Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tour de Flores 2016, Sport Tourism dan Tiongkok

23 Mei 2016   16:03 Diperbarui: 23 Mei 2016   20:14 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Flores. Apakah dikenal di Indonesia dan dunia? Bisa ya, sepanjang namanya tertera dalam daftar 17.508 pulau di Nusantara dan salah satu pulau dengan delapan kabupaten yang berada dalam pangkuan provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), satu dari 34 provinsi di Indonesia.

Lebih lanjut, seberapa terkenal Flores itu? Dengan tanpa berpanjang makna, patut diakui, ikhwal yang satu ini Flores senasib sepenanggungan dengan ‘sang induk’, NTT. Kepopulerannya terwakili dalam seabrek predikat miris, yang kadang sulit terbantahkan, yakni ketertinggalan hampir dalam semua dimensi kehidupan.

Flores khususnya dan NTT umumnya adalah potret keterbelakangan dengan angka kemiskinan yang terus meningkat. Pada tahun 2015, angka kemiskinan NTT mencapai 22,56 persen dari 19,06 persen pada tahun sebelumnya (TribunNews.com, 20 April 2016).

Tingkat pertumbuhan ekonomi yang melambat, mengantar provinsi ini ke dalam jurang tiga besar provinsi termiskin di Indonesia, setelah Papua dan Papua Barat. Dengan tanpa berpanjang-panjang, satu indikator itu, dengan sendirinya membuat kita mafhum mengapa perkembangan sektor lain setali tiga uang.

Namun, ketertinggalan tersebut bukan harga mati yang harus diterima dan dipikul dengan tawakal. Flores bukan pulau tanpa penghuni yang akan tinggal tetap begitu saja.

Sejak ditemukan secara tak sengaja oleh Antonio de Bareu dan Francisco Serrao yang memimpin ekspedisi Portugis pada 1511, seperti nama yang diberikan, Flores memiliki potensi. Potensi itu tak hanya seperti yang terlihat oleh Segnor Cabot, salah satu anggota dalam rombongan ekpedisi itu yang kemudian menyebut tempat itu ‘Cabo da Flora”, bila di-Indonesia-kan menjadi “Tanjung Bunga”, lantaran bertemu biota laut yang indah seperti gugusan bunga kala menyelam memberbaiki kapal mereka yang kandas.

Di atas tanah pun Flores memiliki pesona. Tak sebatas yang mereka temukan sekilas saat itu: hamparan padang savana yang dihuni penduduk ‘primitif’ yang kemudian ditaburi benih-benih Kristiani. Hamparan savana yang membentang di atas wilayah seluas 13.540 km2 itu ternyata menyembunyikan pesona alam yang luar biasa. Nama Flores yang dipakai secara resmi oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Brouwer sejak tahun 1636, seakan menegaskannya.

Namun, pertanyaan kemudian, mengapa potensi tersebut tetap tinggal potensi? Mengapa Flores seakan tak terjamah hingga kini? Uraian panjang dibutuhkan untuk menjawabnya, sepanjang sejarah bergabungnya NTT dengan wilayah Propinsi Sunda Kecil pada 1951 hingga menjadi daerah otonom tujuh tahun kemudian.

Acara pembukaan Tour de Flores di Larantuka, Flores Timur, 19 Mei 2016/gambar dari @tourdeflores
Acara pembukaan Tour de Flores di Larantuka, Flores Timur, 19 Mei 2016/gambar dari @tourdeflores
Sport tourism Tour de Flores(TdF)

Turnamen balap sepeda internasional Tour de Flores yang dihelat pada 19-23 Mei 2016 menjadi momentum yang pas untuk menempatkan Flores pada titik yang semestinya. Ajang tersebut menjadi satu dari sekian kemungkinan yang bisa ditempuh untuk mengangkat pamor Flores dan memanggungkannya baik ke tingkat nasional maupun internasional.

Sebanyak 20 tim dari sepuluh negara (termasuk Indonesia) datang tidak hanya untuk melahap 661,5 kilometer yang terbagi dalam lima etape di jalur utama lintas Flores. Para jagoan pengayuh sepeda itu tidak sema-mata ingin memenangkan miliaran rupiah (dari total hadiah 7-8 miliar) sebagai ganjaran memenangkan ajang balap sepeda dengan grade 2.2 itu. Mereka datang membawa serta kerinduan untuk melahap pesona Flores secara langsung.

Dengan mata kepala telanjang, mereka melihat dari dekat seperti apa Flores itu. Bila selama ini pesonanya tak tersiar luas, atau hanya dikabarkan samar-samar dan terbatas, kali ini para pebalap itu melihat secara kasat mata.

Deretan objek wisata dan keandalan Flores yang membentang dari Larantuka hingga Labuan Bajo menjadi kawan akrab mereka selama perjalanan. Walau kesempatan tersebut terbatas, dan tak semua spot menarik disinggahi, setidaknya beberapa pemberhentian sudah cukup mewakili untuk memerangkap rasa takjub dan ingin tahu mereka.

Hasil jepretan salah satu peserta @EdgarNohales di titik start TdF yakni Larantuka.
Hasil jepretan salah satu peserta @EdgarNohales di titik start TdF yakni Larantuka.
Sejak titik start, para pebalap disuguhi pemandangan alam yang indah kota pesisir pantai Larantuka. Kota bersejarah yang disebut kota Reinha itu menghadirkan kenyamanan di bawah lindungan gunung Ile Mandiri. Tak berapa jauh dari situ, pulau Lembata hadir dengan daya pikat tradisi penangkapan ikan paus dan alam indah yang masih ‘perawan’.

Setelah dibuka Menko Maritim Rizal Ramli, para pebalap akan menjajai medan sejauh 138,3 kilometer. Dua tanjakan menanti yakni Lewo Hari di kilometer 27,1 dan Ile Wengot pada kilometer 65,4. Rasa lelah para pebalap akan terbayar lunas usai menaklukkan Ile Wengot. Di atas ketinggian 564 mdlp itu, mereka bisa menyaksikan bentangan alam indah hingga menyapu Kota Reinha di ujung timur.

Tiba di Maumere, Ibu Kota Kabupaten Sikka, para pebalap pasti disambut hawa panas. Di siang hari, suhu udara benar-benar menyengat kulit. Namun di balik hawa panas itu, Niang Tana menyimpan kesejukan dengan deretan objek wisata bahari.

Kurang lebih 24 km arah barat Kota Maumere ada Pantai Kajuwulu. Bukit berderet-deret memagari pantai yang biru jernih dengan polesan pasir putih. Dari arah Larantuka, sekitar 31 km sebelum kota Maumere, ada pantai Wairterang dengan keragaman terumbu karang dan biota laut.

Seperti Wairterang yang cocok untuk olahraga diving dan snorkeling, Maumere masih memiliki alternatif lain untuk olahraga serupa. Kurang lebih 11 kilometer arah timur Kota Maumere, pantai Waiara memanggil-manggil dengan keindahan bawah laut dan pesona sunsetyang menggoda.

Bila tak sempat mencicipi satu demi satu keindahan tanah Sikka, para pebalap bisa menyaksikan keindahan pantai dan alam yang sejuk sepanjang perjalanan menuju kabupaten Ende.

Bagi yang menyukai pegunungan, jalur Maumere-Ende sangat menjanjikan. Jarak 141,3 km akan memaksa para pebalap untuk menaklukkan empat kali tanjakan yang berpuncak di Arunduarun. Di atas ketinggian 1.101 mdpl itulah sensasi alam pegunungan dengan hawa dingin yang menyengat benar-benar terasa.

Sebagai ganjaran, objek wisata danau tiga warna di Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende bakal membayar lunas  segala perjuangan. Dengan berjalan kaki meniti ratusan anak tangga untuk menggapai ketinggian 1.639 mdpl, tiga telaga kawah dengan tiga warna berbeda (merah, biru dan putih) menjadi pelipur lara yang tuntas.

Di balik pesona danau triwarna yang kerap berubah-ubah itu, tersimpan unsur mistis-magis yang masih kuat dipegang masyarakat setempat. Kawah triwarna itu dianggap sebagai tempat persemayaman para arwah yang telah meninggal.

Tiwu Nuwa Muri Koo Fai yang berwarna biru dipercaya sebagai tempat berkumpulnya jiwa-jiwa muda-mudi yang telah meninggal. Tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang yang telah meninggal yang selama hidup kerap melakukan kejahatan dipercaya menghuni Tiwu Ata Poloyang berwarna merah. Sementara danau berwarna putih yang disebut Tiwu Ata Mbupudianggap sebagai tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang tua yang telah meninggal.

Salah satu sisi Danau Kelimutu/sumber gambar @Ntt-one
Salah satu sisi Danau Kelimutu/sumber gambar @Ntt-one
Di balik aura mistis-magis Danau Kelimuut, setiap pengunjung akan mendapatkan hiburan setimpal. Selain keindahan danau tiga warna, alam sekitar yang masih asri berikut cicit burung dari berbagai sudut menjadi teman setia. Namun, patut dicatat, alam yang kadang tak selalu bersahabat, dengan tingkat curah hujan yang tinggi membuat para pengunjung harus  pandai-pandai mengatur waktu untuk menjangkau spot indah itu.

Danau Kelimutu menjadi penyambut bagi para pebalap sebelum melewati jalur menegangkan menuju Kota Ende. Bukit terjal dan jurang dalam menjadi kombinasi yang menakutkan dan sangat menuntut kehati-hatian.

Setiba di Kota Ende, hawa panas kembali menyergap. Kota dengan seribu kenangan bersejarah tentang Ir Soekarno bisa memacu rasa ingin tahu untuk menggali lebih jauh tentang akar sejarah bangsa Indonesia. Konon, di bawah pohon sukun dengan lima cabang yang kini masih terawat di Lapangan Pancasila itu, sang bapak bangsa mendapatkan inspirasi tentang Pancasila.

Menko Rizal Ramli saat tiba di Ende, menurut Kompas.com ia sangat terinspirasi dengan sosok Soekarno/gambar dari @kompascom
Menko Rizal Ramli saat tiba di Ende, menurut Kompas.com ia sangat terinspirasi dengan sosok Soekarno/gambar dari @kompascom
Dari kota Ende, para pebalap akan terus mengayuh ke barat. Etape ketiga sepanjang 123,3 kilometer akan menjangkau wilayah dua kabupaten sekaligus yakni Kabupaten Nagekeo dan berakhir di Kabupaten Ngada yang beribukota Bajawa.

Tak kurang dari dua kali adu sprint dan empat kali tanjakan harus dilewati para pebalap. Nagekeo bersuhu panas, sementara saat memasuki wilayah Kabupaten Ngada hawa dingin benar-benar menyengat. Puncaknya pada tanjakan tertinggi di kilometer 113,6 yang terletak di Mangulewa, Kecamatan Golewa.

Dalam kedinginannya Ngada menyimpan sejuta pesona. Nun di pesisir utara, taman wisata 17 pulau di Riung memanggil-manggil. Pulau-pulau kecil berjejer-jejer dengan objek bawah laut yang memikat. Pencinta snorkeling bakal dimanjakan dengan panorama terumbu karang yang konon berjumlah 47 spesies dengan ragam ikan.

Tanpa harus menceburkan diri ke laut biru, dengan mata telanjang, hanya dari jarak pandang 1 meter semua pemandangan indah itu bisa disantap. Belum lagi mendengar deru perahu motor, rombongan kelelawar yang menghuni salah satu pulau, kompak memaklumkan eksistensi, terbang melintas di atas gugusan pulau itu.

Selanjutnya, dalam perjalanan etape keempat, para pebalap akan menuruni jalan curam berkelok-kelok di wilayah Kaju Ala. Setelah mencapai Aimere, ibu kota kecamatan Aimere, para pebalap akan dengan leluasa menyaksikan keindahan gunung Ine Rie.

Dari wilayah selatan Kota Bajawa itu, pandangan mata kita akan bertumbukan dengan gunung setinggi 2245 meter itu sebagai piramida dengan sisi yang benar-benar lurus.

Bagi para pencinta alam dan hiking, gunung berapi yang terakhir kali meletus pada tahun 1970 itu bisa dijajal. Pada musim kemarau, sekitar bulan Juli hingga Agustus, untuk menggapai puncak hanya dibutuhkan waktu sekitar tiga jam.

Rute pendakian bisa dimulai dari Watumeze atau dengan bantuan para pemandu lokal. Di puncak Inerie kita bisa menikmati keindahan Kota Bajawa yang terletak pada ceruk pegunungan secara jelas.  Tak hanya itu, wajah asli Kabupaten Ngada yang berbukit-bukit mendapatkan pembenaran. Nun di selatan gunung indah itu keindahan Laut Sawu bisa dinikmati pula.

Di kaki gunung Inerie kita masih mendapatkan bonus kultural yang bernama Kampung Bena. Ya, sebuah perkampungan adat yang masih terpelihara di tengah derasnya arus pembangunan. Sekitar 40 buah rumah adat yang berdiri saling berhadap-hadapan memanjang dari utara ke selatan.

Kampung adat Bena/sumber gambar @AmayraniPalaci
Kampung adat Bena/sumber gambar @AmayraniPalaci
Sisi utara menjadi pintu masuk satu-satunya. Deretan rumah adat yang beratapkan ilalang dengan segenap atribut sarat makna. Patung pria yang tengah memegang parang dan lembing terlihat di salah satu sudut. Orang Bajawa menyebutnya Sakaboloyakni rumah inti keluarga laki-laki.

Di teras rumah, tanduk kerbau, rahang dan taring babi dipajang berderet di jenang rumah yang melambangkan status sosial warga setempat. Bagi masyarakat Ngada umumnya babi merupakan salah satu bintang utama yang dikorbankan saat upaca adat dan acara-acara penting lainnya.

Tak sampai di situ, simbol kultural masih ditemukan di halaman rumah. Sebagaimana terdapat di perkampungan masyarakat Bajawa umumnya, kehadiran dua bangunan mungil tak bisa dilepaskan.

Dua bangunan mini itu yakni Ngadhu dan Bhaga. Ngadhu yang menyerupai payung merupakan simbol leluhur laki-laki. Sedangkan simbol nenek moyang wanita terwakili dalam miniatur rumah yang disebut Bhaga itu.

Dua bangunan mungil itu berdiri kokoh di halam kampung. Tak jauh dari situ terdapat undakan batu-batu pelat yang disebut batu nabe.Di bawah tumpukan batu itu terdapat makam para leluhur. Tempat tersebut biasa dijadikan sebagai lokasi musyawarah, tempat menaruh sesajen dan locusberkomunikasi dengan para leluhur.

Gunung Inerie tampak seperti piramida dengan puncak berbentuk kerucut/sumber gambar @AreaAmazing
Gunung Inerie tampak seperti piramida dengan puncak berbentuk kerucut/sumber gambar @AreaAmazing
Keindahan dan potensi alam dan budaya Flores belum usai. Sebelum menyentuh garis finish etepe keempat di Ruteng, ibu kota kabupaten Manggarai, para pebalap masih disuguhkan panorama alam Taman Wisata Alam Ruteng.

Taman wisata seluas 32.245,6 ha itu berjarak 35 km dari Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur atau 25 km dari Ruteng. Alam yang sejuk, walau bersuhu relatif dingin (sekitar 14 derajat celcius) amat disayangkan bila dilewatkan begitu saja. Ditambah lagi panorama Danau Ranamese seluas lima ha dengan kedalaman 43 meter kian menambah daya tarik taman wisata tersebut.

Tak puas dengan Danau Ranamese, bumi Congkasae-julukan Manggarai-masih memiliki Danau Sano Nggoang. Terletak di Desa Wae Sano, kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, danau terbesar di NTT itu menyajikan potensi ekowisata yang memikat.

Air berwarna hijau menggenangi arena seluas 513 ha. Danau tersebut merupakan danau vulkanik yang terletak persis di sebelah tenggara kawasan Hutan Mbeliling dan blok Hutan Sesok.

Danau Sano Nggoang sebagai sumber air bagi warga Labuan Bajo dan sekitarnya/sumber gambar @harrys_16
Danau Sano Nggoang sebagai sumber air bagi warga Labuan Bajo dan sekitarnya/sumber gambar @harrys_16
Kawasan hutan tersebut menjadi paru-paru sekaligus jantung kehidupan masyarakat Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat. Selain menjadi pemasok oksigen, kawasan tersebut merupakan sumber air utama.

Di tempat tesebut terdapat objek wisata air terjun Cunca Wulang, Cunca Lolos, dan Cunca Rami. Dijamin sebelum para pebalap mengakhiri etape pamungkas berjarak 121,5 kilometer di Labuan Baju, panorama indah dan menyejukkan bakal mengurangi rasa lelah.

Belum lagi di titik akhir, setelah tujuh kali adu sprint dan melapah 16 titik King of Mountain sepanjang lintas Flores, sajian alam Labuan Bajo dengan deretan pulau indah, salah satunya Kawasan Taman Nasional komodo, menjadi penutup yang sempurna.

Salah satu sudut Taman Nasional Komodo/sumber gambar @InfoJakarta
Salah satu sudut Taman Nasional Komodo/sumber gambar @InfoJakarta
Tiongkok

Perhelatan TdF menjadi ajang yang pas untuk mengkombinasikan aspek olahraga dan turisme. Para pebalap tak hanya berkompetisi menuntaskan etepe demi etape. Mereka tak hanya diiming-imingi hadiah dan mendapat jaminan selama berada di Flores.

Alam yang indah dan suguhan sosio-kultural adalah nilai lebih yang mereka dapatkan. Sebaliknya, TdF memberikan faedah pula kepada Flores khususnya dan NTT umumnya.

Pasalnya para pebalap tidak datang sendirian. Bersama mereka hadir pula para jurnalis, dan juru warta baik domestik maupun mancanegara. Selain melalui media arus utama, pemberitaan secara daring dan melalui sosial media pun bergerak bersama. Alhasil event ini mengundang perhatian luas.

Kehadiran para pebalap dari Tiongkok misalnya, sudah mengundang perhatian media di negera tersebut. Kiprah Liu Jianpeng yang berbendera Tim Wisdom HengXiang itu dan kawan-kawannya membuat kantor berita Tiongkok, Xinhua juga memberi kabar.

Sejauh pengamatan saya, baru memasuki etape kedua, gema TdF sudah tercium hingga ke Asia Timur. Kantor berita resmi Negeri Tirai Bambu itu menulis pada salah satu bagian (bdk. news.xinhuanet.com/english/photo/2016-05/20/c_135376047.htm).

Tentu kita berharap kabar baik tentang ajang ini akan diwartakan pula oleh para pebalap yang berasal dari Asia Timur, Australia hingga Afrika.

Dengan tanpa mengabaikan potensi dari negara-negara lain, kehadiran para pebalap Tiongkok hingga pewartaan kantor berita resmi mereka menjadi angin segar. Mengapa?

Walau kondisi perekonimian sedang terguncang akhir-akhir ini, Tiongkok telah menancapkan diri sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam satu dekade terakhir meningkatkan persentase warga kelas menanga atas (Kompas,Kamis 3 Maret 2016, hal.17).

Salah satu implikasi terlihat pada perubahan gaya hidup dengan berwisata menjadi kebutuhan penting. Sejak tahun 2012, Tiongkok mengirim turis terbanyak ke penjuru dunia. Tak hanya dalam jumlah, juga uang yang dibelanjakan.

Tahun 2015 tak kurang dari 120 juta turis Tiongkok wara-wiri ke luar negeri. Mereka menghabiskan 105 miliar dollar AS atau setara Rp1.417,5 triliun (kurs Rp13.500).

Sayang jumlah fantastis itu hanya sedikit yang menetes ke Indonesia. Turis Tiongkok yang mengunjungi Indonesia, pada tahun 2015 itu, hanya berjumlah 1,1 juta atau 0,91 persen dari total turis Tiongkok. Turis Tiongkok masih lebih senang ke negara-negara tetangga seperti Thailand (sebanyak 8 juta orang) atau  Malaysia (3 juta orang).

Tugas berat memang untuk menggoda warga Tiongkok ke Tanah Air. Alih-alih ke NTT, atau Flores, pemerintah Indonesia saja masih kewalahan memanfaatkan potensi itu.

Pada level nasional sejumlah prasyarat penting masih harus dipenuhi. Pada level promosi, penyebaran informasi tak hanya massif tetapi juga benar-benar menyapa dengan bahasa setempat. Agar mudah dimengerti promosi tersebut harus menggunakan bahasa Mandarin. Berapa banyak warga Indonesia yang mampu berbahasa Mandarin?

Selain itu, dituntut pula kecakapan memanfaatkan internet. Patut dicatat sebanyak 83 persen turis Tiongkok merencanaan wisata melalui internet. Mesin pencari Baidu jauh lebih populer ketimbang Google atau Yahoo yang menjadi andalan kita. Sehingga pemerintah perlu menggandeng Baidu, dalam konteks pariwisata adalah Baidu Travel sebagai media perjalanan nomor satu di negara tersebut.

Tak hanya itu, persiapan sumber daya manusia mutlak diperlukan. Selain promosi online, penyebaran informasi berupa petunjuk, brosur, tanda-tanda dan berbagai hal lain terkait pariwisata menuntut kecakapan bahasa tersebut.

Konteks Flores, NTT

Menggaet turis Tiongkok boleh saja menjadi salah satu cita-cita pemerintah pusat. Pun pemerintah provinsi dan kabupaten. Namun kesulitan yang ditemukan pada level nasional akan bertambah pelik saat diimplementasikan di level lokal.

Konteks NTT umumnya dan Flores khususnya belum menempatkan pariwisata sebagai sektor andalan. Dari data yang dikeluarkan BPS Provinsi NTT, struktur ekonomi NTT triwulan I tahun 2016 masih didominasi tiga lapangan usaha utama yakni pertanian, kehutanan dan perikanan yang meraup 29,63 persen.

Belum lagi soal sumber daya manusia dan infrastruktur untuk meyakinkan para wisatawan agar singgah dan betah di Flores. Tentang hal terakhir itu pemberitaan Floresa.Co,22 Mei 2016 merepresentasikan kondisi terkini infrastruktur terutama jalan di Flores.

Patut diakui persiapan perhelatan TdF berlangsung dalam tempo singkat, bahkan sangat singkat untuk sebuah event berskala internasional. Tak pelak berbagai sarana disiapkan seadanya seperti pemberitaan Flores.cotersebut tentang kondisi jalan dalam kota Labuan Bajo yang ditambal sulam demi menyambut para peserta TdF.

Meski berusaha diantisipasi oleh pemerintah setempat dengan menggelontorkan dana ratusan juta bahkan hingga miliaran, wajah asli Flores tetap tak bisa ditutup-tutupi. Euforia penyambutan dan antusiasme masyarakat tak lebih dari ledakan sesaat yang tidak bisa mengingkari realitas asli.

Salah satu peserta TdF mengunggah kondisi salah satu ruas jalan di Flores, Ia berharap tak menemukan lagi di tahun mendatang/sumber gambar @dimsumwheels
Salah satu peserta TdF mengunggah kondisi salah satu ruas jalan di Flores, Ia berharap tak menemukan lagi di tahun mendatang/sumber gambar @dimsumwheels
Patut diakui touring dan fun bake,pesta rakyat, bazar, atraksi budaya, pentas musik hingga kunjungan ke destinasi wisata adalah realitas momental yang akan berlalu setelah ditinggal pergi para peserta.

Tugas berat selanjutnya adalah membuat para peserta itu ingin kembali lagi ke Flores dengan membawa serta wisatawan lainnya sebagaimana target  tinggi mendatangkan 1,6 juta wisatawan nusantara dan 500 ribu wisatawan mancanegara (wisman) dalam tiga tahun ke depan (bdk.beritasatu.com,29 Januari 2016).

Target tersebut bisa menjadi utopis bila tak dibarengi dengan langkah kontinyu dan konstruktif setelah TdF 2016. Hal itu bisa berupa:

Pertama,selain soal promosi dengan pendekatan BAS (branding, advertising, dan selling), persoalan infrastruktur dan sarana transportasi perlu dibenahi. Selain akses jalan, transportasi baik darat, laut maupun udara dari dan ke Flores atau di Flores sendiri perlu dibenahi.

Flores yang jauh dari ibu kota serta toporgafi bergelombang dengan taburan pegunungan di sana sini menuntut kerja lebih dari pemerintah. Diharapkan dengan berbagai strategi, ongoks dan biaya perjalanan ke dan selama di Flores bisa ditekan seminimal mungkin.

Kedua,komitmen politik. Yang diucapkan Wakil Gubernur NTT, Benny Alexander Litelnoni jelang perhelatan TdF merupakan hal penting.

Komintmen politik tak hanya sebatas berkata ‘iya’ tanpa aplikasi nyata berupa alokasi anggaran dan konsep pembangunan yang jelas. Ikhwal penganggaran dan implementasi program masih menjadi masalah besar di negeri ini.

Salah satu terbosona seperti direncanakan Menteri Pariwisata Arief Yahya dengan membentuk Badan Otoritas Pariwisata Komodo Labuan Bajo yang fokus mengelola pariwisata di sekitar Komodo, Labuan Bajo, dan Flores.

“Tujuan dibentuknya badan ini adalah agar satu destinasi dikelola hanya satu manajemen, sehingga pembangunan dan pengembangannya bisa terkoordinasi dan lebih efektif,” ungkap Arief dikutip dari beritasatu.com,29 Januari 2016.

Pembentukan badan otoritas ini bertanggung jawabuntuk membangun infrastruktur dan menarik investasi di kawasan tersebut. Namun kerja Badan Otoritas ini harus dipetakan secara jelas, transparan dan terukur.

Bukan rahasia lagi, beberapa wilayah potensial pariwisata di Flores sudah berada di tangan para investor. Bahkan beberapa lagi masih menjadi polemik terkait kepemilikannya. Labuan Bajo dengan segala keindahannya menjadi contoh. Jangan sampai harta kekayaan Flores jatuh ke tangan segelintir orang dan dikeruk untuk kepentingan primordial.

Tarian Caci saat menyambut para pebalap di etape keempat TdF/sumber gambar @Okezonenews
Tarian Caci saat menyambut para pebalap di etape keempat TdF/sumber gambar @Okezonenews
Ketiga,pertanyaan yang tak kalah penting adalah dalam proses tersebut, di mana posisi masyarakat Flores? Apakah mereka hanya sekadar menjadi penonton semata?

Pemerintah boleh saja bergerak dengan rancang bangun fenomenal. Namun, hal itu tak akan banyak berarti bila tak didukung oleh masyarakat setempat. Justru masyarakat setempat mesti menjadi penggerak utama untuk menggerakkan sektor pariwisata setempat. Bukankah sasaran pengembangan sektor pariwisata tak hanya untuk mendatangkan devisa, tetapi juga bermuara pada kesejahteraan masyarakat lokal?

Maka peran penting masyarakat tak bisa ditepis. Masyarakat Flores harus diberdayakan sehingga cakap memanfaatkan momentum kehadiran para wisatawan dan mendapatkan nilai lebih dari sektor pariwisata untuk meningkatkan taraf hidupnya. Masyarakat Flores harus hadir di sentra-sentra pariwisata dan benar-benar menjadi tuan di tanahnya sendiri.

Sentra-sentra kerajinan dan kesenian yang tersebar hampir di semua wilayah di Flores perlu distumulus dan didorong agar mampu berproduksi secara maksimal. Flores memiliki kekayaan tenun ikat hampir di semua wilayah. Ada pula tembikar di Sikka, pertunjukan tarian hedung di Sikka, atau tarian Caci di Manggarai, bisa dikelola secara profesional. Kekhasan tersebut perlu menjadi kekayaan masyarakat lokal. Usaha Kecil dan Menengah (UKM) perlu digalakkan dengan menyasar kekhasan-kekhasan tersebut menjadi keunggulan dan kekayaan setempat.

Keragaman makanan dan minuman pun setali tiga uang.  Keripik ubi Nuabosi di Ende, jagung titi (jagung yang dipipihkan) dan kue rambut di Larantuka, Rebok (penganan campuran kelapa parut dan tepung beras) di Manggarai misalnya, bisa dikemas dan dijual.

Tampilan Kue Rambut/gambar dari @Detik_travel
Tampilan Kue Rambut/gambar dari @Detik_travel
Bagi wisatawan yang menyukai makanan pedas, masakan ra’a rete (daging babi dicampur kelapa parut) dari Bajawa bisa menjadi pilihan.

Selain itu, Flores memiliki hasil laut yang melimpah. Aneka ikan mentah maupun kering dari Maumere sudah terkenal kesegaran dan kelezatannya, tinggal dimaksimalkan aspek pengemasan dan penjualannya.

Di pusat-pusat objek wisata masyarakat lokal bisa diajarkan bagaiman membangun komunikasi yang baik dengan para wisatawan. Selain membuat mereka nyaman dan betah, juga memungkinkan para pembawa devisa itu tertarik dengan souvenir, dan jualan masyarakat.

Akhirnya, TdF tahun pertama ini diharapkan menjadi langkah awal yang menjanjikan. Dengan segala kekuarangannya, muncul suara-suara kritis bahkan miring di sana-sini. Itu perlu diramu sebagai bahan evaluasi dan momen instrospeksi bersama untuk menata TdF dan pariwisata Flores secara lebih baik.

Tak bisa dipungkiri, bila selama ini Flores dan keharumannya seakan tinggal tetap, maka TdF adalah langkah alternatif yang konstruktif untuk membuat Flores lebih baik. Dengan sepeda kita bisa menyebarkan keharuman Nusa Bunga ke dunia…

Selamat datang di Flores, a Wonderful Land and New Tourism Territory...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun