Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengawinkan Jumlah dan Mutu ala Sri Mulyani

1 September 2016   20:36 Diperbarui: 1 September 2016   22:31 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari www.kancyl.com.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut semakin penting bila kita berhadapan dengan ramalan demografi beberapa tahun ke depan. Menurut perhitungan para ahli, pada tahun 2020 hingga 2030 Indonesia akan mendapat berkah berupa jumlah penduduk usia produktif yang besar, sekitar 2/3 dari total penduduk. Jumlah penduduk produktif berusia 15-64 tahun melimpah. Kelompok tersebut jauh mendominasi jumlah penduduk tak produktif dalam rentang 0-14 tahun dan 65 tahun ke atas.

Dengan menggunakan parameter Dependency Ratio atau rasio ketergantungan, pada saat itu angka ketergantungan penduduk tidak produktif terhadap penduduk produktif semakin kecil. Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), diprediksi mencapai 44. Artinya dalam setiap 100 penduduk usia produktif hanya menanggung beban sekitar 44 penduduk tidak produktif.

Angka beban ketergantungan diketahui semakin kecil dari tahun ke tahun seiring meningkatnya jumlah penduduk Indonesia. Pada 2010 dependency ratiosebesar 50,5 persen, lantas menurun menjadi 48,6 persen pada 2015 dan puncaknya pada satu dekade antara 2020 hingga 2030 saat mencapai titik terendah. Masa penuh berkah itu yang kita sebut bonus demografi atau keuntungan demografi.

Contoh sederhana diutarakan Sri Moertiningsih Adioetomo, guru besar Ekonomi Kependudukan Universitas Indonesia. “Artinya, sebuah rumah dengan jumlah empat orang, sebanyak tiga bekerja dan satu yang ditanggung. Bandingkan tahun 1970, di mana satu orang bekerja untuk menanggung satu orang," tuturnya seperti dikutip dari tirto.id, Senin (27/6/2016).

Negara mana yang tak senang dengan melimpahnya penduduk produktif yang bisa mengisi pos-pos penting untuk membangun negeri? Negara mana yang tak bahagia melihat jumlah penduduknya dikuasai tenaga-tenaga muda ketimbang kelompok masyarakat renta yang tak bisa berbuat apa-apa?

Kepala Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) Prof. Dr. Bambang P. S. Brodjonegoro saat nangkring bersama Kompasiana pada Senin, 29 Agustus lalu di Jakarta mengakui hal itu.

Berbeda dengan Indonesia, menurut sosok yang baru saja dirotasi dari jabatan sebelumnya sebagai menteri keuangan, pada tahun-tahun tersebut negara-negara maju seperti Jepang akan mengalami krisis tenaga produktif. Angka kelahiran yang negatif menyebabkan komposisi penduduk bakal dikuasai kelompok tak produktif. Akibatnya beban negara semakin besar karena harus menanggung hajat hidup penduduknya yang sebagian besar sudah melewati masa produktif.

Gambar dari fernandoprabawa.blogspot.co.id/
Gambar dari fernandoprabawa.blogspot.co.id/
Kita bisa membayangkan seperti apa nasib sektor-sektor utama di negara-negara maju itu. Selalu menggantungkan harapan pada sektor industri dan teknologi, ketiadaan tenaga-tenaga muda bakal mendatangkan masalah.  Siapa bakal mengoperasikan mesin-mesin industri, mengisi ruang penelitian dan inovasi, serta mengisi pos-pos publik?

Membayangkan negara sekelas Jepang bakal mengalami kemunduran, apalagi chaos karena defisit tenaga, tampak terlalu berlebihan. Apa yang sudah mereka lakukan sekarang, dan bakal semakin giat ke depan, melalui digitalisasi dan mesinisasi atau mekanisasi hampir di semua sektor adalah cermin kemajuan sekaligus persiapan untuk menghadapi kelangkaan tenaga manusia.

Inovasi dan temuan-temuan teknologi mutakhir yang terus bermunculan di antaranya melalui robot-robot pintar, perlahan tetapi pasti, disiapkan untuk mengganti tenaga manusia. Bisa jadi, saat itu, yang bakal mengendalikan industri dan mengoperasikan alat-alat produksi adalah manusia-manusia mesin itu.

Indonesia tidak perlu berfantasi menjadi seperti Jepang saat itu. Justru, kehadiran tenaga-tenaga produktif menjadi kesempatan untuk mendongkrak ekonomi, menggelinding sektor industri, dan membawa Indonesia semakin maju dengan mengandalkan manusia-manusia real yang bisa berpikir dan merasa dengan sama baiknya sebagai kemewahan yang tak dimiliki robot secanggih apapun. Bila perlu kelebihan penduduk produktif yang kita miliki menjadi jualan untuk berkarir di mancanegara. Tentu tak sebagai buruh murah, tetapi tenaga profesional yang berkualitas.  

Tabel rasio ketergatungan yang mencapai titik terendah pada tahun 2030/gambar dari indonesiana.tempo.co.
Tabel rasio ketergatungan yang mencapai titik terendah pada tahun 2030/gambar dari indonesiana.tempo.co.
Kualitas vs kuantitas

Namun apalah arti tenaga muda yang berlimpah bila tak sanggup berbuat apa-apa? Bonus penduduk tak banyak berarti bila hanya sekadar banyak dalam jumlah, namun rendah dalam kualitas. Bila yang mendominasi adalah kuantitas ketimbang kualitas, maka Indonesia bukannya menikmati bonus tersebut dengan keberhasilan gilang gemilang, tetapi labirin prahara yang semakin rumpil rumit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun