Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bersama Bumiputera Wujudkan Mimpi Jutaan Anak Negeri

11 September 2016   00:33 Diperbarui: 11 September 2016   02:00 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari www.bumiputera.com

Data tersebut menjadi salah satu indikator untuk melihat seperti apa pembangunan manusia Indonesia. Angka Partisipasi Sekolah (APS) yang berdampak pada angka rata-rata lama sekolah (mean years schooling) seperti itu mengantar kita pada kesimpulan betapa tertinggalnya manusia Indonesia.

Ketertinggalan itu makin menguat dengan sejumlah data tambahan tentang sejumlah aspek penting lainnya. Nirwan Ahmad Arsuka dalam opininya berjudul “Para Pencipta Sejarah” (Kompas,7/9/2016.hal.6) mengedepankan pengamatan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO) yang secara rutin melakukan kajian tehadap dunia pendidikan Indonesia, Ditemukan kenyataan bahwa tingkat literasi masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Meski tingkat buta huruf berhasil dikurangi, minat baca tetap jongkok.

Hasil ini dipertegas oleh laporan mutakhir dari lembaga yang menggarap proyek World’s More Literate Nations bernama Central Connecticut State University (CCSU).  Menurut lembaga tersebut, Indonsia berada pada posisi 61 dari 62 negara dalam hal minat baca.

Temuan lainnya, dalam dimensi berbeda, dikemukakan oleh PIAAC (Programme for the International Assesment of Adult Competences) untuk mengetahui tingkat kecakapan orang dewasa yang dilakukan oleh Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan atau OECD. Seperti diangkat Victoria Fanggidae dalam kolom opini Kompas,2/9/2016 hal.7, hampir semua jenis kompetensi orang dewasa Indonesia untuk bekerja dan berkarya berada di urutan buncit dari 34 negara OECD dan mitra OECD. Hasil tersebut menunjukkan orang dewasa kita dalam kategori produktif (16-65 tahun) jauh tertinggal dalam hal kemampuan literasi, numerasi dan pemecahan masalah. Skor kita terendah di hampir semua kategori umur.

Data-data memang tak bisa membicarakan realitas secara utuh dan pasti. Penelitian sekalipun tetap memiliki kelemahan. Termasuk soal ruang lingkup yang terbatas serta segala keterbatasan empirikal lainnya. Namun demikian, data-data tersebut, ditambah dengan pengalaman riil seperti dalam kisah Nabila di atas sudah lebih dari cukup untuk membuat kita serius berpikir tentang pendidikan Indonesia saat ini.

Pendidikan merupakan salah satu kunci untuk membuka masa depan yang baik. Tanpa pendidikan yang baik kita sulit mewujudkan cita-cita masyarakat Indonesia yang maju dan sejahtera. Demikianpun masih kurang afdal bila pendidikan yang sedang digalakkan di tanah air sama sekali tak tersentuh evaluasi dan pertimbangan serius karena segala cacat dan kelemahan yang ada perlu dibenahi agar tak memperparah keadaan.

Dari berbagai formula dan racikan strategi yang bisa dibuat, dua hal penting yang tidak bisa diabaikan adalah kerja sama. Berbagai bentuk kerja sama yang sinergis dan konstruktif mesti dibangun. Pada intinya, membangun pendidikan yang berkualitas dan merata tidak bisa mengandalkan kerja satu dua pihak saja. Pemerintah misalnya, meski hadir dengan kebijakan cerdas dengan regulasi terperinci dan ketat sekalipun, bila bekerja sendiri dengan tanpa bantuan tokoh masyarakat, LSM/NGO, tokoh agama, orang tua dan sebagainya, akan ngos-ngosan juga. 

Kejadiaan memalukan yang menghangat di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi contoh kebijakan yang salah jalan. Dugaan penyalahgunaan dana beasiswa yang sejatinya diperuntukan bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu oleh kalangan pejabat setempat tak hanya mencerminkan praktik hidup serakah, juga mengabsahkan kontrol dan pengawasan dalam menjalankan roda kebijakan. Anggaran pendidikan yang malah jatuh ke tangan anak-anak pejabat dan orang-orang kaya itu menunjukkan bahwa satu pihak saja tak cukup untuk menjalankan mimpi besar membangun pendidikan di negeri ini.

Eksekusi

Faktor lain yang tak kalah penting adalah strategi eksekusi. Terlalu banyak rencana dan kebijakan bila tak dijalankan tak ubahnya kata-kata hampa dan teks mati belaka. Kerja nyata dan kerja konkret harus menjadi nafas bersama untuk membangun dunia pendidikan kita.

Ririn dan sang suami sudah berbuat sesuatu bagi Nabila dan anak-anak pesisir di Banyuwangi. Dengan segala keterbatasan, keduanya sudah membantu mewujudkan cita-cita pendidikan sekelompok anak. Dari data di atas masih banyak anak-anak Indonesia yang membutuhkan uluran tangan dan perhatian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun