Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Bola

Piala Presiden: Menyelesaikan Masalah Tanpa Solusi?

31 Agustus 2015   04:34 Diperbarui: 31 Agustus 2015   04:34 1176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menyelesaikan masalah tanpa solusi. Ya, pernyataan yang tampak saling bertolak belakang. Kontradiktif. Dan jelas tak logis. Menyelesaikan masalah sudah mengandung makna solusi. Solusi: penyelesaian masalah.

Namun sabar dulu, kutiban yang diambil dari salah satu acara lawak di stasiun televisi swasta itu sengaja diangkat dalam konteks perhelatan turnamen sepak bola Piala Presiden yang baru saja dibuka oleh orang nomor satu di negeri ini di  lapangan Stadion Kapten I Wayan Dipta, Gianyar, Bali.

Bergulirnya turnamen yang digagas Mahaka Sports and Entertainment hingga 18 Oktober ini terjadi di tengah ‘mati suri’ kompetisi sepak bola tanah air sebagai buntut dari kisruh antara dua lembaga negara, PSSI dan Kemenpora.

Banyak yang mengaggap bahwa turnamen ini menjadi awal kebangkitan persepkabolaan tanah air. Ada pula yang hakulyakin, perhelatan yang diikuti 16 klub, baik dari kasta tertinggi maupun  Divisi Utama sebagai penggerek iklim persepakbolaan Indonesia dari dalam jurang keterpurukan.

Namun tak sedikit yang pesimis, turnamen ini hanya bersifat temporal, pelipur lara dan sama sekali tak menyentuh akar masalah. Saya menjadi salah satu dari kelompok ini.

Hiburan sesaat

Turnamen ini mempertandingkan 38 partai dan mengambil tempat di beberapa daerah sebelum partai puncak yang rencananya digelar di Istora Senayan Jakarta. Masyarakat di empat kota yakni Bali, Makkasar, Malang, dan Bandung bisa secara langsung menyaksikan sejumlah tim bertanding. Sementara publik luas bisa mengikutinya melalui salah satu stasiun televisi swasta nasional.

Presiden Joko Widodo dalam pidato pembukaannya mengaku senang dengan adanya turnamen ini. Mantan gubernur DKI Jakarta ini meminta masyarakat untuk bersabar menantikan kebangkitan sepakbola tanah air melalui langkah reformasi.  

"Kita harus bersabar. Tidak apa kita diberi sanksi FIFA tidak bertanding, tidak apa-apa. Daripada kita kalah terus," ungkap Jokowi.

Namun masyarakat tak bisa terus ditenangkan dengan kata-kata dan retorika selama belum ada langkah pasti untuk melakukan reformasi. Publik tentu meminta kejelasan dan kepastian aksi perubahan yang dilakukan dan tidak hanya diberi suguhan sementara.

Apakah pemerintah bisa menjamin bahwa setelah turnamen tersebut reformasi kompetisi sudah bisa dilihat hasilnya atau paling kurang kompetisi profesional sudah mulai bergeliat? Jangan-jangan ini hanyalah hiburan semu.

Ironi kompetisi

Turnamen ini menjanjikan hadiah yang terbilang fantastis. Kompetisi resmi Indonesia Super League (ISL) sekalipun tak menyodorkan apresiasi ‘wah’ seperti itu. Bandingkan Sriwijaya FC, juara ISL hanya menerima Rp2 miliar atau lebih kurang sedikit dari yang diterima Persipura Jayapura di musim sebelumnya yakni Rp. 2,5 miliar.

Sang juara Piala Presiden bakal mendapat uang tunai Rp3 miliar, sementara tiga besar lainnya masing-masing Rp2 miliar, Rp1 miliar dan Rp500 juta. Tak hanya itu pihak sponsor bahkan memberikan subsidi kepada para peserta berdasarkan pencapaian masing-masing. Sementara prestasi individu juga mendapat ganjaran setimpal. Hadiah Rp200 juta akan dibawa pulang oleh pemain terbaik dan Rp100 juta bagi pemain tersubur.

Tak tanggung-tanggung  pada babak penyisihan grup, masing-masing klub mendapatkan dana segar Rp500 juta dan biaya transportasi Rp100 juta. Pada babak delapan besar, klub yang lolos diberikan tambahan uang sebesar Rp250 juta dan biaya transportasi Rp100 juta.

Hadiah sebesar itu tentu menjadi motivasi bagi para peserta untuk unjuk gigi maksimal. Bahkan ada yang terus terang mengaku bahwa uang menjadi stimulus untuk mengambil bagian dalam turnamen ini apalagi di tengah situasi ‘paceklik’ yang amat dirasakan setiap klub, para pemain dan pihak-pihak lainnya. Bahkan tak sedikit klub yang rela meminjam pemain-pemain dari klub-klub lain yang tak ambil bagian.

Tentu situasi ini amat menyesakkan bagi klub-klub lain yang tak berpartisipasi. Meski tak sedikit klub yang dengan sengaja dan terencana tak mau ambil bagian, namun gelontoran dana besar di tengah rintihan banyak pemain yang terpaksa dipangkas gajinya atau dirumahkan serta teriakan banyak klub yang kian hari kian merugi menjadi sebuah ironi.

Memang dana sebesar itu bukan milik negara. Masyarakat luas tak berhak atas uang tersebut. Namun bukankah lebih elok, dana segar itu ‘disimpan’ untuk didonasikan pada waktunya saat bergulirnya kompetisi resmi sepakbola tanah air demi kemaslahatan banyak klub. Atau disuntikan untuk duta-duta bangsa yang saat ini sedang berkompetisi membela nama negara.

Selain terkait dana, regulasi pertandingan pun patut dicermati. Saat kompetisi ini sedang berlangsung masih muncul perdebatan terkait format pertandingan yang digunakan. Perhitungan poin tentu tak perlu terlalu diambil pusing, yang pasti pemenang pantas mendapat ganjaran lebih.

Namun adanya permintaan untuk meniadakan adu penalti di babak penyisihan menjadi sebuah lelucon yang tak lucu. "Dari pihak televisi ada permintaan agar adu penalti di babak penyisihan ditiadakan karena memakan banyak waktu," terang CEO Mahaka Sports and Entertainment Hasani Abdul Gani.

Come on...sejak kapan adu penalti ditiadakan dalam sebuah kompetisi sepak bola? Orang-orang kampung saja tahu dan di setiap turnamen antar kampung pun tetap menggunakan sistem baku ini, mengapa even sekelas Piala Presiden mengambil format tak lazim dan menggelikan? Jika demikian, apa maksud sebenarnya dari turnamen ini?

Tanpa solusi

Hemat saya ada hal yang jauh lebih mendasar dari sekedar turnamen Piala Presiden. Fokus pemerintah saat ini adalah menyelesaikan kisruh yang membuat sepakbola tanah air berada di titik nadir.

Saya yakin turnamen Piala Presiden bukan obat mujarap untuk mengobati kerinduan masyarakat akan kompetisi sepak bola yang semestinya. Suguhan yang diberikan tak lebih dari hiburan semu yang bisa meninabobokan masyarakat di atas perseteruan PSSI dan Kemenpora, carut marut persoalan match fixing yang hingga kini belum jelas arah penyelesaiannya, dualisme di sejumlah klub dan nasib kompetisi reguler yang menggantung tak pasti.

Menpora, Imam Nahrawi dan Ketua Umum PSSI hasil KLB Surabaya, La Nyalla Mattalitti boleh saja tampil ‘mesra’ di panggung pembukaan. Jabatan tangan keduanya menjadi pertanda jembatan rekonsiliasi telah dibangun. Namun persoalan mendasar yang menyebabkan keduanya berselisih baik secara pribadi maupun institusi itu belum tersentuh untuk segera dibereskan.

Singkatnya, turnamen ini sedikit ‘menyelesaikan masalah’ yang kini sedang dihadapi dunia sepak bola tanah air, namun bukan ‘solusi’ untuk mengidupkan sepakbola tanah air yang sedang mati suri, apalagi mewujudkan iklim kompetisi yang sehat, profesional dan berbobot untuk melahirkan skuad Merah Putih yang mampu membuat seluruh rakyat Indonesia tersenyum bangga dan meneteskan air mata haru. Dan bukannya sunggingan senyum miris dan air mata pedih.

Bravo sepak bola dalam negri!!!!

N.B sumber pernyataan dari Antara, foto dari google.com.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun