Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan BKKBN pada tahun 2014, diperoleh hasil yang cukup mencengangkan. Tercatat 46 persen atau 2,5 juta pernikahan di Indonesia dilakukan secara dini. Artinya usia perempuan berkisar antara 15 sampai 19 tahun. Bahkan 5% dari antaranya melibatkan perempuan di bawah usia 15 tahun.
Data tersebut dipertegas oleh penelitian dari organisasi PBB untuk melindungi hak-hak anak dan kaum muda, United Nations Children’s Fund (UNICEF) bahwa satu dari enam anak perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun atau sebanyak 340.000 orang. Sementara perempuan yang menikah di bawah usia 15 tahun sebanyak 50.000 anak per tahun.
Berdasarkan data tersebut, lembaga bernama United National Development Economic and Social Affair (UNDESA) menempatkan Indonesia sebagai negara dengan angka pernikahan usia dini tertinggi kedua di ASEAN.
Domestifikasi peran wanita tergambar dalam sejumlah istilah seperti dalam budaya Jawa disebut dengan kancah wingking atau teman belakang. Istilah ini mengacu pada posisi perempuan sebagai partner suami dengan peran utama mengelola urusan rumah tangga, terutama mengurus anak, memasak, mencuci , berdandan dan menghasilkan keturunan. Istilah 3M atau masak (memasak), macak (berdandan) dan manak (memberikan keturunan) dalam budaya Jawa atau dapur, pupur, kasur,dan sumurdalam pengertian umum adalah simplifikasi dari peran perempuan.
Pembatasan peran perempuan tidak hanya berlaku saat sudah berumah tangga sebagimana tergambar dalam sejumlah istilah di atas. Sejak kelahirannya pun, dalam budaya patriarkat dan feodal, wanita sudah disubordinasi. Dalam situasi tak setara itu, posisi tawar perempuan menjadi lemah, termasuk dalam urusan perjodohan dan pernikahan.
Perempuan dianggap sebagai komoditas bernilai tinggi yang dengan mudah “dijual” seperti yang masih berlaku di Desa Tegaldowo, kecamatan Gunem, Rembang, Jawa Tengah. Di sana anak perempuan dijodohkan dan dinikahkan begitu saja bila ada tawaran datang, tanpa memperhitungkan usia dan kemauan wanita. Malah, menjodohkan dan menikahkan anak sedini mungkin dianggap lebih baik demi menghindarkan sematan perawan tua yang dianggap sebagai aib.
Lazimnya dalam praktik perjodohan anak perempuan dipasangkan dengan kolega orang tua, atau pria dari kalangan atau kelompok tertentu, biasanya dari strata sosial lebih tinggi.
Contoh paling ekstrem budaya feodal seperti yang masih berlaku di salah satu wilayah di Nusa Tenggara Timur, provinsi dari mana saya berasal. Di sana masih hidup praktik perhambaan. Sebagai hamba, seseorang tak memiliki hak sama sekali termasuk atas dirinya sendiri. (Anak) wanita dari kasta ini sepenuhnya mengabdi pada sang tuan dan patuh tanpa protes kepada setiap keputusan sang empunya.
Kedua,pernikahan dini juga terjadi karena kesengajaan orang tua yang ingin lepas dari tanggung jawab. Bisa diduga kesengajaan itu di antaranya dipicu oleh alasan ekonomi. Himpitan ekonomi memaksa orang tua terpaksa “menjual” anak perempuannya.
Ketiga,lantaran rendahnya tingkat pendidikan. Tak dapat dipungkiri kasus pernikahan dini lebih marak terjadi di kalangan masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah sehingga dalam “kebutaan” dan ketidaktahuan mengabsahkan pernikahan seperti itu.