Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Kolombia, Kokain dan Kita

7 Juni 2016   15:34 Diperbarui: 7 Juni 2016   17:55 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Andreas Escobar/Shaun Botterill/Getty Images

Di mata dunia, bila berbicara tentang tim sepak bola nasional Kolombia hari ini maka yang mengemuka adalah nama-nama seperti James Rodriguez, David Ospina, Cristian Zapata, Jeison Murillo, Santiago Arias, Carlos Alberto Sanchez, Juan Guillermo Cuadrado dan Carlos Arturo Bacca.

Siapa yang tidak kenal klub-klub beken seperti Arsenal, AC Milan, PSV Eindhoven, Inter Milan, Aston Villa, Juventus, dan Real Madrid? Itulah tempat sejumlah pemain tersebut merumput saat ini. Seiring tingkat popularitas dan daya pikat sepak bola di benua biru yang semakin meroket, nama-nama tersebut pun ikut melambung.

Berpadu dengan talenta-talenta luar biasa yang merumput di kompetisi lokal Kolombia dan menyebar di sejumlah liga utama Amerika Selatan, mereka menjadi bagian dari kedigdayaan 'Los Cafeteros' saat ini.

Prestasi baik di sejumlah turnamen mayor dalam satu dekade terakhir, antara lain finalis Piala Konfederasi 2000, juara Piala Emas CONCACAF 2001 serta predikat perempatfinalis di dua turnamen bergengsi Piala Dunia Brasil 2014 dan Copa America 2015 adalah bukti jelas pamor dan kualitas 'Tricolor' saat ini. Teranyar, berada di belakang Belgia dan Argentina dalam daftar peringkat dunia FIFA menunjukkan bahwa Kolombia adalah raksasa sepak bola masa kini.

Kokain
Namun, pencapaian tersebut tak diperoleh Kolombia dengan mudah. Output yang keluar dari racikan Jose Nestor Pekerman saat ini adalah sari yang telah diperas oleh sejarah panjang nan pedih. Sari unggul itu dihasilkan melalui proses ‘pembakaran’ sosial-politik dan ekonomi yang melumat semua ketakutan dan kecemasan bahkan nyawa sekalipun, hanya karena dan atas nama kokain.

Kejayaan sepak bola negara yang terletak di barat laut Amerika Selatan itu telah lama menyatu dengan barang haram itu yang hingga kini belum benar-benar lepas. Bisa jadi perpaduan tersebut, secara positif, memproduksi Timnas Kolombia yang kuat secara mental dan cekatan secara taktik dan teknik. Melihat James Rodriguez cs bermain serasa membayangkan bagaimana para kartel narkoba beraksi: berkelit, bertaruh hingga berjuang mati-matian demi dan hanya untuk sebuah keuntungan. Kemenangan.

Gabriel Jaime Gómez Jaramillo adalah saksi hidup bagaimana semua itu terjadi. Mantan gelandang Kolombia ini belum benar-benar lepas dari bayangan kelam itu. Digerai kembali oleh Ewan MacKenna dalam tulisannya berjuul "Narco-Football Is Dead: Celebrating a Colombia Reborn” di bleacherreport.com, sosok yang disebut Barrabas itu pun berkisah.

Pada Piala Dunia 1994. Sebelum pertandingan penentuan penyisihan grup menghadapi tuan rumah Amerika Serikat, ia mengaku bahwa seluruh pemain mendapat ancaman pembunuhan bila dirinya bermain dalam laga itu.

Striker Tino Aspirilla mengaku, “Kami tidak tahu dari mana ancaman itu datang. Apakah dari kartel obat atau karena perang dengan para gerilyawan?”

Luis 'Chonto' Herrera, bek Timnas Kolombia itu bersaksi, "Lingkungan sangat mengerikan bagi tim. Mereka mengancam para pemain, tim, pelatih. Kita semua pergi ke sana sangat bangga untuk mewakili Kolombia, untuk melakukan yang terbaik bagi negara dan membanggakan keluarga juga, dan itu adalah saat yang sangat sulit bagi semua orang.”

Pelatih Francisco Maturana tak bisa berbuat banyak. Ia lebih memilih keselamatan para pemain dan membungkuk pada ancaman itu.

Teka-teki terkait ancaman tersebut sedikit banyak bisa dipahami bila merujuk pada klub tempat Gomez bermain sebelum tampil di Piala Dunia itu. Ia adalah pemain Atletico Nacional dan Millonarios, dua penguasa kompetisi Kolombia, yang salah satunya dikuasai oleh Pablo Escobar.

Dikenal sebagai raja obat bius yang memiliki kartel barang haram itu, Escobar adalah sosok yang sangat berpengaruh dan sangat ditakuti. Periode 1980-an adalah masa jaya pria bernama lengkap Pablo Emilio Escobar Gaviria. Menguasai lebih dari 80% peredaran kokain di Amerika, keturunan Spanyol ini meraup kekayaan tak kurang dari 24 milyar dollar AS. Kala itu majalah Forbes mendudukkannya di urutan ketujuh daftar orang terkaya sejagat.

Dengan dan melalui bisnis itulah ia menancapkan taringnya dan terus memperluas ekspansinya. Berbagai peristiwa pembunuhan, bahkan ancaman terhadap presiden Kolombia, membuatnya menjadi musuh polisi dan pemerintah.

Bisa jadi raja kokain yang meregang nyawa pada 2 Desember 1993 ini menjadi aktor di balik ancaman terhadap timnas dan Gomez, walau Gomez sendiri tak mengenal mereka.

"Tidak, saya tidak pernah bertemu mereka, saya tidak pernah tidur dengan mereka, saya tidak pernah punya apa-apa dengan mereka... Anda bertanya tentang Pablo Escobar, sekitar narkoba, dan saya tidak tahu apa-apa...”

Muasal
Kejadian yang menimpa Gomez pun terus menjadi misteri, dengan tanda tanya sebesar perselingkuhan antara pembunuhan, kokain dan sepak bola di Kolombia. Tak hanya Gomez, peristiwa misterius lain pun terus terjadi.

Seperti pada 1997, Anthony De Avila, mencetak gol untuk membantu Kolombia lolos ke Piala Dunia. Ia berlari ke kamera TV dan mendedikasikan gol tersebut untuk Rodriguez Orejuela dan kelompoknya yang dipenjara karena bisnis narkoba.

Tak lama kemudian, muncul berita sedih. Klub yang dibela De Avila harus menghenginkan cipta selama satu menit, menghormati salah satu anggota keluarganya yang baru saja dibunuh.

Walau menjadi misteri, perselingkuhan tersebut sedikit banyak bisa diurai dengan sejumlah penjelasan. Meski berbeda versi muaranya tak jauh berbeda.

Dari penelitian seorang profesor di Universitas Antioquia, Gonzalo Medina-Perez yang meneliti tentang hubungan sepakbola dan perdagangan narkoba berpendapat bahwa situasi di Kolombia itu bermula dari masa kepemimpinan Julio Cesar Turbaya Ayala yang sangat liberal. Sejak 1980 sang pemimpin memberlakukan kebijakan ekonomi yang memungkinkan legalisasi berbagai kegiatan ilegal seperti penyelundupan narkoba.

"Itu adalah pintu gerbang bagi pengedar narkoba yang mulai menunjukkan kekuatan ekonomi mereka dan menerapkannya di wilayah berbeda termasuk industri, perdagangan, keuangan dan, tentu saja, sepak bola," tuturnya.

Situsi tersebut memungkinkan para penyelundup dan bandar narkoba untuk menginvestasikan uangnya di klub-klub sepak bola. Sekelompok penyelundup anja di Santa Marta di bawah pimpinan Eduardo Enrique Davila (aktor di balik pengiriman ganja ke Italia, Puerto Riko dan Amerika Serikat pada periode 1970-an) misalnya, ‘menanam’ uang mereka di Union Magdalena, klub pertama yang dibela legenda timnas Kolombia Carlos Valderrama.

Sejak itu klub-klub lokal dan sepak bola Kolombia pun dikuasai oleh segelintir orang yang ingin membangun kejayaan sepak bola dan menginvestasikan kekayaannya. Sebut saja Rodriguez Orejuela yang menyulap America menjadi salah satu klub elit di Amerika Selatan dan sukses menembus final Libertadores pada tahun 1985, 1986 dan 1987.

Dengan kekayaan yang diperoleh dari bisnis haram, ia mendatangkan para pemain berkelas seperti Roberto Cabanas asal Paraguay, bintang Peru Julio Uribe dan Ricardo Gareca dari Argentina. Bahkan ia sampai bertemu Diego Maradona pada 1979 untuk menariknya ke Kolombia.

Selain menjadi ladang investasi dan memutar uang haram, klub-klub pun menjadi arena bertaruh. Bagaimana perjudian di Kolombia begitu kuat tercermin dari peristiwa pembunuhan Alvaro Ortega, wasit yang memimpin pertandingan antara Deportivo dan America di final Copa Libertadores.

"Kami dan pelanggan kami kehilangan banyak uang karena hasil dari pertandingan Deportivo Medellin-Amerika tidak adil," ungkap seorang penelpon anonim kepada wartawan Chicago Tribune.

Dalam situasi seperti itu bisa dipahami bagaimana kemudian Andreas Escobar meregang nyawa tak lama setelah mencetak gol bunuh diri yang mengakhiri riwayat Kolombia di Piala Dunia 1994. Rekan setim Luis 'Chonto' Herrera bersaksi, “Saat itu banyak taruhan untuk kami memenangkan Piala Dunia dan kami tidak dapat keluar dari fase grup”.

Herrera melanjutkan, “Dan setelah kekalahan itu, setiap orang sangat marah pada kami, situasinya sangat kacau, mengerikan. Andres [Escobar] memutuskan untuk makan malam dengan teman-temannya. Ia bertemu banyak orang yang memintanya keluar dari klub [Nacional].”

Kemudian seperti pengakuan Herrera, pada 2 Juli di Medelin, setelah teman-teman Escobar meninggalkan tempat itu, ia berkonfrontasi dengan orang-orang tersebut. “Tetapi pengawal mereka menembaknya enam kali sambil berkata, “Gol, gol, gol, gol, gol, gol.”

Andreas Escobar/Shaun Botterill/Getty Images
Andreas Escobar/Shaun Botterill/Getty Images
Perubahan
Menurut profesor Medina, situasi miris tersebut berubah setelah terjadi transformasi dan transformasi sosial, politik dan ekonomi masyarakat. Sentralisme, terutama di tangan para kartel kokain dan barang haram lain perlahan-lahan hilang seiring berakhirnya riwayat hidup mereka.

"Masyarakat mendapat peluang lebih sebagai pemegang saham, mendapatkan pembinaan yang lebih baik dengan uang yang datang ke negara itu. Ini semua membawa stabilitas ekonomi yang lebih besar untuk tim. Saya kira penjelasan terbaik bagi kemajuan yakni organisasi keuangan."

Semangat perubahan itu benar-benar terasa ketika menyentuh nadi utama sepak bola Kolombia, yakni tiga kota besar yang menjadi rumah bagi lima klub tersukses dalam sejarah negeri itu.

Di Bogota, di mana Klub Millonarios dan Santa Fe telah berbagi 22 gelar, dana besar pun mengalir untuk pembenahan transportasi, infrastruktur budaya dan pemulihan lingkungan. Angka kematian lalu lintas telah berkurang separuh dan tingkat pembunuhan telah menurun sekitar 70 persen.

Di Medellin, di mana Nacional berumah, tingkat pembunuhan telah menurun 80 persen di antaranya karena adanya integrasi antara pemukiman kumuh yang ada di lereng bukit dengan moda transportasi serta perbaikan pendidikan dan program-program sosial.

Pemandangan yang kurang lebih sama terjadi di Cali, kota yang menjadi markas klub America dan Deportivo. Pembongkaran lingkungan El Calvario yang dikenal sebagai pusat obat-obatan, prostitusi dan berbagai bisnis haram lainnya.

Berbagai perubahan yang dilakukan telah membuahkan hasil. Walau di sana-sini masih belum menyelesaikan persoalan dasar setempat seperti kemiskinan. Setidaknya dampat positif itu terlihat nyata.

Salah satu kesaksian meluncur dari mulut Juan Pablo Angel, pemain Kolombia yang lahir di Medellin dan pernah merasakan masa-masa suram.

"Pulang setahun sekali pada akhir musim membuat lebih mudah untuk melihat perubahan yang terjadi di kota dan Negara. Terutama ketika Alvaro Uribe menjadi presiden (antara tahun 2002 dan 2010),” tuturnya yang pernah berkiprah di Argentina, Inggris bersama Aston Villa sebelum mengakhiri petualangan di Amerika Serikat.

Juan Pablo Angel memperkuat Nacional pada 1997/Getty Images
Juan Pablo Angel memperkuat Nacional pada 1997/Getty Images
Kini
Masa-masa sulit Kolombia dan persepakbolaannya akhirnya harus dibayar mahal dengan rasa takut, dan digadai dengan nyawa. Di pentas sepak bola dunia, kondisi miris tersebut membuat Kolombia harus kehilangan kesempatan menjadi tuan rumah Copa America 2001.

Bahkan menurut Pereira, "Setahun kemudian, Kolombia bahkan tidak lolos ke Piala Dunia."

Situasi ini membuat Kolombia segera sadar diri dan berbenah. Kompetisi sepak bola dibenahi di antaranya mengikuti kalender sepak bola seperti di Eropa; melakukan investasi dan memperhatikan pembinaan usia muda.

"Lebih banyak investasi. Mereka mengurangi jumlah klub di divisi pertama, menempa bakat dan meningkatkan standar. Banyak klub mulai berinvestasi akademi muda.”

Walau proses tersebut membutuhkan waktu, bahkan harus absen di perhelatan Piala Dunia tahun 2000-an, namun hasilnya sudah dirasakan saat ini. Dengan belajar dari masa lalu, kepemilikan dan pengelolaan klub pun menjadi baik dan berpengaruh pada stabilitas sepak bola setempat.

"Itu sebabnya sepak bola kami kuat, benar-benar kompetitif, kami telah mengirim pemain di seluruh dunia, dan standar kembali baik lagi," sambung Herrera.

Dengan perubahan signifikan itu, kepada Gomez yang sempat merasa trauma dan getir saat harus mengingat masa lalu yang kelam, Ewan MacKenna bertanya, "Jadi bagaimana Anda merasa hari ini?"

Dengan mantap ia menjawab, "Setelah semua yang kita lalui dan untuk sampai ke titik ini ... kebanggaan. Bagaimana kita tidak bisa merasakan itu?"

bleacherreport.com
bleacherreport.com
Kita
Situasi Kolombia dalam arti tertentu seperti yang kita alami saat ini. Bila sepak bola Kolombia sudah melepaskan diri dari cengkeraman masa lalu yang sangat sentralistis dan menjadi kuda tunggangan bisnis haram, maka Indonesia baru mulai bergerak ke arah pembebasan itu.

Walau sepak bola Indonesia tak lekat dengan barang-barang haram, namun kasus pengaturan skor alias match fixing, perjudian, dan perebutan kekuasaan, menjadi sahabat karib praktik kegelapan pula. Perang kepentingan masih saja terjadi. Setelah sanksi FIFA dicabut, menyusul berakhirnya pembekuan PSSI oleh Pemerintah, masa depan sepak bola Indonesia masih dalam tanda Tanya.

Ah, tak perlu berpanjang-panjang melitanikan masa kelam sepak bola kita. Lupakan sejenak, mari kita mencari hiburan positif dari karut marut persepakbolaan Tanah Air yang memusingkan. Kita nikmati bagaimana Kolombia merayakan sepak bola mereka saat ini di pentas Copa America Centenario.

Sumber utama: bleacherreport.com, the guardian, The Sport Illustrated, Daily Mail.co.uk

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun