Mendorong gerakan literasi sosial media adalah penting. Itu ada pilihan yang paling mendasar untuk mengimbangi penetrasi internet yang begitu cepat dengan tingkat “keaktifan” penggunaan media sosial di kalangan masyarakat kita yang begitu tinggi.
Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) pengguna internet di Indonesia telah mencapai 82 juta orang dari total populasi sekitar 259 juta jiwa. Indonesia menempati peringkat delapan dunia dari total 3,4 miliar pengguna atau 50 persen penduduk dunia.
Sebanyak 79 juta dari 88,1 juta pengguna itu merupakan pengguna media sosial aktif. Berdasarkan pengakuan Business Group Head Facebook Reyold D’Silva seperti dilansir Kompas.com,Jumat 15 April 2016, Indonesia merupakan pasar terbesar jejaring sosial yang muncul sejak 2004 temuan Mark Zuckerberg dan kolega.
Sementara pengguna aktif harian (selalu membuka Facebook tiap hari), menginjak angka 43 juta. Tak pelak pengguna jejaring sosial yang berbasis di Menlo Park, California, Amerika Serikat itu tertinggi di Indonesia dan menempati urutan keempat di dunia setelah Amerika Serikat (194 juta), India (130 juta) dan Brasil (102 juta).
Jumlah tersebut dipastikan akan terus bertambah dari waktu ke waktu mengingat berbagai kemudahan dan terobosan yang terus dilakukan para raksasa sosial media itu. Bila tak diimbangi dengan kesadaran penggunaan secara baik maka potensi negatif sosial media akan semakin merebak.
Mengutip dan melengkapi konsep Paul Gilster, pencetus istilah digital literacy (literasi digital), literasi sosial media secara sederhana diartikan sebagai kapabilitas menggunakan teknologi dan informasi secara benar, sadar, efekti f dan efisien. Media sosial tidak dipandang sebagai musuh yang harus dienyahkan, tetapi sarana untuk kepentingan yang sehat.
Di sisi berbeda literasi media penting untuk mengimbangi langkah yang ditempuh pemerintah untuk menegakan aturan atau cyber law.
Jonathan Rosenoer dalam Cyber law, the Law of internet mengemukakan tentang ruang lingkup dari cyber lawyakni Hak Cipta (Copy Right);Hak Merk (Trademark); Pencemaran nama baik (Defamation); Fitnah, penistaan, Penghinaan (Hate Speech); Serangan terhadap fasilitas computer (Hacking, Viruses, Illegal Access); Pengaturan sumber daya internet seperti IP_Address, domain name; Kenyamanan Individu (Privacy); Prinsip kehati-hatian (Duty care); Tindakan criminal biasa yang menggunakan TI sebagai alat; Isu prosedural seperti yuridiksi, pembuktian, penyelidikan, dll; Kontak/transaksi elektronik dan tanda tangan digital; Pornografi; Pencurian melalui intenet; Perlindungan Konsumen; Pemanfaatan internet dalam aktivitas keseharian seperti ecommerce, e-government,e-education, dll.
Indonesia belum memiliki definisi yang pasti tentang Cyber Law ini. Namun hal ini telah dibicarakan dalah sejumlah regulasi seperti dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, itikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.
Usaha penegakan ini bukan tanpa kendala. Terminologi “ujaran kebencian” sangat luas mencakup tujuh hal yakni penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan menyebarkan berita bohong berdasarkan 11 aspek yakni agama, aliran keagamaan, keyakinan atau kepercayaan, ras, antargolongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel dan orientasi seksual.
Karena itu usaha ini menjadi kompleks dan problematis, termasuk di negara-negara Eropa yang lebih matang kebidupan demokrasinya sekalipun. Langkah sensor yang ditempuh Kementerian Informatika dan instansi terkait menjadi pelik.