Selayang pandang, penampakannya tak terlalu istimewa. Dibandingkan tempat kerja orang-orang penting lainnya, tempat itu bukanlah yang termutakhir. Tak bertingkat-tingkat sehingga terlalu berlebihan bila sampai didandani lift, atau alat bantu elektrik lainnya. Beberapa anak tangga saja sudah lebih dari cukup untuk menjangkau titik tertinggi.
Serambi dengan empat tiang besar yang menjorok ke depan menjadi pintu masuk menuju gedung rendah berwarna putih itu. Tambahan dua menara yang mengapit kedua sayap, membuat gedung utama terlihat melebar. Jendela-jendela kaca berbentuk segi empat berukuran besar nyaris menelan seluruh dinding.
Gambaran kecil gedung yang terletak di Jl. Taman Suropati No. 2, Menteng, Jakarta Pusat itu terlihat sederhana untuk sebuah kantor kementerian. Namun bila diperhatikan lekat-lekat, bangunan itu unik. Desain arsitekturberbeda dari gedung-gedung kebanyakan. Letaknya pun menyendiri, terpisah dari kantor-kantor penting lainnya yang menyemut di sejumlah jalur protokol.
Saat kita membuka Menteng, Kota Taman Pertama di Indonesia (2001), buku yang ditulis pakar sejarah Jakarta, Adolf Heuken, SJ bersama Grace Pamungkas, riwayat bangunan itu pun terurai.
Menurut pastor Jesuit itu, sepeti dimuat Kompas.com, Kamis, 2 April 2009, gedung tersebut dibangun pada 1925, bersamaan dengan pembangunan daerah Menteng oleh Pemerintah Kotapraja Batavia. Bersama Taman Suropati (dalam bahasa Belanda disebut Burgermeester Bisschopplei) kawasan “kota baru” tersebut lahir dari kreasi arsitek PAJ Mooijen.
Mulanya gedung yang berdiri di tengah poros Jalan Imam Bonjol dan Jalan Diponegoro itu diperuntukan sebagai tempat pertemuan perkumpulan kebatinan Ster van het Oosten (Bintang Timur). Perkumpulan itu merupakan bagian dari gerakan spiritual internasional masoni (freemasonry) atau dalam bahasa Belanda disebut “vrijmetselaarij”. Di kalangan orang Belanda, gedung itu disebut juga Vrijmetselaarsloge (loge berarti rumah pertemuan masoni).
Pada masa itu gerakan tersebut sangat populer. Gerakan moral-spiritual yang muncul pertama kali pada abad ke-16 hingga awal abad ke-17 di Inggris dan Skotlandia itu mendapat tempat di hati orang Belanda dan Eropa lainnya. Biscchop, Wali Kota Batavia yang berkuasa saat itu pun menjadi pengikut masoni. Tak terkecuali sejumlah kalangan elit pribumi kala itu, seperti kaum ningrat dan intelektual Jawa.
Menurut Heuken, kehadiran perkumpulan itu mendapat tanggapan berbeda dari warga Batavia. Ciri organisasi yang tertutup, dengan pertemuan dan ritual rahasia, mendatangkan syak wasangka. Tak pelak dari desas-desus yang beredar, muncul cap miring terhadap gedung tersebut sebagai “rumah setan.”
Setelah Indonesia merdeka, wajah “rumah setan” tersebut sedikit berubah. Identitas freemasonry yang sempat mendatangkan polemik dihapus. Penanda vrijmetselaarij seperti lambang berbentuk jangkar serta segitiga, berikut semboyan Adhuc stat (artinya Kami Masih Berdiri di Sini) dicopot.
Pada 1966 gedung yang terletak menyilang di tengah ujung selatan Jalan Teuku Umar itu dijadikan markas Mahmilub atau Mahkamah Militer Luar Biasa. Di tempat itu mereka yang dianggap bertanggung jawab dalam Gerakan 30 September yang berujung tewasnya tujuh pahlawan revolusi, diadili.
Setahun kemudian “rumah setan” itu difungsikan sebagai gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan bertahan sebagai markas Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Bappenas hingga kini.
Senin, 29 Agustus 2016. Kesempatan emas itu datang. Malam itu, bersama sekitar 50 Kompasianer, kami bertandang ke gedung bersejarah itu. Masuk lebih dalam, saya merasa seakan memasuki lorong waktu sejarah. Tampilan eksterior dan interior tak disangsikan lagi: khas bangunan peninggalan Belanda. Penempatan sejumlah ornamen yang proporsional dengan komposisi material yang kokoh-kuat membuat gedung itu terlihat anggun.
Sejauh mata memandang, proporsionalitas itu terlihat hampir di semua sisi ruangan. Tambahan sejumlah ornamen kekinian seperti gorden aneka warna yang menutup sejumlah sisi jendela sama sekali tak menghilangkan kesan lawas. Di lantai dua yang disebut Ruang Rapat Pimpinan, tempat kami berkumpul, aura klasik jelas menyeruak.
Kedatangan menteri PPN/Kepala Bappenas, Prof. Dr. Bambang P. S. Brodjonegoro memperpanjag riwayat gedung tersebut. Dalam usianya yang mendekati seabad, gedung tersebut telah menorehkan banyak sejarah penting bagi negeri ini. Terutama kiprah penting PPN/Bappenas bagi pembangunan negeri.
Seperti terurai di situs resmi www.bappenas.go.id, nafas kelembagaan Bappenas sudah dihembuskan sejak masa proklamasi. Pentingnya perencanaan roda bernegara terasa semakin penting sejak Kabinet Republik Indonesia Serikat dibentuk pada 23 Desember 1949.
Mula-mula berbentuk Badan Perancang Ekonomi di bawah pimpinan Menteri Kemakmuran AK Gani pada Kabinet Sjahrir III. Lantas berubah nama menjadi Panitia Pemikir Siasat Ekonomi (PPSE) yang melahirkan dokumen perencanaan pertama dalam sejarah pembangunan Indonesia yang disebut “Dasar-dasar Pokok Daripada Plan Mengatur Ekonomi Indonesia.”
PPSE kemudian “terpecah” dan buah pemikirannya direalisasikan secara simultan oleh tiga lembaga yakni Kepanitiaan pada Kementerian Perdagangan dan Industri, Dewan Perancang Negara dan Biro Perancang Negara, serta Dewan Perancang Nasional (Depernas).
Tanggal 24 Desember 1963 menjadi tonggak sejarah Bappenas. Mendapat mandat dari MPRS, Presiden Soekarno menyatukan Depernas dan Badan Kerja Depernas dalam lembaga yang disebut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Pada masa Orde Baru, Bappenas mendapat tempat yang lebih strategis. Presiden kedua RI, Soeharto membentuk Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional serta Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tingkat Provinsi dan di setiap Kabupaten/Kota. Mengutip situs tersebut, “Bappeda bertugas memadukan perencanaan nasional dan daerah mengikuti kebijakan mengenai otonomi daerah. Pada era ini pula disusun Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I dan II, masing-masing mencakup waktu 25 tahun dan diimplementasikan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I-X (1969–2019) yang sayangnya harus terhenti menjelang akhir Repelita VI. Krisis ekonomi, sosial, politik, dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah berujung bubarnya Kabinet Pembangunan VII dan lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.”
Bappenas sempat dipimpin oleh kepala yang tidak merangkap jabatan menteri negara pada masa Presiden Abdurrahman Wahid. Saat Megawati Soekarnoputri menjadi orang nomor satu RI, posisi Bappenas kembali menjadi setingkat kementerian. Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bergkuasa peran Bappenas menjadi semakin penting dengan tanggung jawab menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025.
Sejak awal berdiri, secara organisasional Bappenas kerap berubah wujud, namun satu kenyataan tak bisa ditampik ialah peran pentingnya dalam perencanaan roda kehidupan bernegara. Sepak terjang lembaga tersebut memiliki titik tekan berbeda-beda sesuai kondisi aktual. Namun tetap menyasar pada satu orientasi yakni kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat.
Menurut Bambang Brodjonegoro, pada pada masa Orde Baru, katakan sejak 1968-1998, Bappenas merupakan lembaga yang sangat bertaji. Hal ini tak lepas dari situasi Indonesia yang sedang berusaha memulihkan diri dari resesi ekonomi yang parah.
Inflasi hebat dan pertumbuhan ekonomi yang rendah perlu didongkrak dengan taktik dan strategi khusus. Lembaga tersebut berada di garda depan untuk tujuan tersebut. Dari tempat itu keluar arahan, dengan daya “memaksa.” Kehadiran pemimpin yang powefull menjadi penting.
Di awal pemerintahannya presiden Soeharto memilih salah seorang kepercayaannya, Prof.Dr.Widjojo Nitisastro (1927-2012) untuk memimpin lembaga tersebut. Dengan latar belakang akademisi, sosok kelahiran Malang, 23 September itu mengendalikan bahtera Bappenas selama dua periode yakni 1973-1978 dan 1978-1983.
Widjojo dengan segala kemampuannya, ditopang oleh pengaruh dan kuat kuasanya-sehingga kerap dijuluki pemimpin “Mafia Berkley” (sebutan bagi sekelompok menteri bidang ekonomi dan keuangan yang menentukan kebijakan ekonomi di masa awal Suharto)-dinilai tepat memimpin Bappenas.
Di tangan Widjojo, kuasa memimpin dan sentralisasi kebijakan dianggap pas. Dalam situasi bangsa yang baru bangun dari keterpurukan, tuntunan menyeluruh, menyapu sesama level kementerian hingga tingkat pemerintahan paling bawah, tepat adanya. Segala kebijakan yang dikeluarkan pun dianggap tanpa cacat cela dan tak perlu dipertanyakan. Tak ada kompromi terhadap garis-garis komando Bappenas.
Bahkan saat itu Bappenas memiliki kendali atas APBN. Saat itu, menurut Bambang, APBN di bagi atas dua yakni anggaran pembangunan dan anggaran rutin. Anggaran pembangunan dikendalikan oleh Bappenas sementara Kemententrian Keuangan mengurus anggaran rutin.
Kondisi tersebut bertahan hingga kejatuhan Orde Baru. Setelah Soeharto lengser, keran reformasi dan demokrasi terbuka sehingga peran Bappenas pun berubah. Menurut Bambang yang merupakan alumnus Universitas Indonesia dan University of Illinois itu, sentralisasi Bappenas saat masa Soeharto tak bisa diulang atau di-copy-paste.
“Implikasinya seolah-olah Indonesia masih membutuhkan perencanaan. Konotasi perencanaan adalah bersifat terpusat,”tandas pria bernama lengkap Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro itu.
Setelah Orde Baru, pola sentralisasi berubah menjadi desentralisasi. Pemerintah pusat tak lagi menjadi segala-galanya. Pemerintah daerah mendapat ruang kebebasan untuk menentukan arah pemerintahan dan kehidupan masyarakatnya.
Di sini relasi Bappenas dan pemerintah daerah bergeser dari semula bersifat “top-down” atau “patron-klien” menjadi kolaboratif. Artinya Bappenas berperan sebagai pendorong agar perencanaan daerah selaras dengan perencanaan nasional.
“Hal tersebut tidak mudah, karena dalam iklim demorkasi kepala daerah juga bertanggung jawab terhadap pemilihnya.”sambungnya.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, Bappenas mengedepankan sikap persuasif dan dialogal demi memastikan perencanaan daerah tak melenceng dari kebijakan nasional dengan tanpa membuat kepala daerah terpaksa melanggar janji kepala rakyatnya.
Wacana restorasi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) mulai menghangat, terutama di kalangan Majelis Permusawaratan Rakyat (MPR) . Terlepas dari intensi dasar yang hendak dituju MPR, menurut Yudi Latif (bdk.Kompas,Selasa, 30 Agustus 2016, hal.6), restorasi tersebut harus dilakukan secara hati-hati. Pertama-tama perlu diperjelas apa yang dimaksud dengan “Haluan Negara” itu.
Menurut penggiat aliansi kebangsaan itu, hal tersebut perlu untuk membedakan Haluan Negara yang bersifat direktif dari Pancasila yang mengandung prinsip-prinsip filosofis serta Konstitusi yang memuat prinsip-prinsip normatif. “Nilai-nilai filosofis Pancasila bersifat abstark. Pasal-pasal konstituasi juga kebanyakan mengandung norma-norma besar yang tidak memberikan arahan bagaimana cara melembagakannya.”
Menurutnya, GBHN harus terpisah dari konstitusi dan berada di atas UU, dan mengandung tuntutan yang bersifat ideologis (berisi prinsip-prinsip fundamental sebagai kaidah) dan strategis-teknokratis. Sacara strategis “ berisi pola perencanaan pembangunan yang menyeluruh, terpadu, dan terpimpin dalam jangka panjang secara bertahap dan berkseinambugan dengan memperhatikan prioritas bidang dan ruang (wilayah).”
Yudi memberi contoh. Pada masa Orde Baru, haluan ideologis itu bernama kaidah penuntun. Sementara haluan strategis diberi nama Rencana Pembangunan Jangka Panjang yang diturunkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Pertanyaan, apakah Haluan Negara itu masih aktual hingga kini? Yudi memberi kritik, GBHN Orde Baru sangat pendek dan normatif sebagai perencanaan pembangunan. Sementara Bambang Brodjnegoro, menilai Haluan Negara tersebut tak bisa ditelan “bulat-bulat.”
Menurut Bambang GBHN itu mirip, tetapi tak serupa, dengan Rencana Pemerintah Jangka Panjang (RPJP) yang saat ini disebut RPJP 2005-2025. RPJP penting sebagai penuntun (guidance) bagi setiap pemerintahan yang datang dan pergi dalam tempo lima tahun, atau paling banter satu dekade.
“Asumsi sekarang pemerintah lima tahun atau sepuluh tahun, dan dalam 25 tahun itu ada beberapa pemerintah?”tanyanya retoris.
Dengan RPJP itu, Bappenas akan mengawal dan mengarahkan pemerintah agar tak hanya fokus dengan masa pemerintahan lima tahun saja, tetapi harus sinergis dengan rencana pembangunan jangka panjang. Bila tidak, maka pemerintahan yang berorientasi lima tahunan bisa membuat gerak bangsa tetap di tempat.
Bambang memberi contoh menarik. Di masa awal Orde Baru, Indonesia masuk golongan miskin. Pada periode 1990, “booming” minyak dan gas bumi, kayu dan industri manufaktur, sempat membuat Indonesia berjaya. Indonesia pun naik kelas dari kelompok negara miskin atau low income classke lower middle class(kelas menengah bawah).
Namun kondisi tersebut tak berlangsung lama. Krisis finansial hebat pada 1998 merontokkan segala kejayaan dalam sekejap. Indonesia pun kembali ke kelompok negara miskin. Saat ini Indonesia berhasil naik kembali ke kelompok kelas menenang bawah, namun tak beranjak lagi dari posisi tersebut hingga kini. Lantas, muncul kecemasan jangan-jangan Indonesia terperangkap dalam jebakan pendapatan kelas menenang (middle income trap).
Dalam kondisi seperti ini penting untuk memiliki visi jangka panjang agar rencana pembangunan tak bersifat fragmentaris dan bersifat musiman alias lima tahunan saja. Bila pemerintahan masih berorentasi pada masa pemerintahan lima tahun tersebut maka posisi Indonesia tak akan naik kelas barang setahap dari kelompok kelas menenang bawah menuju upper middle income class.
Bambang menegaskan bahwa tugas membuat Indonesia naik satu tangga itu tak mudah. Butuh waktu dan proses. Dalam rangka itu Bappenas perlu memastikan agar setiap visi pemerintah selama lima tahun searah dengan tujuan jangka panjang.
“Siapapun yang memerintah Bappenas tetap menjaga agar Indonesia (tadak hanya dari sisi ekonomi)tetap pada rel cita-cita bangsa Indonesia dalam jangka panjang,”tegasnya.
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla memiliki sembilan agenda utama yang disebut Nawacita. Program tersebut, seperti dikatakan Bambang, diintegrasikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). RPJM itu tak lebih dari implementasi, refleksi dan proyeksi visi dan misi pemerintahan dalam lima tahun.
Bappenas telah menggariskan arah pembangunan ekonomi yakni “meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan berkualitas secara berkelanjutan untuk mewujudkan secara nyata peningkatan kesejahteraan sekaligus mengurangi ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain yang lebih maju.”
Dalam rangka itu, sejumlah strategi pun ditempuh. Pertama,melakukan transformasi struktur ekonomi. Sasaran utama adalah membebaskan Indonesia dari “jebakan kelas menengah.”
Cara yang ditempuh yakni mengurangi ketergantungan berlebihan pada komoditas dan membangun basis industri dan jasa. Dalam sejarah ekonomi, komoditas pernah menjadi primadona. Namun harga komoditas di pasar global tak pernah stabil sehingga kondisi ekonomi bangsa pun kembang-kempis.
“Harga minyak pernah mencapai 130 dollar/barell dan muncul khawatir bahwa anggaran bakal jebol karena subsidi (yang tetap) bakal naik juga. Awal tahun ini harga minyak turun menjadi 30 dollar. Beda 100 dollar dengan apa yang pernah ditakuti,”ungkapnya memberikan contoh.
Minyak menjadi salah satu contoh komoditas yang tak pernah stabil. Ketergantungan berlebihan pada minyak dan komoditas membuat perekonomian kita pun fluktuatif sesuai naik turun harga komoditas tersebut. Menurut Bambang bila ketergantungan tersebut masih terus berlanjut, maka Indonesia tak akan pernah maju.
Sekalipun mendapat durian runtuh dari kenaikan harga komoditas yang tiba-tiba melejit, menurut Bambang, kejayaan tersebut tak akan bertahan lama. Ibaratnya kita menjadi “orang kaya musiman”. Menjadi kaya selama harga komoditas berjaya.
Padahal, yang ia harapkan, dan tentu kita harapkan, “menjadi kaya terus menerus. Kalau bisa (kekayaan itu) turun ke generasi berikut.”
Kedua,keterkaitan ekonomi antardaerah. Seperti disinggung di atas, sekarang era desentralisasi sehingga para kepala daerah memainkan peran penting. Desentralisasi tidak semata-mata berarti pembagian kewenangan sehingga membuat seorang pemimpin daerah menjadi sosok yang berkuasa dan disegani.
Mestinya, kondisi itu membuat seorang kepala daerah menjadi lebih mandiri dan otonom termasuk dalam mengendalikan roda perekonomian. Seorang kepala daerah dinilai berhasil bila mampu membangun ekonomi daerah secara mandiri dengan tanpa bergantung sepenuhnya pada pemerintah pusat. Daerah menjadi otonom, tak di”stir” oleh pusat.
Menurut Bambang, Daerah mesti memiliki inisiatif, mempunyai daya inovasi sehingga “ kemajuan datang dari daerah dan terakumulasi ke pusat.”Namun hingga kini, setelah 16 tahun otonomi daerah berjalan, cita-cita tersebut masih jauh panggang dari api.
“Lebih banyak dorong dari pusat baru daerah bereaksi dengan cara masing-masing, walau (demikian) ada juga yang sudah mandiri tidak tergantung dengan up and down ekonomi nasional dan dunia,”simpulnya.
Ketiga,meningkatkan produktivitas. Keempat,meningkatkan daya saing.Secara sederhana daya saing mengandaikan perbandingan dengan negara lain. Hemat Bambang, membandingkan daya saing Indonesia dengan negara lain mudah diucapkan tetapi sulit dilakukan.
Kesulitan yang dihadapi lantaran dimensi daya saing berubah-ubah dari waktu ke waktu. Pada periode 1990 Indonesia pernah berjaya. Saat itu komoditas seperti kayu dan migas sedang menjadi rebutan. Ditambah lagi industri manufaktur (padat karya) berkembang pesat. Ekonomi Indonesia pun bertumbuh hingga 7-8 persen.
Pertumbuhan industri padat karya tak lepas dari reposisi yang dilakukan sejumlah negara Asia Timur seperti Jepang dan Korea Selatan. Harga buruh yang mahal, tenaga kerja sedikit, demokrasi yang berkembang, serta labor union membuat industri yang mempekerjakan banyak tenaga kerja menjadi kurang kompetitif.
Relokasi industri pun menjadi pilihan. Indonesia menjadi destinasi favorit selain Thailand, Filipina dan Malaysa. Upah murah, melimpahnya tenaga kerja serta pasar domestik yang berkembang pesat, membuat Indonesia lebih dilirik. Tak pelak pada masa itu, tiga industri manufaktur seperti tekstil, garmen dan elektronik, membuat Indonesia membusungkan dada sebagai yang terbaik di Asia.
Saat itu, menurut Bambang, membuat Indonesia percaya diri, “seolah-olah siap maju sebagai negara yang berdaya saing.”
Namun semuanya hilang seketika saat krisis moneter 1998 menimpa Asia. Industri manufaktur terjerembab dan keuangan collapse.Banyak bank bangkrut karena perkembangan bank tak dijaga dengan baik. Berbanding terbalik dengan masa jaya, saat itu perekonomian Indonesia minus 14 persen.
Perekonomian Indonesia berangsur pulih seiring meningkatnya harga komoditas seperti batubara dan palm oil atau minyak sawit.Namun kealpaan membangun industri, membuat ketergantungan tinggi pada harga komoditas membuat ekonomi Indonesia pun naik turun.
Menurut Bambang saat ini industri manufaktur masih memiliki harapan. Jumlah tenaga kerja yang masih tersedia dalam jumlah yang cukup, ditambah lagi, prospek bonus demografi pada 2020-2030 membuat stok tenaga kerja produktif kian melimpah.
Kondisi ini berbeda dengan sejumlah negara maju seperti Jepang. Dengan tingkat pertumbuhan yang negatif (jumlah kematian lebih banyak dari kelahiran), membuat bonus demografi Indonesia benar-benar menjadi impian.
“Jepang menyembah-nyembah pengen seperti itu tapi gak bisa. Dewasa malas kawin, yang kawin malas punya anak. Gak ada bonus demografi di Jepang yang ada pertumbuhan negatif,”ungkap Bambang.
Dengan modal tersebut, maka Indonesia perlu membangun industri manufaktur dan jasa serta sektor pertanian sebagai penopang.
Lantas bagaimana menerjemahkan RPJP dan RPJM tersebut agar bisa dirasakan masyarakat? Menurut Bambang, Bappenas membuat RKP (Rencana Kerja Pemerintah) tahunan untuk menerjemahkan dimensi menengah tersebut menjadi pendek.
RPKP pemerintah 2017 yakni “memacu pembangunan infrastruktur dan ekonomi untuk meningkatkan kesempatan kerja serta mengurangi kemiskinan dan kesenjangan antarwilayah.”
Mengajak Kompasianer untuk menaruh perhatian setalah kata “untuk”, Bambang menjabarkan sejumlah langkah konkret. Pertama,meningkatkan pertumbuhan ekonomi menjadi sasaran pasti di antaranya dengan meningkatkan kesempatan kerja demi mengurangi pengangguran.
Masyarakat Eropa dan Amerika tak terlalu ambil pusing atau sekadar tahu saja dengan tingkat inflasi dan pertumbuhan negerinya. Kepada pemimpin negerinya, mereka tak menuntut banyak, selain kesempatan atau lapangan kerja.
Bambang memberi alasan, tuntutan masyarakat di negara maju itu, didasarkan atas tingginya pajak yang mereka berikan. Selain kompensasi berupa pembebasan biaya pendidikan dan kesehatan, mereka menuntut pertanggung jawaban dari pemimpinya berupa banyaknya lapangan kerja yang telah diciptakan.
Kondisi berbeda terjadi di Tanah Air. Bila di Prancis tarif pajak perseorangan bisa mencapai 75 persen atau Jerman yang meminta 50 persen, di Indonesia alih-alih pajak tinggi, meningkatkan wajib pajak saja susah bukan kepalang. Berbagai kebijakan dilakukan, temasuk program terkini berupa tax amnesty.Namun hasilnya masih jauh dari yang diharapkan.
“Di Amerika semua sektor informal bergerak ke formal melalui kewajiban bayar pajak, akses kepada kredit perbankan. Perbankan akan ragu-ragu bila tahu bisnis Anda masih informal,”tandasnya.
Tugas utama negara, menurut Bambang, bukan untuk memperkaya orang kaya, tetapi mengupayakan agar orang miskin keluar dari garis kemiskinan. Cara yang ditempuh dan dianggap sah antara lain melalui cash trasferatau bantuan langsung tunai berupa voucer makanan dan lain-lain.
Harapan kita dengan cara itu, posisi masyarakat miskin bisa melompat melewati garis kemiskinan. Namun persoalan berikutnya adalah banyak masyarakat miskin berada jauh di bawah garis kemiskinan sehingga butuh usaha lebih untuk mengangkat mereka keluar dari garis kemiskinan itu.
Karena itu cara berikutnya yang dilakukan adalah memperbanyak akses terhadap infrastruktur dasar seperti sanitasi, air bersih, jalan, listrik dan sebagainya. “Percuma dikasih uang banyak bila tidak mempunyai akses. Yang miskin akan tetap miskin karena tidak bisa menjadi manusia produktif,”tuturnya.
Setelah mengangkat kaum miskin dari lingkaran kemiskinan, tugas negara belumlah usi. Tugas berikutnya yakni membuat mereka berdaya untuk bertahan di kelas tidak miskin. Menurut Bambang, kelompok masyarakat yang baru saja keluar dari garis kemiskinan sangat rentan dan labil sehingga mudah terjerembab lagi ke dalam garis kemiskinan.
Karena itu yang dilakukan adalah meyediakan akses pendidikan demi meningkatkan taraf pendidikan mereka. Pendidikan adalah pintu gerbang mendapatkan pekerjaan, membuat masyarakat mampu berusaha, dan berbisnis sehingga membuat mereka mampu bertahan di luar garis kemiskinan, bahkan bisa semakin jauh meninggalkan garis tersebut.
“Gak gampang atasi kemiskinan di Indonesia. Apalagi bicara kemiskinan 10,8 persen penduduk atau 28 juta orang miskin setara dengan penduduk Malaysia,”tandas Bambang.
Selain jumlah kelompok miskin yang tinggi, usaha tersebut bertambah pelik mengingat salah satu keterbatasan lainnya yakni dana. Bila di negara-negara maju mampu mendapatkan fasilitas gratis dari pajak yang tinggi, di Indonesia pemerintah perlu bekerja keras untuk meningkatkan stimulus ekonomi, termasuk melalui kebijakan pengampunan pajak.
Ketiga,mengatasi kesenjangan atau disparitas:, baik antarwilayah maupun antarpokok pendapatan. Menurut Bambang, di Indonesia kedua jenis disparitas itu sama-sama kritis. Baginya kesenjangan merupakan bagian dari kemiskinan. Kesenjangan adalah kemiskinan relatif sementara kemiskinan itu mengacu pada kemiskinan absolut.
Saat ini rasio gini di Indonesia menginjak angka 0,4, meski di negara lain ada yang mencapai 1,4. Sementara kesenjangan antarwilayah terlihat antara Jawa dan luar Jawa. Seperti Bambang, kedua disparitas itu sama-sama berbahaya karena mudah meletup kecemburuan baik antarmasyarakat maupun antarwilayah.
Entah mengapa persoalan kesenjangan ini belum tertangani tuntas padahal dari segi anggaran pemerintah telah memberikan alokasi maksimal. Papua memiliki anggaran perkapita yang jauh lebih besar dari provinsi-provinsi lain termasuk Jawa, namun pertumbuhan dan kemajuan sangat bertolak belakang.
“Sebenarnya anggaran per kapita terbesar adalah Papua. Kalau gak salah kombinasi Dana Pusat dan Trasfer Daerah Rp80 Triliun dan dibagi untuk 3 juta penduduk. Sementara Jawa meski memiliki anggaran per kapita lebih besar, jumlah penduduk mencapai 150 juta,”terangnya.
Mengutip Bambang, bila disimpulkan, yang akan dilakukan Bappenas saat ini dan dima depan “adalah mewujudkan pertumbuhan yang berkualitas dengan memperhatikan perlunya konsistensi perencanaan antarwaktu, antarpemerintahan, antarlevel antara pusat, provinsi, kabupaten, bahkan sampai desa.”
Desentralisasi yang terjadi membuat unit-unit terkecil seperti desa pun turut bergerak menjadi unit fungsional tersendiri. Pemerintah terus mendukung di antaranya dengan anggaran, yang tak salah bakal mencapai Rp1 miliar per desa tahun mendatang. Karena itu, unit-unit tersebut perlu dilengkapi tenaga-tenaga profesional. Tujuannya adalah mampu membuat rencana kerja desa (APBDES) yang profesional dan searah rencana pembangunan nasional.
Pakai hati
Waktu 40 menit tentu jauh dari cukup untuk mengurai kerja Bappenas. Namun dari paparan Bambang tersebut sudah lebih dari cukup untuk menilai betapa penting dan peliknya kerja Bappenas.
Saat ditanya oleh Liviana Cherlisa, News Anchor Kompas TV, Bambang secara retoris mengakui hal itu. Padahal pria kelahiran 3 Oktober 1966 itu baru sebulan lebih berpindah dari Lapangan Banteng, tempat Kementerian Keuangan berada, untuk mengambil kursi nomor satu yang ditinggalkan Dr. Sofyan A. Djalil pada 28 Juli lalu.
Namun demikian, mantan dekan termuda di Universitas Indonesia ini, tak terbebani dengan tugas berat itu. Di satu sisi, ia tak bekerja sendirian. Selain tim kerja, pihak yang diharapkan turut berkontribusi adalah para blogger. Pada kesempatan itu Bambang sangat mengapresiasi kehadiran Kompasianer yang dinilai cukup berpengaruh di masyarakat.
Ia pun berharap para Kompasianer turut mewartakan kerja Bappenas dengan menghembuskan informasi-informasi positif.
“Jangan pengaruhi masyarakat bahwa seharusnya Indonesia kayak Jerman sekolah gratis, kesehatan gratis. Tetapi gak ngomong bahwa mereka di sana pajak tinggi.”
Saya bersyukur bahwa malam itu bisa bertemu dengan salah satu Kompasianer yang berasal dari Aceh, Pak Muhamad Syukri. Ia rela datang jauh-jauh agar bisa mendengar Bambang Brodjonegoro dan menguatarakan pertanyaan secara langsung. Diharapkan pula Pak Syukri bisa mewartakan kabar positif itu ke Negeri Serambi Mekah.
Pendahulunya, Sofyan Djalil mengakui bahwa posisi baru ini sangat tepat untuk Bambang yang mendapat Anugerah Bintang Mahaputra dari Presiden pada 13 Oktober 2014 serta mendapat kepercayaan tambahan sebagai chief investment officer dari Presiden Jokowi.
“Paling tidak sudah bisa memahami dua sisi, perencanaan di satu sisi dan penganggaran di sisi lain. Semoga dengan latar belakang tadi bisa menjadi nilai tambah,”aku eks Mahasiswa Berprestasi UI 1989 itu.
Akhirnya kita berharap di bawah kendali Bambang Brodjonegoro, Bappenas mampu menerjemahkan tugas dan tanggung jawab pelik dan penting di "rumah setan" itu sesuai dengan tagline-nya yakni berdasarkan skala prioritas, tidak egois, kritis, namun tetap memakai hati atau mengedapankan perasaan.
Selamat bekerja Pak Bambang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H