Sebagaimana yang telah dikemukakan bagian pertama, LEMBATA, Sebuah Novel (LSN) merupakan sebuah karya yang mempertanyakan keberadaan Gereja Katolik sebagai pembawa keselamatan dan kesejahteraan manusia. Gereja Katolik merupakan sebuah institusi religius yang telah berpamor dan merebut hati jutaan manusia sehingga kepadanya umat manusia menggantungkan harapan dan cita-citanya. Bukan tanpa alasan. Selain faktor historis berupa sepak-terjangnya yang telah mengakar dalam lembaran sejarah peradaban umat manusia juga karena kekuatan spiritual yang terpancar dari dalam tubuh Gereja sendiri. Tidaklah terlalu naif jika dikatakan bahwa aura religius yang menyembul dari balik kata-kata doktrinal, janji keselamatan yang terformulasi dalam berbagai ajaran Gereja serta peri hidup yang menarik dari para pemimpinnya sebagai bentara dan punggawa Gereja akhirnya mampu mengikat hati setiap pemeluk yang dengan tekun menggantungkan keselamatan kepadanya. Sekalipun kebenaran akan pernyataan ini bisa dipertanyakan lebih jauh dalam arus fluktuasi sejarah (baca: terang dan gelapnya), minimal dengan mengangkat tokoh dan ajaran Yesus Kristus yang masyur ke atas pentas kehidupan kekristenan, maka jawaban terhadap pertanyaan sejauh mana aura religius itu membuahkan hasilnya dapat ditemui. Tokoh Yesus dan sepak terjang-Nya menjadi basis penting yang menandai kehadiran agama Kristen di dunia.
Gerakan keselamatan yang mula-mula diwartakan-Nya dan kesaksian-Nya yang pertama-tama menarik hati para pengikut-Nya menjadi titik start yang senantiasa dikenang dan dijadikan sebagai referensi utama perkembangan sejarah kekristenan.
Dari cita-cita keselamatan sebagai tujuan tertinggi ini berkembanglah pertanyaan, apa itu keselamatan? Apakah keselamatan ini hanya akan tercapai pada suatu saat kelak misalnya ketika raga tak lagi mengandung dalamnya roh yang membuatnya hidup sebagai seorang manusia? Ataukah keselamatan ini dapat menemui bentuknya yang paling jelas dalam kesejahteraan batiniah dan jasmaniah saat ini?
Pertanyaan tersebut memiliki muatan teologis yang kaya sekaligus dalam. Kedalaman ini tak akan tercapai hanya dengan satu-dua pernyataan dangkal. Kekayaan yang bisa dipanen tidaklah cukup ditangkupi dengan satu-dua bejana pemahaman. Karena itu untuk menjawabi pertanyan terdahulu serentak mengandung harapan tersimpulnya benang korelasi antara keselamatan yang ”utopis”, yang akan tercapai kelak di dunia baka dan keselamatan yang menyata ”sini-kini”, kita dapat merunut perjalanan historis tumbuh dan berkembangnya agama Katolik di suatu dunia kehidupan tertentu. Berharap bahwa nada eksklusivistis akan keselamatan yang hanya menjadi ”jualan” khas Gereja Katolik dan klaim kebenarannya dimonopoli masyarakat tetentu dapat dibuang sejauh mungkin, maka napak tilas ini akan menemui kita dengan suatu keterbukaan pemahaman.
Gereja telah berakar dalam kehidupan bermasyarakat di dunia. Agama Katolik adalah agama bahari yang telah menancapkan akarnya di dunia dan bersamaan dengan itu sulur-sulur pertumbuhannya terus merambat ke segenap semesta termasuk di nusantara ini. Agama Kristen dan Islam masuk Indonesia beberapa abad pasca-Hindu dan Buddha (abad 5 M). Sebagaimana misi perniagaan yang dilakoni para pedagang Arabia dan Persia yang ”menyusupkan” agama Islam demikianpun agama Katolik dikenal di Indonesia berkat usaha para pedagang Portugis.
Rupanya letak geografis yang strategis pada jalur perdagangan lintas bangsa serta kandungan kekayaan alam yang potensial membawa berkah bagi pewartaan agama di Indonesia. Dari catatan sejarah kekatolikan di Indonesia, sejak abad 12 dan 16 agama Katolik perlahan-lahan mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia. Sekalipun misi evangelisasi memboncengi kolonisasi, namun di balik ekspansi kekuasaan itulah benih-benih kekristenan secara perlahan-lahan namun pasti ditebarkan di persada Indonesia. Sulit dibayangkan nasib agama Katolik di Indonesia jika mengabaikan catatan kelam bertahun-tahun silam.
Akankah format religiositas tradisional sebagian besar masyarakat Indonesia sebagai penganut animus dinamis atau agama leluhur/agama asli mendapatkan bentuk barunya sebagai pengikut Kristus? Rupanya di atas lembaran hitam masa lalu itulah, tertulis dengan tinta putih nama-nama para martir pionir yang telah mengabdikan dirinya demi karya penyebaran kerajaan Allah di Indonesia. Berkat jasa para penyebar dan peletak dasar agama Katolik di Indonesia-sebut saja para Imam Dominikan (OP) dan Yesuit, kategori masyarakat Indonesia sebagai gens candida sed ruda, sebuah bangsa yang suci namun terbelakang dapat dibaharui dan diindegenisasi menjadi umat Katolik di Indonesia.
Kenangan kita akan jasa para misionaris awal tidak semata-mata terpusat pada kegigihannya membangun fondasi kekristenan. Usaha mereka yang patut diacungi jempol menyata dalam pemberian diri yang total untuk membangun kesejahteraan rakyat. Rupanya mereka tidak hanya berhenti pada taraf pembangunan rumah rohani bagi masyarakat tetapi juga menyediakan kediaman jasmani yang dalamnya umat Allah merasakan kedamaian dan kesejahteraan sebagai makhluk jasmani dan rohani. Di samping penyediaan sarana ibadat, para misionaris juga ”menghadiahi” umatnya dengan berbagai sarana-prasarana dan infrastruktur pendidikan, ekonomi, transportasi, keterampilan dan sebagainya. Pendirian berbagai sekolah akademi dan kejuruan serta usaha meretas isolasi wilayah menjadi bukti nyata kontribusi totalnya bagi pembangunan iman dan kesejahteraan manusia.
Di Nusa Bunga, Agama Katolik telah lama berdiri. Sejak kedatangan orang-orang Portugis dalam misi imam Dominikan, agama Katolik di Flores terus mengalami peningkatan dalam jumlah. Pengikut-pengikut para imam Dominikan, Yesuit dan SVD-sebagai sederetan peletak dasar agama Katolik, terus bertambah. Para misionaris inilah yang berjibaku mewartakan ajaran dengan segenap tenaganya hingga titik darah penghabisan. Sepak terjang meraka direkam dalam pertambahan jumlah pengikutnya yang terus bertambah dari waktu ke waktu. Seiring dengan pertambahan jumlah ini harapan yang digantungkan kepada
Gerejapun tidak kurang banyaknya. Karena akar yang telah tertanam kuat itulah semangat Krstiani menjiwai peri hidup masyarakat yang telah merasa bersatu dengan Gereja dan menjadi bagian dari ”dewa penolong” keselamatan jiwa dan raganya, kini dan kelak. Karena itu, peran Gereja dan sepak terjangnya dengan misi keselamatan itu amat didambakkan. Gereja Katolik tetap berpaut dengan masyarakat dan karenanya dari pertautan itu menyisahkan konsekuensi ketergantungan yang tak terkira dari masyarakat atau umat Katolik sendiri.
Tidak mengherankan jika kontribusi-kontribusi yang telah ditunjukkan Gereja dari waktu ke waktu di tanah Flores terus direkam. Sumbangan bagi pengembangan iman, pendidikan dan ekonomi masyarakat melalui usaha pembaptisan, penyediaan saran ibadat, pembangunan sekolah dan tempat kursus keterampilan dan sebagainya telah membuat masyarakat terus menaruh harapan yang tidak pernah berkurang kepada Gereja Katolik. Karena itu ketika Gereja mulai menarik diri dari arena kehidupan dengan memperkecil besarnya donasi kepada umat dengan alasan bahwa umat mesti berdikari maka pada saat itu akan muncul reaksi sebagai tanda belum relanya umat membiarkan dirinya berkembang sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang mencuat dari dalam LSN merupakan pertanyaan-pertanyaan kecemasan masyarakat yang takut untuk hidup berdikari.