Kedua, pembahasan terkait paket reformasi yang dirancang untuk mengeliminasi masalah yang membuat FIFA jatuh ke dalam krisis sekaligus memulihkan reputasinya.
Bila agenda pertama hanya akan menjadi formalitas belaka, maka agenda kedua amat penting bagi masa depan reformasi FIFA. Salah satu orang dalam FIFA mengaku bahwa bencana akan datang bila paket reformasi tersebut gagal mencapai kata sepakat mengingat mencakup sejumlah poin penting untuk meminimalisir dan mengakhiri ‘dosa’ masa silam, di antaranya terkait: pembatasan waktu keluasaan para petugas FIFA berikut keterbukaan  soal gaji, pemisahan pengambilan keputusan dari pengaruh pilitisperwakilan dari asosiasi nasional, penghapusan komite eksekutif dan diganti dengan 36 anggota FIFA dengan sekurang-kurangannya enam wanita untuk mengatur strategi global, checks and balances yang akan dilakukan oleh serangkaian komite yang berperan sebagai tim audit dan komite kepatuhan yang sepenuhnya independen serta audit tahunan dari setiap konfederasi regional dan asosiasi nasional yang dilaporkan langsung ke FIFA.
Lebih dari itu pentingnya persetujuan paket reformasi itu untuk menyelamatkan eksistensi FIFA saat ini. Sebagaimana diketahui FIFA sedang dalam posisi berbahaya di tengah investigasi serius pihak berwajib Amerika Serikat dan Swiss terhadap sejumlah mantan pejabat yang tersangkut skandal. Bukan tidak mungkin dari hasil investigasi itu akan terungkap temuan-temuan baru yang semakin memojokkan posisi FIFA meski sejauh ini Departemen Kehakiman AS masih menganggap FIFA lebh sebagai korban dari ulah sejumlah pihak. Namun bila langkah perubahan tak segera diambil bisa saja anggapan tersebut berubah menjadi tudingan bahwa FIFA adalah organisasi yang melakukan aksi kejahatan terorganisir, sehingga bisa berujung pembekuan.
Siapa menang?
Seperti disingguh sebelumnya, tak ada calon yang benar-benar bersih dari anggapan dan sejarah masa lalu. Sehingga pertanyaan siapa pantas kurang relevan. Sebagai gantinya dengan prinsip minus malum (terbaik dari yang terburuk) pertanyaan menjadi:Â Â siapa paling berpeluang?
Kembali mengutip BBC, Sheikh Salman dari Bahrain dianggap sebagai calon terkuat. Pasalnya ia mendapat dukungan dari konfederasi Asia (walau minus Indonesia dan Kuwait) dan Afrika. Dua konfederasi ini tak bias diremehkan dalam kontestasi pemilihan presiden FIFA, meski tak bisa dipastikan bahwa semua anggotanya satu suara mendukung Sheikh Salman mengingat pemilihan bersifat rahasia.
Champagne kurang populer dan diperkirakan mendapat dukungan tak kurang dari 10 orang. Sementara pengusaha Afrika Selatan Tokyo Sexwale masih menjadi sosok misterius di dunia sepak bola. Di tambah lagi Tokyo menuai cibiran karena terlalu bersemangat dalam kampanye.
Bagaimana dengan Gianni Infantino? Nama pria 45 tahun sedang melejit akhir-akhir ini. Sejumlah pengamat mengatakan bahwa Infantino berpeluang menang mengingat sosok tersebut didukung oleh tim sukses yang kuat. Pengalaman kegagalan Pangeran Ali bin al-Hussein pada pemilu Mei lalu menjadi contoh.
Infantino memiliki dukungan kuat di Eropa, Amerika Selatan dan dukungan signifikan di Karibia. Bila peta kekutan demikian adanya, ia hanya butuh tambahan setengah dari  pemilih asal Afrika untuk memenangkan pemilihan.
Sementara peluang Pangeran Ali tampaknya sudah tertutup. Saat Platini mengumumkan akan maju dalam pemilihan kali ini suara dukungan dari Eropa padanya hilang. Harapan untuk kembali merebut dukungan itu terbuka lebar saat pria legendaris Prancis itu mendapat suspense. Namun dalam situasi ini Pangeran Ali ternyata gagal memanfaatkan momentum dan kalah sigap dari Infantino.
Walau demikian ia tetap memiliki pendukung, meski jauh dari cukup untuk menang. Dalam posisi seperti ini Pangeran Ali akan  menjadi sosok kunci untuk menentukan sang pemenang. Dengan mengarahkan pendukungnya kepada salah satu jagoan, maka peluang sang kandidat untuk juara terbuka lebar. Apakah ia akan mendukung sesama wakil Asia, Sheikh Salman? Kritiknya terkait  masa lalu Salman sepertinya sudah menjadi jawaban.