Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mengawetkan Kebhinekaan dengan Literasi Sosial Media

29 Agustus 2016   15:43 Diperbarui: 29 Agustus 2016   18:05 796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengguna internet secara global/data dan gambar dari wearesocial.com.

Namun berbagai kemudahan itu pun membawa persoalan. Hubungan-hubungan sosial dan komunikasi yang dbangun menjadi dangkal. Informasi hanya didapat melalui pertukaran lewat akun dan isi di dalamnya belum tentu merupakan sebuah fakta. Ada peluang bahwa informasi yang dikonsumsi dan didistribusikan tidak valid.

Kemajuan media sosial yang pesat membuat kita menjadi sulit untuk membedakan fakta dari opini, kebenaran dan kebohongan. Dengan memanfaatkan berbagai platform sosial media orang-orang beramai-ramai mengejar popularitas dan berlomba-lomba mengabarkan tentang selebritas. Hoax atau kabar bohong menjadi laris-manis. Alih-alih melakukan klarifikasi (debunk),yang terjadi justru penyebaran yang masif dan tak terkendali.

Manipulasi, pemelintiran, rekayasa dan black campaign (antara individu, individu dengan kelompok yang lebih luas atau antara pemimpin dan masyarakat atau sebaliknya serta antara para pemimpin) bertumbuh subur.

Selain itu, media sosial menjadi medium strategis untuk aktivitas kriminal, seperti perdagangan obat terlarang, prostitusi online, penipuan dan pornografi anak. Tak hanya itu. Media daring dimanfaatkan pula untuk menyebarkan ujaran kebencian berbasis suku, agama, rasa dan antar golongan, serta medium penyebaran paham hingga perekrutan anggota Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) seperti yang sudah dan sedang ditangani pihak Kepolisian.

Mengapa berbiak?

Perkembangan teknologi tidak dapat dielak oleh siapapun. Media sosial hanyalah alat sehingga tidak salah dalam dirinya sendiri. In seia diciptakan tidak untuk merusak tatanan. Persoalannya adalah pada pengguna. The (wo)men behind the gun.Mengapa ujaran kebencian mudah berbiak di Tanah Air?

Doddy BU, pendiri Information Communication and Technology (ITC) Watch seperti ditulis Antony Lee di Kompas,Senin, 8 Agustus 2016, hal.2, memiliki hipotesis tersendiri. Menurutnya, fenomena tersebut adalah produk buruk rezim otoritarian yang membungkam kebebasan berpendapat dan pertukaran informasi.

Sebelum keran demokrasi dibuka pada 1998 dengan lengsernya Soeharto, kebebasan berpendapat dan bertukar informasi dikekang. Alih-alih bebas berpendapat dan mengungkapkan pikiran serta menyebarkan informasi, yang terjadi adalah pembungkaman dan sensor yang ketat. Tak heran dalam situasi terjepit itu, kultur debat secara kritis dan berargumentasi tak tumbuh.

Maka saat kebebasan dibuka, masyarakat gagap dan gamang menghadapi kebebasan itu. “Orang-orang belun sepenuhnya paham bagaimana mengungkapkan ekspresinya, tetapi tetap menghormati orang lain,”tulis Antony.

Ketika kemajuan internet menyapa Indonesia dan penggunanya meningkat, tak ada usaha untuk mendorong literasi media sosial. Informasi terkait bagaimana kode etik berinternet yang sehat, minim. Tak heran, lanjut Antony, tidak sedikit netizen yang tidak tahu batasan antara kritik, ujaran kebencian atau ujaran berbahaya lainnya.

Literasi sosial media

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun