetisi di Festival Film Venesia 1969. Pesona film tersebut tak hanya menggoda Presiden Soekarno hingga memilih melakukan pemutaran pribadi untuk ulang tahun istrinya Hartini di Istana Bogor, juga merasuk hingga ke sendi-sendi kehidupan masyarakat dan perfilman saat itu. Film yang diputar pertama pada 24 Agustus 1957 di Capitol Theatre, Jakarta itu menjadi trend-setter film, dan gaya hidup seperti bermusik dan berpakaian (semisal mode gaun terusan dan celana berpotongan pinggang tinggi) pada masa tersebut.
Walau pengkultusan terhadap Usmar bisa menguburkan peran penting produser, sutradara dan tokoh penting lain pada masa itu, namun peran penting Usmar sungguh tak bisa diabaikan. Menurut Asrul Sani, seperti dikutip Totot Indrarto dalam bunga rampai Lewat Djam Malam Diselamatkan,“sejarah film Indonesia tidak bisa ditulis tanpa menulis sejarah hidup Usmar Ismail.”
Meski film tersebut lahir dari sentuhan Usmar dan sukses secara komersial dan berpengaruh di masyarakat, oleh sejumlah pengamat film tersebut dinilai melangkahi idealisme Usmar yang kritis terhadap realitas saat itu. Menurut Misbach Jusa Biran, sutradara film dan pelopor dokumentasi film Indonesia, dalam wawancara dengan Amalia Sekarjati dan dibukukan dalam Lewat Djam Malam Diselamatkan,disebutkan film tersebut dibuat semata-mata untuk kepentingan komersial.
Namun, keputusan tersebut diambil bukan tanpa pertimbangan. Krisis finansial yang terjadi sejak 1957 hingga 1960-an meruntuhkan industri film. “Banyak yang gulung tikar, pegawai keluar atau diberhentikan karena bangkrut. Studio diambil alih oleh bank dan pemerintah,”ungkap Jusa Biran yang meninggal pada 11 April 2012.
Usmar sendiri merasa malu dan merasa tak pantas membuat film itu, namun pilihan membuat film hiburan yang segar dan lebih menghibur dianggap pas untuk mencari uang. Mengikuti trend film musikal Hollywood yang sedang populer saat itu-karena itu konon mengambil inspirasi dari film komedi musikal Hollywood yang diproduksi tahun 1936 berjudul Three Smart Girls-kelahiran Tiga Dara dianggap membantu. Dan benar-benar terbukti.
Bila benar rasa malu Usmar membuncah saat itu, pertanyaannya, masih pantaskah film tersebut kita tonton lagi saat ini? Dengan kata lain, adakah nilai lebih yang melampaui rasa malu Usmar untuk dinikmati generasi sekarang?
Film ini dibuka dengan adega pesta ulang tahun. Usmar sengaja mengawali adegan tersebut untuk memperkenalkan tiga tokoh utama kakak-beradik-sebagaimana judul film- yakni Nunung yang diperankan Chitra Dewi, Nana (Mieke Wijaya) serta artis pendatang baru saat itu Indriati Iskak yang mengambil peran sebagai Nenny.
Ketiganya hidup bersama sang ayah bernama Sukardan- diperankan oleh Hassan Sanusi, serta sang nenek yang dimaikan oleh Fifi Young. Kehidupan mereka mulanya berjalan damai seperti tercermin dari pesta ulang tahun ke-29 Nunung, sang anak sulung.