"Jangan pernah mau untuk dijadikan boneka oleh Belanda. Tanah Papua ini adalah milik kita, tuan rumah tidak boleh lagi dijadikan pesuruh di rumahnya. Mari kita bangkit dan usir Belanda dari bumi kita." Ucap Frans dalam sebuah rapat.
Masyarakat mendukung penuh rencana Frans. Tahun 1948 Frans adalah pencetus pergerakan melawan Belanda.
Setelah mengetahui ini, Belanda berniat untuk bermain-main dengan Frans, Belanda bersikap baik kepada Frans. Hingga disuatu hari akan diadakan Konferensi di Netherland, Belanda menginginkan Frans sebagai wakil Belanda untuk wilayah Nugini. Frans menolak mentah-mentah perintah itu. Disuatu malam Frans diculik oleh tentara-tentara Belanda. Frans dimasukkan ke dalam penjara oleh Belanda.
"Apakah kamu ingin berubah pikiran?." Tanya pihak Belanda
"Tidak, saya tidak akan berubah pikiran, meskipun saya akan diancam dibunuh, atau saya akan dibunuh sungguh-sungguh, saya tidak akan pernah berubah pikiran." Jawab Frans
"Oh, ya? Apakah kamu tidak mengkhawatirkan rakyat Biak saat mengetahui kamu hilang?" Tanya pihak Belanda
"Masyarakat Biak takkan pernah menyerah, sebab masyarakat Biak tidak pernah ingin kembali didikte oleh orang-orang seperti kalian!." Jawab Frans
Pihak belanda sangat marah kepada Frans. Belanda berniat tidak akan pernah mengeluarkan Frans dari penjara. Masyarakat Biak merasakan kehilangan sosok penyemangat dan pelindungnya. Akan tetapi, masyarakat tidak ingin perjuangan Frans sia-sia, mereka tetap mempertahankan Biak.
Selama di penjara Frans tidak hanta diam saja dan menunggu jeruji penjara terbuka, ia banyak merencanakan sesuatu dan mempelajari sesuatu dari dari surat-surat kabar. Frans di penjara sekitar enam tahun dari tahun 1954-1961.
1961 Frans keluar dari penjara, Belanda melepaskan Frans. Setelah keluar Frans buru-buru memberi tahu rencana-rencana yang ia siapkan selama di penjara. Frans akan mendirikan Partai Politik Irian. Ia menginginkan sesegera mungkin untuk menggabungkan wilayah Nugini dengan Wilayah Indonesia.
Pada tahun ini juga terjadi Operasi Trikora, lebih tdpatnya pada tanggal 19 Desember 1961. Indonesia mempersiapkan ini dengan cara mencari bantuan senjata dari luar negeri. Pada awalnya Indonesia mencoba meminta bantuan dari Amerika, namun Amerika serikat menolak. Pada akhirnya, Jendral A.H. Nasution pergi ke Moskwa, Uni Soviet dan berhasil mengadakan perjanjian jual beli senjata dengan pemerintah sana senilai 2,5 milliar dollar Amerika.