Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Van Gaal dan Isyarat Menuju Kesudahan

21 Februari 2016   10:31 Diperbarui: 21 Februari 2016   11:26 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun seiring perjalanan waktu komposisi yang dibangun mulai goyah. Diserang cedera dan inkonsistensi pemain. Di Maria pun ditendang ke Paris Saint-Germain dan Falcao didepak ke Chelsea. Penataan berlanjut, kembali dengan mendatangkan amunisi baru. Serangkaian pembelian fenomenal pun diukir. Memphis Depay, Bastian Schweinsteiger, Matteo Darmian, Morgan Schneiderlin, Sergio Romero dan diakhiri dengan remaja termahal di dunia, Anthony Martial diboyong ke Old Trafford. Hasilnya?

Bermaksud mengulangi formula yang sama saat menangani Barcelona, Ajax Amsterdam, AZ Alkmaar dan Bayern Muenchen, namun yang terjadi justru sebaliknya. Bukan trofi yang direngkuh di musim kedua, tetapi tanda-tanda penurunan prestasi.

[caption caption="Louis van Gaal dan trofi Liga Champions bersama Ajax Amsterdam tahun 1995 (gambar Daily Mail.co.uk)"]

[/caption]

Dibandingkan David Moyes, Van Gaal termasuk beruntung. Rasio pengeluaran dengan jumlah poin Moyes jauh lebih baik dari Van Gaal. Dalam 26 pertandingan, dengan modal belanja 64 juta poundsterling, Moyes mampu merengkuh 42 poin.

Sementara Van Gaal, dengan jumlah laga yang sama, tetapi dengan dana yang jauh lebih gemuk, 124 juta poundsterling, mengemas jumlah poin lebih sedikit: 41 poin. Sepertinya tekanan yang diterima Moyes jauh lebih besar setelah hanya membawa timnya finish di posisi ketujuh di musim 2013/2014. Jangka waktu 10 bulan dianggap sudah lebih dari cukup bagi pria Skotlandia itu.

Sedangkan Van Gaal, dengan modal zona Eropa yang direngkuh di penghujung musim 2015/2016, membuatnya masih mendapat kepercayaan untuk memimpin. Namun situasi terkini United tak bisa dipungkiri.  Turun kasta ke Liga Europa, serta jalan terjal menuju tangga juara Liga Primer Inggris dengan ketertinggalan empat poin dari Manchester City di tempat keempat dan 12 poin dari tim promosi Leicester City di puncak klasemen.

Bila dulu, ia terkenal gigih mempertahankan diri, dan memaksakan kehendak, kini modal tersebut mulai kehilangan legitimasi melihat performa United yang jauh dari memuaskan. Permainan tim tampak kaku karena dikerangkeng taktik yang membosankan. Segala kebesaran masa lalunya pun mulai menguap. Perlahan demi perlahan jubah besi keyakinan dan keteguhan hatinya, bahkan rasa percaya dirinya yang terkenal membaja itu, mulai keropos dimakan usia yang terus menua.

Menjadi tua itu pasti. Di dunia sepak bola, ketajaman naluri dipadu keberuntungan setelah usia 60 tahun bukan lagi pilihan tetapi lebih sebagai anugerah. Sehingga tak semua orang bisa mendapatkannya.   

Jika ia masih memaksakan diri memegahkan kesuksesan selama tiga dekade silam, maka tiga laga ke depan menjadi ajang pertaruhan. Pertandingan menghadapi Shrewsbury Town di babak kelima Piala FA di awal pekan depan, leg kedua babak 32 besar Liga Europa menjamu FC Midtjylland di tengah pekan, serta laga panas kontra Arsenal di minggu berikutnya menjadi momen pembuktian apakan Van Gaal masih mungkin mendapat anugerah istimewa seperti Sir Alex Ferguson dan Sir Bobby Robson, atau isyarat bahwa kesudahannya sudah tiba, baik di Old Trafford maupun jagad sepak bola. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun