Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

(Bukan) Basa-basi Pencabutan Pembekuan PSSI dan KLB FIFA

25 Februari 2016   14:06 Diperbarui: 25 Februari 2016   15:53 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber gambar BBC.com"][/caption]

Ada satu pertanyaan menggelitik dari rencana pencabutan Pembekuan PSSI yang baru saja dikumandangkan Presiden Joko Widodo, Rabu (24/02/2016) petang dan Kongres Luar Biasa FIFA, Jumat (26/02) besok: apa arti semua itu? Lebih persis, adakah perubahan signifikan yang akan terjadi di jagad sepak bola domestik dan dunia setelah dua momentum itu terlaksana?

Saat ini, baik sepak bola dalam negeri maupun dunia diterpa badai yang satu dan sama: krisis. Tepatnya, krisis kepemimpinan, meski akibatnya berbeda-beda. Bagi Indonesia buntut krisis itu terlihat jelas. Sanksi keras FIFA yang memojokkan bahkan menukikkan sepak bola kita di titik nadir.

Sementara FIFA sedang mencari pemimpin reformatif untuk memulihkan kepercayaan dunia sekaligus membersihkan diri dari noda skandal korupsi, suap dan sebagainya yang berujung pada hancurnya status quo Sepp Blatter dan kroni-kroninya. Selama kurang lebih 18 tahun digenggam pria legendaris Swiss itu, FIFA seakan hidup di puncak menara gading kekuasaan yang tak tersentuh publik, sehingga diam-diam membiakkan aksi koruptif dan perilaku tak terpuji, yang amat jauh dari nilai kejujuran dan sportivitas yang digaungkan dunia olahraga.

Setelah pria 79 tahun itu mundur pada Juni 2015 lalu, walau terkesan berat hati karena masih mau berkuasa, FIFA kini menatap era kepemimpinan baru. Setelah kandidat kuat, Michel Platini terkena skors enam tahun bersama kolega dekat Blatter, maka tersisa lima kandidat yang akan bertempur menjadi orang nomor satu FIFA.

Presiden Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) asal Bahrain Sheikh Salman bin Ebrahim Al Khalifa. Berikutnya Presiden Konfederasi Sepak Bola Yordania Ali Bin Al Hussein. Gianni Infantino, pelaksana ketua sepak bola Eropa. Selanjutnya, politisi dan mantan Menteri Kesejahteraan Manusia Afrika Selatan, Tokyo Sexwale. Serta Jerome Champagne, eks anggota komite eksekutif FIFA.

Harapan dunia kini diletakkan pada kelima kandidat itu, walau sesungguhnya tak ada dari antara mereka yang benar-benar bersih. Pangeran Ali meragukan reputasi dan nama baik Sheikh Salman yang diduga terlibat dalam aksi penyiksaan dan pemenjaraan demonstran pro-demokrasi di negaranya pada 2011.

Sebaliknya Pangeran Ali dan juga Jerome Champagne sudah lama berkecimpung dengan rezim Blatter sehingga belum cukup meyakinkan kita bahwa mereka benar-benar tak terkontaminasi. Walaupun selama masa kampanye Pangeran Ali getol menyerukan reformasi di tubuh FIFA. Dan awal pekan ini ia mengambil langkah mengejutkan, melayangkan permintaan penundaan pemilihan Presiden FIFA sampai keinginannya untuk menyelenggarakan sistem pemilihan yang transparan dipenuhi. Namun permintaan membuat bilik transparan itu ditolak komisi pemilihan FIFA dan Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS).

Paket Reformasi

Kongres Luar Biasa yang dihadiri 207 perwakilan setelah minus Indonesia dan Kuwait yang terkena skors, memiliki sejumlah agenda penting yang akan menentukan perjalanan FIFA ke depan.

Menurut BBC Sport, setidaknya ada dua isu besar yang akan dibahas dalam KLB FIFA kali ini. Pertama, tentu saja pemilihan presiden baru.

Kedua, pembahasan terkait paket reformasi yang dirancang untuk mengeliminasi masalah yang membuat FIFA jatuh ke dalam krisis sekaligus memulihkan reputasinya.

Bila agenda pertama hanya akan menjadi formalitas belaka, maka agenda kedua amat penting bagi masa depan reformasi FIFA. Salah satu orang dalam FIFA mengaku bahwa bencana akan datang bila paket reformasi tersebut gagal mencapai kata sepakat mengingat mencakup sejumlah poin penting untuk meminimalisir dan mengakhiri ‘dosa’ masa silam, di antaranya terkait: pembatasan waktu keluasaan para petugas FIFA berikut keterbukaan  soal gaji, pemisahan pengambilan keputusan dari pengaruh pilitisperwakilan dari asosiasi nasional, penghapusan komite eksekutif dan diganti dengan 36 anggota FIFA dengan sekurang-kurangannya enam wanita untuk mengatur strategi global, checks and balances yang akan dilakukan oleh serangkaian komite yang berperan sebagai tim audit dan komite kepatuhan yang sepenuhnya independen serta audit tahunan dari setiap konfederasi regional dan asosiasi nasional yang dilaporkan langsung ke FIFA.

Lebih dari itu pentingnya persetujuan paket reformasi itu untuk menyelamatkan eksistensi FIFA saat ini. Sebagaimana diketahui FIFA sedang dalam posisi berbahaya di tengah investigasi serius pihak berwajib Amerika Serikat dan Swiss terhadap sejumlah mantan pejabat yang tersangkut skandal. Bukan tidak mungkin dari hasil investigasi itu akan terungkap temuan-temuan baru yang semakin memojokkan posisi FIFA meski sejauh ini Departemen Kehakiman AS masih menganggap FIFA lebh sebagai korban dari ulah sejumlah pihak. Namun bila langkah perubahan tak segera diambil bisa saja anggapan tersebut berubah menjadi tudingan bahwa FIFA adalah organisasi yang melakukan aksi kejahatan terorganisir, sehingga bisa berujung pembekuan.

Siapa menang?

Seperti disingguh sebelumnya, tak ada calon yang benar-benar bersih dari anggapan dan sejarah masa lalu. Sehingga pertanyaan siapa pantas kurang relevan. Sebagai gantinya dengan prinsip minus malum (terbaik dari yang terburuk) pertanyaan menjadi:  siapa paling berpeluang?

Kembali mengutip BBC, Sheikh Salman dari Bahrain dianggap sebagai calon terkuat. Pasalnya ia mendapat dukungan dari konfederasi Asia (walau minus Indonesia dan Kuwait) dan Afrika. Dua konfederasi ini tak bias diremehkan dalam kontestasi pemilihan presiden FIFA, meski tak bisa dipastikan bahwa semua anggotanya satu suara mendukung Sheikh Salman mengingat pemilihan bersifat rahasia.

Champagne kurang populer dan diperkirakan mendapat dukungan tak kurang dari 10 orang. Sementara pengusaha Afrika Selatan Tokyo Sexwale masih menjadi sosok misterius di dunia sepak bola. Di tambah lagi Tokyo menuai cibiran karena terlalu bersemangat dalam kampanye.

Bagaimana dengan Gianni Infantino? Nama pria 45 tahun sedang melejit akhir-akhir ini. Sejumlah pengamat mengatakan bahwa Infantino berpeluang menang mengingat sosok tersebut didukung oleh tim sukses yang kuat. Pengalaman kegagalan Pangeran Ali bin al-Hussein pada pemilu Mei lalu menjadi contoh.

Infantino memiliki dukungan kuat di Eropa, Amerika Selatan dan dukungan signifikan di Karibia. Bila peta kekutan demikian adanya, ia hanya butuh tambahan setengah dari  pemilih asal Afrika untuk memenangkan pemilihan.

Sementara peluang Pangeran Ali tampaknya sudah tertutup. Saat Platini mengumumkan akan maju dalam pemilihan kali ini suara dukungan dari Eropa padanya hilang. Harapan untuk kembali merebut dukungan itu terbuka lebar saat pria legendaris Prancis itu mendapat suspense. Namun dalam situasi ini Pangeran Ali ternyata gagal memanfaatkan momentum dan kalah sigap dari Infantino.

Walau demikian ia tetap memiliki pendukung, meski jauh dari cukup untuk menang. Dalam posisi seperti ini Pangeran Ali akan  menjadi sosok kunci untuk menentukan sang pemenang. Dengan mengarahkan pendukungnya kepada salah satu jagoan, maka peluang sang kandidat untuk juara terbuka lebar. Apakah ia akan mendukung sesama wakil Asia, Sheikh Salman? Kritiknya terkait  masa lalu Salman sepertinya sudah menjadi jawaban.

(Bukan) basa-basi

Akhirnya, kita berharap agar KLB FIFA ini benar-benar menghasilkan sesuatu yang signifikan terutama berkaitan dengan paket reformasi yang gencar dikampanyekan acting presiden FIFA Issa Hayatou yang tinggal membutuhkan penyempurnaan dan persetujuan peserta kongres. Paket tersebut merupakan bagian dari reformasi yang harus diambil FIFA bila tak ingin semakin dalam masuk ke lubang krisis yang dalam dengan segala akibat terburuk seperti dipaparkan sebelumnya.

Sehingga 'angin positif' yang niscaya berhembus dari Zurich,Swiss itu sampai pula ke tanah air. Menyejukkan hati dan pikiran yang beku dan menerbangkan egoisme sektoral yang membuat sepak bola kita mati suri.

Dari situ pengaruh perubahannya akan berpelukan dengan langkah reformatif sepak bola dalam negeri yang sudah mulai digaungkan Jokowi dengan menyerukan pengkajian pencabutan SK Pembekuan PSSI, dua hari sebelum KLB FIFA.

Aksi turun tangan Jokowi ini diharapkan menjadi bagian dari terbosoan untuk membentuk paket reformasi tata kelola sepak bola nasional yang tinggal membutuhkan tindak lanjut konkret dari semua pihak yang terlibat dan berkepentingan dengan hal itu. Jangan sampai dan sejauh dapat tak terjadi, bahwa seruan Jokowi hanya sebagai pemanis bibir atau basa-basi belaka.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun