Jika tentang sepakbola saja kita masih terpecah, hal apa yang masih bisa menyatukan kita?
Sebelum perhelatan final Piala Presiden 2015 berbagai komentar miring, kecemasan, bahkan ketakutan mengemuka. Bahkan perasaan itu sudah mulai muncul seiring langkah maju Persib Bandung. Saat Maung Bandung mencapai babak empat besar, kecemasan pendahuluan semakin menjadi-jadi.
Bahwa rencana awal venue final turnamen gagasan Mahaka ini akan mengambil tempat di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta, bayangan-bayang hitam berkelebat hebat usai Persib memastikan satu tiket final. Anehnya bukan tentang seteru prapertandingan di lapangan hijau antara dua finalis (dalam hal ini Persib Bandung dan Sriwijaya FC). Melainkan itu lebih pada dendam yang telah terpelihara antara dua kelompok pendukung dari dua klub terpuji, Persib Bandung sebagi finalis dan Persija Jakarta yang hampir menjadi identik dengan Jakarta dan GBK.
Kecemasan yang semakin kental membuat pihak panitia sempat berpikir ulang sambil menyodorkan alternatif venue final. Ada yang meminta sebaiknya final jangan di Jakarta. Ada yang menyanggupi tetap di Jakarta tetapi meminta garansi. Waktu terus berjalan dan kepastian tak bisa terus diulur. Kedua finalis ingin segera tahu di mana mereka akan bertanding karena bagaimana pun juga lokasi amat menentukan persiapan. Akhirnya diputuskan laga final pada 10 Oktober nanti tetap di GBK.
Faktum
Ikhwal keamanan dan kelancaran pertandingan final menjadi alasan utama tarik ulur locus pertandingan. Dalam hal tertentu urusan yang satu ini tidak bisa dianggap enteng. Publik tentu ingin menyaksikan jalannya pertandingan yang aman dan jauh dari gangguan tak terpuji. Masyarakat ingin melihat kedua tim berjuang secara sportif hingga melahirkan sang pemenang sejati. Di tengah mati suri sepakbola dalam negeri, pertandingan ini sedikit banyak menjadi hiburan dan pelipur lara. Amat tak elok jika penghiburan semata wayang ini ternoda.
Di sisi lain, ketakharmonisan antarsuporter yang bukan hal baru di tanah air sejauh dapat dihindari. Apalagi bukan menjadi rahasia lagi bagaimana relasi antara pendukung Persib Bandung yang dikenal dengan sebutah Bobotoh berikut ranting-rantingnya dan kelompok suporter tim ibu kota, Persija Jakarta yang menyebut diri The Jakmania. Kedua kubu dengan riwayat sakit hati dan dendam masing-masing telah membangun tembok permusuhan padahal mereka berada berdampingan. Pola hidup bersisian dan bertetangga sebagaimana adab ketimuran menguap. Keduanya kini adalah tetangga yang tak akur.
Berbagai peristiwa miris dalam sejarah pertemuan kedua tim tentu tak bisa dilupakan. Dari berbagai sumber bisa kita kumpulkan dan beberapa di antaranya: aksi saling lempar botol dan kayu antar kedua tim saat bertemu pada putaran pertama Grup Barat Liga Dunhill di Stadion Menteng pada 16 April 1995; pelemparan batu kea rah mobil Persija saat kedua tim bertanding di Stadion Siliwangi, bandung pada 11 Februari 2001; perang batu di GBK pada 24 Juni 2001; penghadangan dan penyerangan kepada Viking di Tol Tomang, Jakarta yang menyebabkan 13 orang terluka pada 12 maret 2002; pengrusakan prasarana hotel tempat menginap para pemain Persija di Bandung pada Februari 2003; insiden di gerbang pemuda, Senayan pada 25 Maret 2010 yang menyebabkan satu orang pendukung Persija tewas di tangan Jakmania sendiri; dan tewasnya dua pendukung Persib pasca pertandingan di GBK pada Mei 2012.
Dengan tanpa bermaksud membongkar derita apalagi membangkitkan aroma permusuhan, potongan-potongan peristiwa miris itu patut diangkat sebagai kaca pengilon untuk melihat wajah kita yang muram dalam melihat sebuah pertandingan. Bola dan pertandingan sepak bola tak lagi didudukan pada tempatnya. Pertandingan sepak bola bukan lagi sarana hiburan yang sehat dan wahana asah ketrampilan, olah teknik dan pembentukan semangat sportivitas melainkan ajang adu gengsi dan pelampiasan dendam. Lapangan bola tak ubahnya arena amuk.
Kita tak perlu malu-malu dan pura-pura menyembunyikan faktum ketakharmonisan dan penyimpangan perspektif dan orientasi kita terhadap sebuah pertandingan. Karena itu langkah Mahaka untuk mempertimbangkan realitas historis untuk menentukan venue final Piala Presiden adalah tepat.
Demikian pun pada gilirannya memastikan bahwa GBK tetap menjadi tempat perhelatan partai pamungkas itu bukan hanya didasarkan pada pertimbangan teknis dan ekonomis belaka. Tetapi lebih dari itu menjadi momentum untuk menata kembali sudut pandang kita dalam melihat sebuah pertandingan. Dengan kata lain, bahwa benar GBK dianggap sebagai venue ideal yang memungkinkan 70 ribu hingga 80 ribu orang bisa meramaikan dan menyaksikan pertandingan secara langsung, namun apa artinya keramaian 70 ribu hingga 80 ribu jiwa itu (belum ditambah yang berada di sekitar GBK) jika tidak dijalani dengan kemerdekaan jiwa dan keriangan batin karena dihantui rasa cemas, takut atau dalam baying-bayang amarah. Apa yang tersisa setelah laga yang membuat Jakarta siaga satu dalam kawalan 30 ribu personel, delapan barakuda dan empat anoa itu?
Selanjutnya bahwa benar laga digelar di GBK agar lebih afdol (mungkin terbawa mitos Jakarta selalu di puncak) ditambah lagi ada sosok Presiden Jokowi di sana, namun apakah harus selalu demikian adanya? Memangnya hanya GBK yang pantas dan layak untuk menghelat laga akbar?
Bongkar mitos
Perhelatan final Piala Presiden ini menjadi momentum yang tepat untuk menjawab dua pertanyaan di atas. Pada tempat pertama, bahwa tak mudah menyaput dendam dan memastikan amarah tak bakal meledak, namun kita tentu tidak ingin agar riwayat buruk kedua kubu terus terpelihara. Memang benar bahwa solidaritas dan fanatisme pada sebuah tim kadang tak bisa dinalar, termasuk pula untuk membatasi euforia berlebihan dengan nilai-nilai kebajikan. Namun langkah rekonsiliasi dan upaya memutuskan rantai amarah dan dendam itu harus segera dilakukan. Bobotoh dan Jakmania tidak bisa terus menerus dikawal dengan barakuda, anoa dan aparat.
Hal kedua, seperti sudah disinggung sebelumnya, sudah waktunya mitos Jakarta sentris atau GBKsentris itu dibongkar. Ada anggapan arkais yang (mungkin) masih terbawa hingga kini bahwa sebuah pertandingan harus selalu disempurnakan di GBK. Atau anggapan bahwa sebuah pertandingan tak sempurna kalau tak ditutup di GBP sama seperti anggapan tentang Jakarta selalu wah. Bukan saya menolak GBK dan anti Jakarta, tetapi sentra-sentra olahraga di daerah-daerah harus mendapat tempat.
Kali ini GBK dipilih sebagai venue final karena, terlepas dari pertimbangkan lain, dinilai memiliki kapasitas besar dan strategis di ibu kota, namun pada gilirannya sejumlah pihak juga was-was dengan usia GBK yang kian uzur dan tak pelak membuat situasi Jakarta jadi seperti masa darurat perang. Siapa yang tak ngeri melihat berseliwerannya aparat dengan tatapan mengintai dan mengawas?
Patut diakui sejumlah stadion di luar Jakarta seperti di Bali dan Malang dan beberapa tempat lainnya memiliki kapasitas yang tak kalah besar bahkan dengan kondisi yang lebih baik. Sayangnya lantaran berada di luar ibu kota dianggap kurang memiliki daya tarik, apalagi jika klub lokal hanya jadi penonton sehingga stadion terancam kosong. Patut kita ingat dalam setiap pertandingan yang dihelat di GBK penyumbang penonton terbanyak tak selalu dari Jakarta. Termasuk juga dalam pertandingan kali ini, sebagaimana prediksi, gelombang besar penonton akan mengalir dari Bandung dan sekitarnya serta dari luar pulau Jawa.
Poinnya adalah pengembangan fasilitas dan pemberian ruang kompetitif di daerah perlu digalakan agar Indonesia tak harus selalu berbangga dengan GBK yang kian menua dan berkiblat pada Jakarta yang makin sumpek dan sesak dari waktu ke waktu. Bukankah animo dan semangat masyarakat di luar Jakarta tak kalah hebat bahkan jauh lebih dahsyat?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H