Wujud ketergantungan ini bisa nampak dalam rupa yang ekstrim. Selain ketergantungan mutlak, segalanya diharapakan dari Gereja juga ketergantungan itu bisa nampak dalam bentuk lain. Warga akan tetap mengaggap Gereja sebagai tumpuan awal atau akhir hidupnya. Jika warga mengalami kesulitan untuk memulai hidup baru mereka akan mendekatkan dirinya pada Gereja. Demikianpun jika berbagai cara telah ditempuh dan pada akhirnya menemui ketidakpastian merekapun akan memalingkan wajahnya pada Gereja. Besar atau kecil, sulit atau sederhana, ketergantungan itu tetap akan ada.
Salah satu kemungkinan yang bisa diangkat ialah sebagaimana yang ditampilkan sang pengarang, F.Rahardi. Rahardi sedemikian bergelora berbicara tentang Gereja Katolik dalam bahasa literernya yang lugas. Hitam-putih bahasanya tercermin dalam pembeberan tanpa tedeng aling-aling terhadap setiap persoalan yang muncul dalam tubuh Gereja sendiri. Aneka persoalan seputar selibater, kehidupa seksual para imam, hirarkisme diangkatnya dengan kupasan yang terbuka dan apa adanya. Dengan berbicara seperti itu sesungguhnya Rahardi sedang menggantungkan dirinya pada Gereja Katolik. Dengan berbicara tentang Gereja Katolik berarti ia tengah mengulangi setiap pengalaman yang dialami dalam dan bersama Gereja Katolik.
Membaca secara keseluruhan LSN sebagai sebuah karya sastra akan terasa adanya kekurangan yang cukup mengganggu. Kekurangan itu dapat dijabarkan dalam dua segi yakni penampilan literer dan muatan pesan yang akan ditangkap pembaca. Ketegasan dalam membuat pembedaan antara monolog dan dialog belum terasa. Terkesan adanya inkonsistensi dalam membuat secara tepat pemisahan antara bentuk kutiban langsung dan tidak langsung sebagai pembeda tampilan antara keduanya. Pembaca akan merasa kesulitan untuk mencerna sebagai apakah tokoh yang dibicarakan dan kepada siapakah ia berbicara. Penampilan literer ini sekalipun mudah diatasi oleh seorang pembaca yang murah hati namun tetap menyisahkan persoalan yang fundamental dalam benak pembaca yang tanggap, apakah kekilafan teknis bisa dimaklumi jika terus berhadapan dengan kekeliruan yang sama dan tidak akan dibiarkan berlalu begitu saja jika kualitas seorang pengarang juga menyangkut kepiawaiannya dalam meracik sebuah dialog dan monolog serentak membuat distingsi yang tepat atasnya.
Di pihak lain jika kita mencerna keseluruhan alur cerita akan terasa adanya kejanggalan pada bagian penyelesaian atas masalah yang dihadapi masyarakat Lembata. Aksi Pedro mendatangkan gandum dan anggur ke bumi Lembata sebagai bentuk protes terhadap kekukuhan tradisi ”roti-anggur” merupakan sebuah bentuk penyelesaian yang kurang bijaksana. Setelah melakukan sebuah tindakan yang fatal pada sebuah kesempatan perayaan ibadat, Pedro lantas menanggalkan jubah imamatnya dan memilih mengusahakan sendiri gandum dan anggur bagi rakyatnya. Pada titik ini terkesan ketokohan Pedro menjadi kurang arif malah menampilkan sebentuk ironi. Seorang bijak tidak akan memungut kesalahan sesama yang dicelanya dan mengubahnya dalam format yang baru sebagai kepunyaannya untuk dijadikan sebagai pembanding. Rahardi pun menjadi seorang yang kurang bijaksana ketika aksi protes sang tokoh Pedro atas sikap Gereja yang tidak menggunakan jagung dan moke dalam ibadatnya tidak ditindaklanjuti dengan memberdayakan moke dan jagung titi yang adalah produk lokal yang dianjurkannya dan bernilai prospektif, tetapi yang ditanamnya adalah anggur dan gandum, komoditi yang telah ”dicela” dan asing di Lembata.
Akhirnya dengan mengangkat sepak terjang radikal Pedro terkandung harapan akan adanya perubahan dalam tubuh Gereja. Dengan menegakkan tradisi baru berarti mata Gereja akan terpincing untuk berbenah diri. Satu persoalan yang muncul adalah bahwa Gereja merupakan suatu institusi global bukanya terfragmentasi secara lokal. Cita-cita perubahan akan memperoleh titik cerah jika menyangkut kehidupan mayoritas warganya. Kecil kemungkinan atau sama sekali nihil jika ukuran yang terjadi pada suatu masyarakat tertentu di suatu daerah tertentu dijadikan sebagai tolak ukur bagi munculnya suatu harapan akan perubahan mondial.
Apalagi harapan akan perubahan yang digantungkan pada Gereja lebih pada perubahan radikal suatu tradisi yang telah tertanam kuat. Bukan tidak mungkin Gereja akan berubah tetapi perubahan itu tidaklah sekejap seperti yang dilakukan Pedro dengan segera menggantikan ”hosti-anggur ” dengan ”jagung titi-moke”. Perubahan yang terjadi inipun dimahfumi sang pengarang ketika menggambarkan tokoh Ola yang kukuh pada sikapnya mencintai Pedro. Sangat perlahan dia sampai pada keyakinan bahwa cinta tidak mesti sama dengan seks, ”Pedro, cinta, terlebih seks, ternyata memang bukan hal yang utama ya?” (LSN, hlm. 256). Setelah berubah sikap, dia menjadi penyelamat bagi Pedro dan masyaraket Lembata yang sedang mencari jalan keluar memasarkan anggur dan gandumnya.
Sayang bahwa dengan hadirnya Ola sebagai tokoh penyelamat ini semakin mengganggu keseluruhan penyelesaian atas persolan krusial yang dihadapi. Luciola datang dengan aksinya yang bersifat kebetulan dan menjadikannya sebagai akhir penyelesaian dari setiap persoalan pelik yang dihadai Pedro. Sesungguhnya sebuah persoalan yang sulit tidak semestinya diselesaikan dalam sebuah kebetulan yang tidak menegangkan, malahan hanya akan mengguratkan kesan kedangkalan cerita. Dengan kebetulan yang amat menentukan ini, bukan mustahil pembacapun akan mengamini bahwa ternyata jalannya sebuah kisah yang diceritakan penuh dengan pergolakan dan pertarungan yang sengit tidak menjadi sebuah jaminan bahwa pelukisan penyelesaiannya akan sepelik tegangan persoalan itu. Harapan akan adanya penyelesaian yang memukau dapat diredam hanya dengan kehadiran sebuah kebetulan yang tidak disangka-sangka dan tentunya tidak dikehendaki pula.
SELESAI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H