Helen Keller, seorang perempuan yang cerdas dan tegas dari abad 19, menceritakan kisah hidupnya dengan keterbatasan indera yang ia alami sejak usia 19 bulan. Lahir di Tuscumbia pada 27 Juni 1880, Helen lahir seperti kebanyakan bayi lainnya, dapat melihat dan mendengar.Â
Tapi saat usianya menginjak 19 bulan, tiba-tiba sebuah penyakit menyerangnya, dan membuat indera penglihatan dan pendengarannya tak berfungsi selamanya. Seperti ketakutan sebagian besar manusia pada kegelapan dan kesunyian yang panjang, Helen bagai terdampar pada mimpi abadi. Hanya kengerian yang bisa dirasakan oleh Helen kecil saat itu.
Komunikasi merupakan kebutuhan mendasar setiap manusia sebagai zoon politicon. Media dan metode yang digunakan untuk berkomunikasi setiap kelompok masyarakat pun berbeda-beda. Seperti halnya Helen kecil yang karena keterbatasan pendengarannya tak punya banyak kosakata untuk menyampaikan keinginannya pada orang lain juga untuk memahami sekitarnya. Selama ini dia hanya menggunakan bahasa isyarat tak resmi, yang mungkin hanya ia dan ibunya dan beberapa teman bermainnya saja yang dapat memahami keinginannya.
Saat hasrat mengekspresikan dirinya semakin besar, isyarat yang digunakan selama ini tidak lagi memadai. Kegagalan untuk membuat orang lain memahami dirinya seringkali menimbulkan ledakan-ledakan amarah. Hal ini terjadi sampai kedua orang tua Helen membawa seorang guru yang lembut dan penuh cinta kepadanya.Â
Nona Anne Sullivan, seorang pengajar yang dikirim dari Perkins Institution di Boston untuk mulai mendidik Helen. Ia pulalah yang nantinya akan membangkitkan jiwa dan membuka cakrawala pemikiran seorang Helen Keller dengan cinta dan kasihnya. Â Â Â
Bagi sebagian besar manusia, kelengkapan indera adalah segalanya. Bahkan konstruksi sosial kita selalu mendeferensiasi "perbedaan" tersebut sebagai ke-"sempurna"-an dan ke-tidak-"sempurna"-an. Padahal setiap penyandang disabilitas punya kemampuan dan potensi yang sama besarnya dengan kita yang memiliki indera yang lengkap.Â
Bagi Helen, perbedaan anatara orang buta dan yang bisa melihat bukanlah pada inderanya, tapi bagaimana kita memakainya. Yang berbeda adalah imajinasi dan keberanian yang kita gunakan untuk mencari pengetahuan yang melampaui indera kita (hlm. 285).
Disabilitas Lebih Butuh Akses daripada Bantuan Sosial
Hal yang awalnya mengagumkan bagi saya dari kisah Helen ini adalah bahwa Amerika di abad 19 sudah menerapkan konsep pendidikan inklusif serta kesamaan kesempatan, bahkan sebelum Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia mengakui hak-hak penyandang disabilitas.Â
Dalam konteks Indonesia hari ini, sangat sulit menemukan perempuan buta seperti Helen yang dapat mengikuti pendidikan formal tinggi dan berprestasi. Ah, jangankan berprestasi, menemukan sekolah inklusif saja tak mudah, belum lagi biaya pendidikan yang tinggi untuk sekolah inklusif tersebut malah menjadikannya eksklusif bagi golongan ekonomi tertentu.
 Apresiasi dan perlindungan negara terhadap kelompok penyandang disabilitas juga belum bisa dibilang baik. Pemerintah dalam peraturan-peraturanya terkait penyandang disabilitas masih banyak menggunakan pendekatan charity-based atau pendekatan belas kasihan. Kecacatan bagi pemerintah hanya dianggap sebagai sebuah ketidakberdayaan yang dikarenakan kondisi fisiknya sehingga membutuhkan bantuan, maka solusi yang diberikan adalah dalam bentuk bantuan kesejahteraan sosial dan kebijakan kesehatan preventif.
Berdasarkan pendekatan human rights based, disabilitas merupakan suatu kondisi sosial yang terjadi karena interaksi seseorang dengan lingkungannya. Labelling yang dibentuk oleh suatu konstruk sosial kemudian menyingkirkan para penyandang disabilitas dari realitas sosial, sehingga timbul hambatan bagi mereka untuk melakukan interaksi sosial dan memiliki kesempatan yang sama dengan mereka yang "normal" atau "sempurna".Â
Oleh karena itu, penanganan yang semestinya mereka butuhkan adalah keterbukaan akses yang dapat menjembatani kesulitan mereka dalam interaksi sosial. Helen Keller sejak kehadiran gurunya, Anne Sullivan, memiliki akses komunikasi yang jauh lebih baik. Atas ajaran gurunya, ia mempelajari berbagai macam kosakata dengan mengejakan setiap kata-kata baru di telapak tangannya. Tak puas dengan mengeja huruf per huruf, Helen juga belajar membaca huruf braille. Dari situ terbukalah aksesnya untuk mempelajari lebih banyak lagi pengetahuan melalui buku-buku.
Merugi Belajar di Perguruan Tinggi
Salah satu bagian yang saya sukai adalah saat Helen menceritakan kisah sekaligus kekecewaan di bangku kuliahnya. Baginya, mempelajari pengetahuan sebanyak-banyaknya, merenungi setiap pengetahuan baru yang ia dapatkan, serta menikmati proses berpikir adalah suatu kenikmatan besar.Â
Antusiasme itulah yang kemudian mendorongnya untuk melanjutkan studi di Perkins Instituions, Boston menuju ke Perguruan Tinggi Radcliff. Kekecewannya mulai muncul saat ia menyebutkan bahwa perguruan tinggi bukanlah ruang kuliah romantis seperti keluguan masa kecilnya, dan lambat laun ia merasa rugi belajar di perguruan tinggi (hlm. 164).
Sebuah refleksi yang sangat jujur menurutku, ketika diatas saya mengagumi inklusifitas pendidikan yang ia tempuh, ternyata Helen mematahkan langsung kekaguman saya dengan kekecewannya terhadap sistem belajar di perguruan tinggi. Kerugian pertama yang ia rasakan adalah tentang kurangnya waktu.Â
Helen yang selama ini menikmati cara belajar dengan buku, refleksi dan imajinasi, di perguruan tinggi ia harus menerima setumpuk pelajaran dalam setahun. Di perguruan tinggi tak ada waktu untuk berbincang dengan diri sendiri. Sepertinya orang-orang pergi ke kampus untuk belajar, bukan untuk berpikir (hlm. 164).
Pendidikan yang kukira inklusif itu ternyata belum benar-benar inklusif. Helen yang memiliki keterbatasan penglihatan dan pendengaran ditempatkan di kelas yang sama dengan murid lainnya, dan dengan satu dosen yang berceramah di depan kelas tanpa peduli bahwa Helen bisa mendengar dan memahami ceramah panjangnya atau tidak.Â
"Kata-kata berhamburan ke tanganku bak anjing pemburu mengejar kelinci yang seringkali tak terkejar" (hlm. 165), ungkap Helen menggambarkan kekecewaannya. Tidak bisa dibayangkan betapa kerasnya usaha Helen untuk dapat memahami pelajaran. Usahanya bisa jadi harus 2-3 kali lipat lebih keras daripada mahasiswa lainnya yang tidak memiliki hambatan fisik. Bukan hanya usahanya saja, waktu yang ia butuhkan untuk mempersiapkan kuliah juga lebih lama dari mahasiswa lainnya.Â
Hal ini karena ternyata tidak banyak buku mata kuliah yang tercetak dalam huruf braille. Hal-hal semcam inilah yang harus perlu diperhatikan oleh sekolah-sekolah inklusif, yakni ketersedian media pembelajaran yang sama tetapi menyesuaikan kebutuhan masing-masing mahasiswa.
Helen yang selama ini belajar langsug dari para ilmuwan besar dan merasakan langsung sentuhan mereka,tentu sangat tidak puas dengan sistem kuliah yang ia jalani. Mahasiswa tidak bisa menemui langsung orang-orang bijak dan terhormat tersebut. Ada banyak hal yang ia juga tidak mengerti kenapa harus dipelajari.Â
Ia juga tidak mengerti dengan sistem ujian yang menakutkan, dimana dalam waktu singkat ia harus menjejali pikirannya dengan materi-materi yang tentu tidak akan tercerna dengan baik. Sungguh, kegelisahan Helen akan sekolah formal semakin meyakinkanku bahwa Sekolah Itu Candu! bagi mereka yang hanya menginginkan belajar dari sekolah, tapi enggan berpikir dan berkembang.
Samudera Perasaan dan PikiranÂ
Satu hal lagi yang sangat menarik dari seorang Helen Keller adalah kepribadiannya. Bagaimana cara ia memandang dirinya sendiri sebagai seorang buta dan tuli sungguh sangat tangguh. Ia tak pernah menganggap dirinya berbeda dengan orang lain. Keterbatasan yang ia alami bukanlah akhir dari segalanya. Ia masih memiliki ketiga indera lainnya yang dapat ia maksimalkan, penciuman dan perabanya lah yang membantunya untuk "melihat" dan "mendengar" melalui getaran-getaran serta bau-bauan khas untuk setiap obyek.
Seperti umumnya perilaku sosial yang diterima oleh penyandang disabilitas, disepelekan, dianggap tidak mampu bahkan tidak dianggap ada. Helen tidak pernah mempedulikan orang-orang itu, karena baginya, "Aku berfikir maka aku ada!", mengambil teladan dari Descartes, seorang filsuf Prancis ternama. Dengan demikian, ia menghadirkan dirinya sendiri secara metafisik. Sebesar apapun keraguan orang lain padanya tidak akan ada yang bisa mengalahkan pikiran dan kepercayaan seseorang pada dirinya sendiri. Bagi Helen, ketulian dan kebutaan tidaklah eksis dalam pikiran non-materi. Seacara filosofis, pikiran non-materi inilah yang merupakan dunia nyata, bukan sebaliknya (hlm. 323).
Manusia ternyata memiliki sifat materiil, segala sesuatu yang dimilikinya dinilai sebagai materi, bahkan indera sekalipun. Pemahaman itu tentu sangat menyesatkan, perasaan bangga akan "kesempurnaan" yang dimiliki justru membutakan manusia dari realitas sosial di sekitarnya. Apa gunanya indera yang "sempurna" tetapi tidak bisa melihat kesulitan orang lain, mendengar keluh kesah alam, mencium dosa diri sendiri, merasakan sentuhan kasih sayang Tuhan serta mencicipi kepahitan-kepahitan hidup dengan bijaksana.
Â
Judul Buku   : The Story of My Life
Penulis       : Helen Keller
Penerjemah  : M. Rudi Atmoko, Shalahuddin Gh
Penerbit      : Javanica
Tahun Terbit : Desember 2017
Tebal         : 369 halaman
ISBN Â Â Â Â Â Â Â Â Â : 978-602-6799-31-9
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H