Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Bola

Mengapa (Selalu) Jakarta?

16 Oktober 2015   11:57 Diperbarui: 16 Oktober 2015   11:57 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demikian pun pada gilirannya memastikan bahwa GBK tetap menjadi tempat perhelatan partai pamungkas itu bukan hanya didasarkan pada pertimbangan teknis dan ekonomis belaka. Tetapi lebih dari itu menjadi momentum untuk menata kembali sudut pandang kita dalam melihat sebuah pertandingan. Dengan kata lain, bahwa benar GBK dianggap sebagai venue ideal yang memungkinkan 70 ribu hingga 80 ribu orang bisa meramaikan dan menyaksikan pertandingan secara langsung, namun apa artinya keramaian 70 ribu hingga 80 ribu jiwa itu (belum ditambah yang berada di sekitar GBK) jika tidak dijalani dengan kemerdekaan jiwa dan keriangan batin karena dihantui rasa cemas, takut atau dalam baying-bayang amarah. Apa yang tersisa setelah laga yang membuat Jakarta siaga satu dalam kawalan 30 ribu personel, delapan barakuda dan empat anoa itu?

Selanjutnya bahwa benar laga digelar di GBK agar lebih afdol (mungkin terbawa mitos Jakarta selalu di puncak) ditambah lagi ada sosok Presiden Jokowi di sana, namun apakah harus selalu demikian adanya? Memangnya hanya GBK yang pantas dan layak untuk menghelat laga akbar?

Bongkar mitos

Perhelatan final Piala Presiden ini menjadi momentum yang tepat untuk menjawab dua pertanyaan di atas. Pada tempat pertama, bahwa tak mudah menyaput dendam dan memastikan amarah tak bakal meledak, namun kita tentu tidak ingin agar riwayat buruk kedua kubu terus terpelihara. Memang benar bahwa solidaritas dan fanatisme pada sebuah tim kadang tak bisa dinalar, termasuk pula untuk membatasi euforia berlebihan dengan nilai-nilai kebajikan. Namun langkah rekonsiliasi dan upaya memutuskan rantai amarah dan dendam itu harus segera dilakukan. Bobotoh dan Jakmania tidak bisa terus menerus dikawal dengan barakuda, anoa dan aparat.

Hal kedua, seperti sudah disinggung sebelumnya, sudah waktunya mitos Jakarta sentris atau GBKsentris itu dibongkar. Ada anggapan arkais yang (mungkin) masih terbawa hingga kini bahwa sebuah pertandingan harus selalu disempurnakan di GBK. Atau anggapan bahwa sebuah pertandingan tak sempurna kalau tak ditutup di GBP sama seperti anggapan tentang Jakarta selalu wah. Bukan saya menolak GBK dan anti Jakarta, tetapi sentra-sentra olahraga di daerah-daerah harus mendapat tempat.

Kali ini GBK dipilih sebagai venue final karena, terlepas dari pertimbangkan lain, dinilai memiliki kapasitas besar dan strategis di ibu kota, namun pada gilirannya sejumlah pihak juga was-was dengan usia GBK yang kian uzur dan tak pelak membuat situasi Jakarta jadi seperti masa darurat perang. Siapa yang tak ngeri melihat berseliwerannya aparat dengan tatapan mengintai dan mengawas?

Patut diakui sejumlah stadion di luar Jakarta seperti di Bali dan Malang dan beberapa tempat lainnya memiliki kapasitas yang tak kalah besar bahkan dengan kondisi yang lebih baik. Sayangnya lantaran berada di luar ibu kota dianggap kurang memiliki daya tarik, apalagi jika klub lokal hanya jadi penonton sehingga stadion terancam kosong. Patut kita ingat dalam setiap pertandingan yang dihelat di GBK penyumbang penonton terbanyak tak selalu dari Jakarta. Termasuk juga dalam pertandingan kali ini, sebagaimana prediksi, gelombang besar penonton akan mengalir dari Bandung dan sekitarnya serta dari luar  pulau Jawa.

Poinnya adalah pengembangan fasilitas dan pemberian ruang kompetitif di daerah perlu digalakan agar Indonesia tak harus selalu berbangga dengan GBK yang kian menua dan berkiblat pada Jakarta yang makin sumpek dan sesak dari waktu ke waktu. Bukankah animo dan semangat masyarakat di luar Jakarta tak kalah hebat bahkan jauh lebih dahsyat?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun