Secara umum dari pemotongan seekor sapi akan menghasilkan edible meat atau daging yang bisa dikonsumsi dengan standar mutu tertentu, serta offale meatatau lazim disebut sebagai daging apkir atau daging yang tidak dikonsumsi serta tak memiliki standar mutu.
Dalam konteks Indonesia, pemisahan antara kedua jenis tersebut pada tingkat tertentu kabur, bahkan bisa hilang sama sekali. Bila mau jujur, hampir tak ada bagian dari tubuh seekor sapi yang tak berarti dan berharga di Tanah Air ini. Dari ujung kepala hingga ujung kaki seekor sapi ada manfaatnya, terutama untuk konsumsi manusia. Sebagai contoh, kuping dan bagian bibirnya bisa dijadikan rujak cingur, kulit diolah menjadi rambak dan, buntut dijadikan sup. Padahal, di luar negeri, jenis tersebut masuk kategori offale meat yang dijadikan sebagai pakan ternak dengan harga sangat murah.
Secara umum kita mengenal beberapa jenis potongan daging sapi. Daging dengan kualitas sangat bagus disebut dengan primary cut. Termasuk dalam jenis ini yakni has dalam atau tenderloin (dihasilkan dari pemotongan dari otot utama sekitar pinggang sapi, atau sekitar bahu dan tulang pinggul, dengan tingkat kelunakannya yang tinggi karena otot-toto di bagian tersebut jarang digunakan untuk beraktivitas), Â bagian has dalam (tenderloin), has luar atau sirloin (dari bagian iga)), lamusir atau lamosir (bagian belakang sapi di sekitar has dalam, has luar dan tanjung), yang biasa dimanfaatkan untuk membuat steak, wagyu dan kebutuhan unggulan untuk restoran dibanderol seharga Rp120.000/kg-Rp130.000/kg.
Tingkat di bawahnya disebut secondary cut tipe A-B yang kerap dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia umumnya untuk rendang, semur, dendeng, abon yang berasal dari pemotongan bagian samacan, tanjung atau rump (berasal dari daerah punggung bagian belakang), sengkel (diambil dari kaki bagian depan atas, umumnya untuk menghasilkan kaldu), dan sebagainya dihargai dari Rp80.000,00/kg hingga Rp115.000,00/kg.
Jenis lainnya adalah manufacturing meatuntuk keperluan industri seperti daging dadu, daging tetelan, daging giling, berharga Rp40.000/kg-Rp60.000,00/kg. Berikutnya, bagian lidah, buntut, daging kepala yang dikenal dengan sebutan fancy and variety meal(daging variasi), dihargai Rp65.000/kg-Rp100.000,00/kg. Jenis terakhir adalah jeroan yakni hati, limpa, usus, paru, otak, jantung, babat, dibanderol Rp.30.000/kg-Rp40.000/kg.
Dengan mengacu pada tingkat kebutuhan masyarakat, harga Rp.80.0000/kg untuk bagian sengkel, tanjung, samcan, dan lain-lain dianggap masuk akal. Pertimbangan bahwa kebutuhan untuk kualitas unggul untuk steak dan wagyu yang lebih terjangkau untuk kaum berkantong tebal, maka mengejar harga Rp.80.000 untuk setiap kilogram daging sapi yang lebih menyasar masyarakat umumnya adalah bagian dari usaha populis.
Selain itu, mematok harga tunggal untuk semua jenis potongan akan berdampak pada para peternak kecil di Indonesia. Pasalnya harga yang dipatok tersebut sebagian besar berasal dari konversi harga sapi di luar negeri, dari mana selama ini kita menggantungkan diri. Bahkan hingga menjelang hari Lebaran ini pasokan daging sapi untuk wilayah Indonesia berasal diimpor dari Australia hingga juli sebanyak 1.000 ton atau hingga akhir tahun mencapai 29.500 ton (Viva.co.id,Jumat, 17 Juni 2016).
Apakah masyarakat Indonesia tak berhak untuk mengkonsumsi daging kualitas nomor satu? Tentu saja berhak. Persoalannya, apakah masyarakat mampu mendapatkan jenis tersebut dengan harga tinggi? Alih-alih mendapatkan primary cutperjuangan untuk mendapatkan secondary cutdengan harga Rp.80.000.00/kg penuh perjuangan.
Menurut Tom Lembong, tingginya harga daging sapi di Indonesia, dibandingkan negara tetangga seperti  Malaysia dan Singapura, tak lepas dari beragam faktor yang saling berpautan. Pertama,soal efisiensi. Biaya dalam proses produksi khususnya dan ekonomi umumnya di Indonesia sangat tinggi (high cost economy). Akibatnya terjadi inefisiensi atau pengeluaran tambahan untuk sesuatu yang semestinya bisa dipangkas.