Dengan yakin dan pasti, Infantino memaklumkan bahwa era lama, momen-momen penuh krisis dan skandal akan segera berlalu. Saatnya menyambut era baru yang dibangun di atas landasan ‘good governance’ dan transparansi.
"FIFA telah melalui saat-saat sedih, saat-saat krisis, tetapi saat-saat itu telah berlalu. Kami perlu untuk mengimplementasikan reformasi dan menerapkan tata kelola yang baik dan transparansi. Kita juga perlu mendapatkan rasa hormat. Kami akan memangngkannya kembali melalui kerja keras , komitmen dan kita akan memastikan bahwa akhirnya bisa fokus pada permainan indah yakni sepak bola,"lanjutnya.
Bos FA, Greg Dyke menyambut baik terpilihnya Infantino. Ia menilai Infantino bukan politisi sehingga berpeluang bebas dari segala kepentingan politis. Selain itu Dyke menyebut, Infantino bukan sosok primordialis yang mementingkan diri dan mau menang sendiri.
"Dia bukan politisi dan dia tak ego, FIFA telah didominasi oleh ego untuk waktu yang sangat lama. Dia adalah tipe orang yang hanya akan melanjutkan pekerjaan...,"tutur Dyke.
Arah kapal
Infantino boleh saja memaklumkan bahwa era baru telah tiba. Badai telah berlalu. Namun pada titik ini Infantino sejatinya belum benar-benar terputus dengan masa lalu, justru menghadapi tantangan pembuktian maha berat terhadap kata-kata tersebut. Dalam bahasa Gary Lineker, melalui cuitannya di jejaring twitter, menyebut bahwa Infantino sedang mengenggam ‘neraka’.
Neraka itu adalah masalah yang saat ini sedang melilit FIFA dan belum menemui ujung penyelesaian yang total. Sejumlah pejabat tinggi FIFA sedang menghadapi tuntutan pengadilan Swiss dan Amerika Serikat terkait aneka skandal yang mereka lakukan.
Dalam tulisan saya sebelumnya di tempat ini, terjeratnya sejumlah pejabat tinggi itu sama sekali belum membebaskan FIFA dari masalah. Bukan tidak mungkin pengakuan-pengakuan dan temuan-temuan baru masih berlanjut dan bisa menjadi bom waktu yang meledakkan eksistensi FIFA dan membalikkan anggapan pengadilan Amerika sebelumnya bahwa FIFA bukanlah ‘korban’ dari ulah oknum, tetapi oknum yang memelihara kejahatan terstruktur.
Kini kuncinya ada pada Infantino. Dialah yang menggenggam kemudi kapal besar bernama FIFA. Ke mana ia akan mengarahkan biduk perjalanan FIFA? Ke pelabuhan damai dan teduh dengan modal paket reformasi yang sudah dirancang dan tinggal membutuhkan pengesahan? Atau masih terjerat dalam kepentingan primordial dan ‘tersandra’ pesanan oknum?
Dyke mengaku yang paling dibutuhkan FIFA saat ini adalah reformasi ketimbang presiden baru. Namun perang penting presiden baru untuk menggerakkan roda reformasi itu tak bisa ditampik.
Indonesia?