[caption caption="Gambar Kompas.com"][/caption]
Di tengah vakumnya kompetisi sepakbola dalam negeri, kehadiran turnamen Piala Jenderal Sudirman (PJS) menjadi pelipur lara yang pas. Setelah Piala Presiden, Mahaka Sports and Entertainment menggulirkan PJS. Sebagaimana namanya, event ini dikreasi untuk memaknai 100 tahun Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Berbagai rangkaian acara sudah disiapkan terutama untuk memeriahkan partai final yang mempertemukan dua tim dari luar Jawa, Semen Padang dan Mitra Kutai Kartanegara, Minggu (24/01/2016). Kedua tim ini akan memperebutkan trofi spesial di hari bersejarah itu.
Selain suguhan aksi kedua tim, penonton pun akan dimanjakan dengan acara hiburan lainnya antara lain dengan kehadiran dua band papan atas Indonesia, Slank dan Noah. Dua band itu akan mengguncang Stadion Utama Gelora Bung Karno. Intinya, partai final ini akan dikemas sedemikian rupa agar benar-benar meninggalkan kesan wah sebagai partai pamungkas sekaligus momen peringatan hari bersejarah. Namun pertanyaan substansial, setelah PJS bagaimana nasib sepakbola Indonesia?
Opium
Dengan tanpa meremehkan niat dan maksud baik Mahaka sebagai sang operator dan para pihak yang mendukung penuh bergulirnya turnamen ini, patut diakui PJS tak lebih dari hiburan sesaat yang hendak meninabobokan masyarakat dan pelaku sepakbola di tengah gersangnya iklim sepakbola dalam negeri.
Selain bersifat momental, PJS tak lebih dari pengisi waktu sambil publik terus bertanya-tanya bagaimana nasib sepakbola dalam negeri selanjutnya. Jantung masyarakat dan seluruh insan sepakbola tak hanya berdegup kencang untuk menyaksikan laga pamungkas, tetapi juga memikirkan nasib sepakbola Indonesia yang berkelanjutan.
Ada hal subsansial yang hingga kini belum tersentuh: konflik di tingkat elit organisasi yang berpengaruh pada terhentinya roda sepakbola dalam negeri dan segala konsekuensi turunan yang menjalar ke berbagai aspek. Sampai kapan para elit bertikai dan bersikukuh dengan ego dan kepentingan sendiri? Apakah model sepakbola dalam negeri akan terus dalam bentuk potongan-potongan turnamen? Bagaimana dengan pembinaan usia dini dan berjenjang? Bagaimana nasib para pelaku sepakbola yang tak kebagian kesempatan? Apakah para pemain dan pelatih harus memilih jalan boikot dan hijrah?
Suara-suara optimisme menggemakan hiburan bahwa setelah turnamen ini roda sepakbola akan kembali bergulir pada jalur yang benar. Namun melihat silang sengkarut substansi persoalan yang belum tersentuh, sedikit banyak membuat saya ragu bahwa nasib sepakbola dalam negeri bakal berjalan di tempat, bahkan semakin menukik ke titik nadir. Gelaran turnamen momental tak lebih dari opium yang membius masyarakat dan pelaku sepakbola untuk tidak melakukan satu gerakan revolusioner mendobrak status quo.
Penonton alternatif
Majunya Semen Padang dan Mitra Kukar ke babak final sedikit banyak menunjukkan kompetensi dan kemajuan tim-tim non unggulan, serta memberikan kesempatan bagai para kontestan dari  luar Jawa untuk menguasai Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta.