Menurut Bambang Brodjonegoro, pada pada masa Orde Baru, katakan sejak 1968-1998, Bappenas merupakan lembaga yang sangat bertaji. Hal ini tak lepas dari situasi Indonesia yang sedang berusaha memulihkan diri dari resesi ekonomi yang parah.
Inflasi hebat dan pertumbuhan ekonomi yang rendah perlu didongkrak dengan taktik dan strategi khusus. Lembaga tersebut berada di garda depan untuk tujuan tersebut. Dari tempat itu keluar arahan, dengan daya “memaksa.” Kehadiran pemimpin yang powefull menjadi penting.
Di awal pemerintahannya presiden Soeharto memilih salah seorang kepercayaannya, Prof.Dr.Widjojo Nitisastro (1927-2012) untuk memimpin lembaga tersebut. Dengan latar belakang akademisi, sosok kelahiran Malang, 23 September itu mengendalikan bahtera Bappenas selama dua periode yakni 1973-1978 dan 1978-1983.
Widjojo dengan segala kemampuannya, ditopang oleh pengaruh dan kuat kuasanya-sehingga kerap dijuluki pemimpin “Mafia Berkley” (sebutan bagi sekelompok menteri bidang ekonomi dan keuangan yang menentukan kebijakan ekonomi di masa awal Suharto)-dinilai tepat memimpin Bappenas.
Di tangan Widjojo, kuasa memimpin dan sentralisasi kebijakan dianggap pas. Dalam situasi bangsa yang baru bangun dari keterpurukan, tuntunan menyeluruh, menyapu sesama level kementerian hingga tingkat pemerintahan paling bawah, tepat adanya. Segala kebijakan yang dikeluarkan pun dianggap tanpa cacat cela dan tak perlu dipertanyakan. Tak ada kompromi terhadap garis-garis komando Bappenas.
Bahkan saat itu Bappenas memiliki kendali atas APBN. Saat itu, menurut Bambang, APBN di bagi atas dua yakni anggaran pembangunan dan anggaran rutin. Anggaran pembangunan dikendalikan oleh Bappenas sementara Kemententrian Keuangan mengurus anggaran rutin.
Kondisi tersebut bertahan hingga kejatuhan Orde Baru. Setelah Soeharto lengser, keran reformasi dan demokrasi terbuka sehingga peran Bappenas pun berubah. Menurut Bambang yang merupakan alumnus Universitas Indonesia dan University of Illinois itu, sentralisasi Bappenas saat masa Soeharto tak bisa diulang atau di-copy-paste.
“Implikasinya seolah-olah Indonesia masih membutuhkan perencanaan. Konotasi perencanaan adalah bersifat terpusat,”tandas pria bernama lengkap Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro itu.
Setelah Orde Baru, pola sentralisasi berubah menjadi desentralisasi. Pemerintah pusat tak lagi menjadi segala-galanya. Pemerintah daerah mendapat ruang kebebasan untuk menentukan arah pemerintahan dan kehidupan masyarakatnya.
Di sini relasi Bappenas dan pemerintah daerah bergeser dari semula bersifat “top-down” atau “patron-klien” menjadi kolaboratif. Artinya Bappenas berperan sebagai pendorong agar perencanaan daerah selaras dengan perencanaan nasional.
“Hal tersebut tidak mudah, karena dalam iklim demorkasi kepala daerah juga bertanggung jawab terhadap pemilihnya.”sambungnya.