Pertanyaan-pertanyaan tersebut semakin penting bila kita berhadapan dengan ramalan demografi beberapa tahun ke depan. Menurut perhitungan para ahli, pada tahun 2020 hingga 2030 Indonesia akan mendapat berkah berupa jumlah penduduk usia produktif yang besar, sekitar 2/3 dari total penduduk. Jumlah penduduk produktif berusia 15-64 tahun melimpah. Kelompok tersebut jauh mendominasi jumlah penduduk tak produktif dalam rentang 0-14 tahun dan 65 tahun ke atas.
Dengan menggunakan parameter Dependency Ratio atau rasio ketergantungan, pada saat itu angka ketergantungan penduduk tidak produktif terhadap penduduk produktif semakin kecil. Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), diprediksi mencapai 44. Artinya dalam setiap 100 penduduk usia produktif hanya menanggung beban sekitar 44 penduduk tidak produktif.
Angka beban ketergantungan diketahui semakin kecil dari tahun ke tahun seiring meningkatnya jumlah penduduk Indonesia. Pada 2010 dependency ratiosebesar 50,5 persen, lantas menurun menjadi 48,6 persen pada 2015 dan puncaknya pada satu dekade antara 2020 hingga 2030 saat mencapai titik terendah. Masa penuh berkah itu yang kita sebut bonus demografi atau keuntungan demografi.
Contoh sederhana diutarakan Sri Moertiningsih Adioetomo, guru besar Ekonomi Kependudukan Universitas Indonesia. “Artinya, sebuah rumah dengan jumlah empat orang, sebanyak tiga bekerja dan satu yang ditanggung. Bandingkan tahun 1970, di mana satu orang bekerja untuk menanggung satu orang," tuturnya seperti dikutip dari tirto.id, Senin (27/6/2016).
Negara mana yang tak senang dengan melimpahnya penduduk produktif yang bisa mengisi pos-pos penting untuk membangun negeri? Negara mana yang tak bahagia melihat jumlah penduduknya dikuasai tenaga-tenaga muda ketimbang kelompok masyarakat renta yang tak bisa berbuat apa-apa?
Kepala Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) Prof. Dr. Bambang P. S. Brodjonegoro saat nangkring bersama Kompasiana pada Senin, 29 Agustus lalu di Jakarta mengakui hal itu.
Berbeda dengan Indonesia, menurut sosok yang baru saja dirotasi dari jabatan sebelumnya sebagai menteri keuangan, pada tahun-tahun tersebut negara-negara maju seperti Jepang akan mengalami krisis tenaga produktif. Angka kelahiran yang negatif menyebabkan komposisi penduduk bakal dikuasai kelompok tak produktif. Akibatnya beban negara semakin besar karena harus menanggung hajat hidup penduduknya yang sebagian besar sudah melewati masa produktif.
Membayangkan negara sekelas Jepang bakal mengalami kemunduran, apalagi chaos karena defisit tenaga, tampak terlalu berlebihan. Apa yang sudah mereka lakukan sekarang, dan bakal semakin giat ke depan, melalui digitalisasi dan mesinisasi atau mekanisasi hampir di semua sektor adalah cermin kemajuan sekaligus persiapan untuk menghadapi kelangkaan tenaga manusia.
Inovasi dan temuan-temuan teknologi mutakhir yang terus bermunculan di antaranya melalui robot-robot pintar, perlahan tetapi pasti, disiapkan untuk mengganti tenaga manusia. Bisa jadi, saat itu, yang bakal mengendalikan industri dan mengoperasikan alat-alat produksi adalah manusia-manusia mesin itu.
Indonesia tidak perlu berfantasi menjadi seperti Jepang saat itu. Justru, kehadiran tenaga-tenaga produktif menjadi kesempatan untuk mendongkrak ekonomi, menggelinding sektor industri, dan membawa Indonesia semakin maju dengan mengandalkan manusia-manusia real yang bisa berpikir dan merasa dengan sama baiknya sebagai kemewahan yang tak dimiliki robot secanggih apapun. Bila perlu kelebihan penduduk produktif yang kita miliki menjadi jualan untuk berkarir di mancanegara. Tentu tak sebagai buruh murah, tetapi tenaga profesional yang berkualitas. Â
Namun apalah arti tenaga muda yang berlimpah bila tak sanggup berbuat apa-apa? Bonus penduduk tak banyak berarti bila hanya sekadar banyak dalam jumlah, namun rendah dalam kualitas. Bila yang mendominasi adalah kuantitas ketimbang kualitas, maka Indonesia bukannya menikmati bonus tersebut dengan keberhasilan gilang gemilang, tetapi labirin prahara yang semakin rumpil rumit.