Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyingkap Kerja Penting Bambang Brodjonegoro di “Rumah Setan”

5 September 2016   00:27 Diperbarui: 5 September 2016   08:38 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Bappenas yang merupakan bekas markas besar gerakan Freemasonry oleh Adolf Heuken dinilai masih menyimpan misteri sejarah. Gambar dari penarevolusi.wordpress.com.

Selayang pandang, penampakannya tak terlalu istimewa. Dibandingkan tempat kerja orang-orang penting lainnya, tempat itu bukanlah yang termutakhir. Tak bertingkat-tingkat sehingga terlalu berlebihan bila sampai didandani lift, atau alat bantu elektrik lainnya. Beberapa anak tangga saja sudah lebih dari cukup untuk menjangkau titik tertinggi.

Serambi dengan empat tiang  besar yang menjorok ke depan menjadi pintu masuk menuju gedung rendah berwarna putih itu. Tambahan dua menara yang mengapit kedua sayap, membuat gedung utama terlihat melebar.  Jendela-jendela kaca berbentuk segi empat berukuran besar nyaris menelan seluruh dinding.  

Gambaran kecil gedung yang terletak di  Jl. Taman Suropati No. 2, Menteng, Jakarta Pusat itu terlihat sederhana untuk sebuah kantor kementerian.  Namun bila diperhatikan lekat-lekat, bangunan itu unik. Desain arsitekturberbeda dari gedung-gedung kebanyakan. Letaknya pun menyendiri, terpisah dari kantor-kantor penting lainnya yang menyemut di sejumlah jalur protokol.  

Saat kita membuka Menteng, Kota Taman Pertama di Indonesia (2001), buku yang ditulis pakar sejarah Jakarta, Adolf Heuken, SJ bersama Grace Pamungkas, riwayat bangunan itu pun terurai.

Menurut pastor Jesuit itu,  sepeti dimuat Kompas.com, Kamis, 2 April 2009, gedung tersebut dibangun pada 1925, bersamaan dengan pembangunan daerah Menteng oleh Pemerintah Kotapraja Batavia.  Bersama Taman Suropati (dalam bahasa Belanda disebut Burgermeester Bisschopplei) kawasan “kota baru” tersebut lahir dari kreasi arsitek PAJ Mooijen.

Mulanya gedung yang berdiri di tengah poros Jalan Imam Bonjol dan Jalan Diponegoro itu diperuntukan sebagai tempat pertemuan perkumpulan kebatinan Ster van het Oosten (Bintang Timur). Perkumpulan itu merupakan bagian dari gerakan spiritual internasional masoni (freemasonry) atau dalam bahasa Belanda disebut “vrijmetselaarij”.  Di kalangan orang Belanda, gedung itu disebut juga Vrijmetselaarsloge (loge berarti rumah pertemuan masoni).

Pada masa itu gerakan tersebut sangat populer. Gerakan moral-spiritual yang muncul pertama kali pada abad ke-16 hingga awal abad ke-17 di Inggris dan Skotlandia itu mendapat tempat di hati orang Belanda dan Eropa lainnya. Biscchop, Wali Kota Batavia yang berkuasa saat itu pun menjadi pengikut masoni. Tak terkecuali sejumlah kalangan elit pribumi kala itu, seperti kaum ningrat dan intelektual Jawa.

Menurut Heuken, kehadiran perkumpulan itu mendapat tanggapan berbeda dari warga Batavia. Ciri organisasi yang tertutup, dengan pertemuan dan ritual rahasia, mendatangkan syak wasangka. Tak pelak dari desas-desus yang beredar, muncul cap miring terhadap gedung tersebut sebagai “rumah setan.”

Setelah Indonesia merdeka, wajah “rumah setan” tersebut sedikit berubah.  Identitas freemasonry yang sempat mendatangkan polemik  dihapus. Penanda vrijmetselaarij seperti lambang berbentuk jangkar serta segitiga, berikut semboyan Adhuc stat (artinya Kami Masih Berdiri di Sini) dicopot.

Pada 1966 gedung yang terletak menyilang di tengah ujung selatan Jalan Teuku Umar itu dijadikan markas Mahmilub atau Mahkamah Militer Luar Biasa. Di tempat itu mereka  yang dianggap bertanggung jawab dalam Gerakan 30 September  yang berujung tewasnya tujuh pahlawan revolusi, diadili.

 Setahun kemudian “rumah setan” itu difungsikan sebagai gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan bertahan sebagai markas Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Bappenas hingga kini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun