Tom Lembong mencontohkan salah satu kendala akut di Tanah Air yang berpengaruh pada efisiensi tersebut yakni soal infrastruktur. Dibandingkan para negara tetangga, Indonesia mengalami keterbatasan infrastruktur dan akses yang mempermudah dalam rantai ekonomi.
Sebagai contoh, antara feedlotatau tempat penggemukan sapi, RPH (Rumah Potong Hewan) dan pasar, masih berjarak. Dalam jarak itu masih diperparah lagi, misalnya dengan kemacetan. Coba tengok situasi Jakarta. Hampir tak ada sudut kota yang tak tersentuh kemacetan, bukan?
Kedua,berkaitan dengan fasilitas. Indonesia selain mengalami keterbatasan juga keandalan sarana. Tom Lembong mencotohkan, berdasarkan hasil kunjungannya ke sejumlah negara seperti Australia, di negara-negara maju itu mereka menggunakan alat-alat modern. Setiap RPH sudah pasti menggunakan alat potong modern sehingga karkas (hasil utama pemotongan yang mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi disbanding non karkas atau offal) atau daging semi kemas, jauh lebih maksimal. Menurutnya dengan menggunakan alat modern itu maka cost per unitmenjadi rendah.
“Coba bandingkan dengan di negara kita yang sebagian besar masih secara manual, menggunakan pisau,”ungkapnya membandingkan.
Ketiga,keterbatasan tersebut tak hanya terjadi di kota-kota besar seperti Jabodetabek dan Jawa Barat yang nota bene menjadi barometer harga daging sapi di Tanah Air. Di luar daerah pun memiliki kendala tersendiri.
Dalam kunjungannya ke Nusa Tenggara Timur, salah satu provinsi denga potensi peternakan yang menjanjikan, beberapa waktu lalu, Tom menemukan keterbatasan mendasar yakni air. Kekurangan air yang menjadi sumber utama kehidupan dan pertanian dengan sendirinya berdampak pada usaha peternakan.
Keempat,berkaitan dengan poin ketiga, daerah-daerah di luar Jawa memiliki potensi untuk menjadi sentra-sentra peternakan yang menjanjikan. Selain Nusa Tenggara Timur, ada pula Sulawesi, Kalimantan, Lampung, Bali dan beberapa tempat lainnya.
Berbeda dengan Jabodetabek dan Jawa Barat yang menjadikan sapi sebagai industri, daerah-daerah masih mengandalkan pola peternakan keluarga atau persapian keluarga. Ternak-ternak yang dihasilkan sebagian besar untuk konsumsi dan belum dikelola secara baik sebagai industri. Bahkan masih merebak praktik yang disebut Tom sebagai pengrusakan struktural yakni membantai induk-induk sapi.
Walau masih mengandalkan pola tradisional, tingkat swasembada daging sapi di luar Jabodetabek dan Jawa Barat lebih tinggi, untuk mengatakan sudah tercapai. Menurut Tom Lembong, di Jabodetabek dan Jabar, seiring tingkat urbanisasi yang tinggi, permintaan akan pasokan daging sapi pun setali tiga uang.
Pola industri yang sudah dihidupi tetap saja tak mampu mencukupi kebutuhan yang terus meningkat. Tak pelak saat hari-hari raya tiba, permintaan akan melonjak naik, dan dengan sendirinya akan mempengaruhi fluktuasi harga.
Dengan tingkat permintaan yang tinggi, daerah-daerah masih belum bisa diandalkan untuk mencukupi kebutuhan itu. Keterbatasan di daerah-daerah, termasuk soal ongkos dan biaya pengiriman yang tinggi, semakin melengkapi penderitaan kita. Pemerintah pun tak memiliki pilihan lain selain membuka dan meningkatkan keran impor sebagai solusi sementara.