Berdasarkan pendekatan human rights based, disabilitas merupakan suatu kondisi sosial yang terjadi karena interaksi seseorang dengan lingkungannya. Labelling yang dibentuk oleh suatu konstruk sosial kemudian menyingkirkan para penyandang disabilitas dari realitas sosial, sehingga timbul hambatan bagi mereka untuk melakukan interaksi sosial dan memiliki kesempatan yang sama dengan mereka yang "normal" atau "sempurna".Â
Oleh karena itu, penanganan yang semestinya mereka butuhkan adalah keterbukaan akses yang dapat menjembatani kesulitan mereka dalam interaksi sosial. Helen Keller sejak kehadiran gurunya, Anne Sullivan, memiliki akses komunikasi yang jauh lebih baik. Atas ajaran gurunya, ia mempelajari berbagai macam kosakata dengan mengejakan setiap kata-kata baru di telapak tangannya. Tak puas dengan mengeja huruf per huruf, Helen juga belajar membaca huruf braille. Dari situ terbukalah aksesnya untuk mempelajari lebih banyak lagi pengetahuan melalui buku-buku.
Merugi Belajar di Perguruan Tinggi
Salah satu bagian yang saya sukai adalah saat Helen menceritakan kisah sekaligus kekecewaan di bangku kuliahnya. Baginya, mempelajari pengetahuan sebanyak-banyaknya, merenungi setiap pengetahuan baru yang ia dapatkan, serta menikmati proses berpikir adalah suatu kenikmatan besar.Â
Antusiasme itulah yang kemudian mendorongnya untuk melanjutkan studi di Perkins Instituions, Boston menuju ke Perguruan Tinggi Radcliff. Kekecewannya mulai muncul saat ia menyebutkan bahwa perguruan tinggi bukanlah ruang kuliah romantis seperti keluguan masa kecilnya, dan lambat laun ia merasa rugi belajar di perguruan tinggi (hlm. 164).
Sebuah refleksi yang sangat jujur menurutku, ketika diatas saya mengagumi inklusifitas pendidikan yang ia tempuh, ternyata Helen mematahkan langsung kekaguman saya dengan kekecewannya terhadap sistem belajar di perguruan tinggi. Kerugian pertama yang ia rasakan adalah tentang kurangnya waktu.Â
Helen yang selama ini menikmati cara belajar dengan buku, refleksi dan imajinasi, di perguruan tinggi ia harus menerima setumpuk pelajaran dalam setahun. Di perguruan tinggi tak ada waktu untuk berbincang dengan diri sendiri. Sepertinya orang-orang pergi ke kampus untuk belajar, bukan untuk berpikir (hlm. 164).
Pendidikan yang kukira inklusif itu ternyata belum benar-benar inklusif. Helen yang memiliki keterbatasan penglihatan dan pendengaran ditempatkan di kelas yang sama dengan murid lainnya, dan dengan satu dosen yang berceramah di depan kelas tanpa peduli bahwa Helen bisa mendengar dan memahami ceramah panjangnya atau tidak.Â
"Kata-kata berhamburan ke tanganku bak anjing pemburu mengejar kelinci yang seringkali tak terkejar" (hlm. 165), ungkap Helen menggambarkan kekecewaannya. Tidak bisa dibayangkan betapa kerasnya usaha Helen untuk dapat memahami pelajaran. Usahanya bisa jadi harus 2-3 kali lipat lebih keras daripada mahasiswa lainnya yang tidak memiliki hambatan fisik. Bukan hanya usahanya saja, waktu yang ia butuhkan untuk mempersiapkan kuliah juga lebih lama dari mahasiswa lainnya.Â
Hal ini karena ternyata tidak banyak buku mata kuliah yang tercetak dalam huruf braille. Hal-hal semcam inilah yang harus perlu diperhatikan oleh sekolah-sekolah inklusif, yakni ketersedian media pembelajaran yang sama tetapi menyesuaikan kebutuhan masing-masing mahasiswa.
Helen yang selama ini belajar langsug dari para ilmuwan besar dan merasakan langsung sentuhan mereka,tentu sangat tidak puas dengan sistem kuliah yang ia jalani. Mahasiswa tidak bisa menemui langsung orang-orang bijak dan terhormat tersebut. Ada banyak hal yang ia juga tidak mengerti kenapa harus dipelajari.Â