Mohon tunggu...
Chantika Anindhi
Chantika Anindhi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya merupakan mahasiswa jurusan kimia. Saya suka musik, bernyanyi dan sains.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Manusia yang Bahagia

17 Oktober 2022   21:53 Diperbarui: 18 Oktober 2022   14:47 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Manusia yang Bahagia

Sore itu, di bulan Desember tahun 2018, aku, Kak Mey, beserta Papa dan Mama kembali menginjakkan kaki di tanah Magelang setelah empat tahun tidak pernah berkunjung. Kampung halaman Mama itu masih seperti dulu, asri, sejuk, dan hijau. Rasa rindu akan kampung halaman ini pun terbalaskan kala melihat hamparan sawah nan luas dan megahnya gunung Merapi tampak berdampingan dengan indah dari kejauhan. Pemandangan yang amat kurindu. Perjalanan delapan belas jam kami tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan rasa bahagia saat kami telah sampai di depan rumah Mbah.

Saat mobil kami berhenti tepat di halaman rumah Mbah, Paman tersenyum lebar menyambut kedatangan kami. "Nala wis teko mak," ujar Paman semangat menyebut namaku sambil berlari ke dalam rumah memanggil Mbah yang sedang memakai jilbab. Sedikit bisa kuartikan, yang dikatakan Paman adalah aku sudah datang. Setelah itu, Mbah keluar dari rumah dan kulihat matanya basah serta berbinar saat melihat Mama menghambur dalam pelukannya. Sesaat setelah memeluk Mama, menyalami Papa, serta memeluk Kak Mey, Mbah memeluk dan menciumi pipiku tanda sayang. "Oalah Nala si kecil..wis gede kowe ndok. Saiki kelas piro?" kata Mbah bertanya sekarang aku sudah kelas berapa. Aku pun tergelitik saat Mbah masih mamanggilku dengan sebutan itu, Si Kecil. Panggilan itu dulu aku dapatkan karena aku merupakan cucu paling kecil dari Mbah. Aku pun bersemangat kala itu menjawab "kelas songo," yang artinya kelas sembilan. Mbah pun tertawa melihatku menjawab dengan bahasa Jawa. "Wis iso ngomong jowo saiki, tinggal sama Mbah wae ning kene yo," ujarnya sambil tertawa. Raut wajahnya amat teduh. Sebenarnya Mbah bisa bahasa Indonesia. Tapi karena sudah puluhan tahun tinggal di Magelang, beliau terbiasa menggunakan bahasa Jawa. Di sela-sela momen itu, Mbah dan Paman mempersilahkan kami masuk ke dalam rumah. Saat masuk rumah, kami sudah disuguhkan dengan banyak masakan Mbah yang dibuat khusus untuk kami, seperti gudeg, krecek dan ayam goreng plus sambal spesial buatan Mbah. Kata Paman, Mbah langsung bersemangat pergi ke pasar dan memasak untuk kami ketika mendapat kabar bahwa kami akan datang. Di tengah  momen makan bersama itu, kami berbincang tentang banyak hal. Aku, Papa dan Mama sibuk berbagi banyak cerita tentang rutinitas kami di Jakarta. Begitupun Mbah dan Paman yang asyik mendengar dan berbincang dengan kami. Berbeda dengan Kak Mey yang sibuk menatap smartphone-nya. Ia terbiasa makan sambil menonton seperti itu. Katanya, selera makannya akan menurun jika tidak makan sambal menonton.

Setelah makan, di sebuah kamar berukuran 3 × 4 meter akhirnya kami beristirahat setelah dipersilahkan Mbah dan Paman yang tinggal di sana. Kamar ini full berwarna coklat tua berbahan kayu jati nan kokoh, dipenuhi hiasan wayang khas Jawa Tengah yaitu Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong yang berjejer rapi di sudut kanan kamar itu. Aku ingat nama-nama wayang berkat Almarhum Mbah Sugiman, kakekku, yang menceritakan kisah-kisah wayang itu kala aku masih kecil setiap aku pulang ke Magelang.

Saat malam tiba, suara jangkrik dan tokek mulai terdengar bersahutan mengisi malam yang sunyi. Aku yang terbangun di jam dua belas malam lewat lima menit itu mendapati Kak Mey yang sudah tidur pulas di sampingku sambil memegang smartphone-nya. Kurasa dia habis menonton reality show favoritnya sampai-sampai ketiduran. Hal itu telah menjadi kebiasaan sebelum tidurnya. Sementara itu, di sudut kamar aku menangkap bisik-bisik suara Papa dan Mama yang sedang berbincang pelan, mungkin karena khawatir kami terbangun. Sepertinya, saking asiknya berbincang sampai tidak menyadari Kak Mey yang sudah tertidur dengan posisi seperti itu. Namun kubiarkan saja. Kucoba dengar topik perbincangan yang sedang Papa dan Mama bicarakan. "Kalau langsung besok pagi kesananya gimana, Ma?" tanya Papa. "Gapapa, Pa. Makin cepet makin bagus. Mama udah lama pengen banget kesana. Katanya view nya bagus lho buat foto-foto. Mama mau buat status juga di WhatsApp. Terus buat lusanya kita bisa pergi ke Parangtritis Pah." ucap Mama semangat dalam bisik itu. "Hmm boleh-boleh. Terus hari selanjutnya kita kemana ya, mah?" tanya Papa lagi. "Borobudur yuk, Pah. Mama udah lama banget ngga kesana. Terakhir pas Mama masih muda. Terus, dari sini ke Jogja cuma 2 jam lho, Pah. Ayo kita ke malioboro! Eh iya tapi kita harus ke Ketep Pass dulu ya! Yang ini harus jadi lho," jawab mama penuh semangat. Rupanya mereka sedang merencanakan list tempat jalan-jalan selama kami berlibur di sini.  "Iya mah, mumpung di sini kita puas-puasin jalan-jalan, ya. Kita kelilingi Magelang dan Jogja pokoknya. Mumpung ada uang, ada waktu," sahut Papa lagi. Sayup-sayup suara mereka pun perlahan menghilang terbawa rasa kantukku yang semakin besar. Saat semua memburam, tiba-tiba hari sudah pagi.

Aku dibangunkan Mama untuk bersiap-siap untuk pergi ke Ketep Pass, sebuah destinasi wisata di daerah Kabupaten Magelang. Sekilas Mama bercerita, di sana terdapat pemandangan gunung Merapi yang sangat cantik untuk berswafoto. Setelah mandi dan berganti baju, aku, Kak Mey, Papa dan Mama bergegas pergi. Mbah yang baru pulang dari Pasar Sraten pun menghampiri dengan sedikit berlari. "Lho lho mau kemana udah pada rapi gini?" Mbah bertanya. "Mau ke Ketep Pass, mak. Jalan-jalan dulu hehe," timpal Mama. Setelah itu Mama bercerita pada Mbah penuh semangat dengan mata yang berbinar. Menceritakan tentang indahnya Ketep Pass beserta pemandangan foto yang bagus di sana. Mbah pun hanya mengangguk-angguk tanda mengerti. Ada sedih yang tergambar di wajahnya setelah itu. "Padahal mau tak masaki gudeg, udah tak petiki Nangka di kebun," ujar Mbah. Saat itu, Mbah sudah kami ajak untuk ikut, tapi Mbah menolak karena katanya tidak mau kelelahan sebab usianya yang telah berumur. Paman pun tidak bisa ikut karena harus pergi bekerja. Akhirnya kami berempat pun pergi. Seharian kami pergi mengeksplor Magelang sambil jalan-jalan. Ternyata ada banyak destinasi wisata baru di sana. Kami pun baru selesai saat sore hari dan kembali ke rumah Mbah di malam hari pukul delapan.

Besoknya, kami bergegas untuk pergi ke Borobudur. Di sana kami banyak menghabiskan waktu untuk berfoto di berbagai sudut candi nan megah itu. Hasilnya sangat bagus untuk dipasang di status WhatsApp dan Instagram. Di sana aku dan Kak Mey juga menaiki gajah tunggang. Lalu kami makan Getuk sepulang dari Borobudur. Saat itu, kami senang sekali.

Pada hari keempat kami pergi ke Parangtritis. Sedikit berubah dari jadwal yang telah direncanakan karena kami kelelahan setelah berjalan kaki di Borobudur kemarin. Desiran angin pantai terasa sangat sejuk dan pemandangan birunya ombak yang dikelilingi bukit hijau tampak sangat indah. Intinya, selama di sana kami berkeliling kota Magelang dan Jogja sampai badan kami rasanya sakit semua. Akan tetapi, karena terasa menyenangkan, pegal di badan kami pun rasanya seperti meluntur. Selain itu, kami juga mencoba beragam kuliner khas daerah setempat yang belum pernah kami cicip sebelumnya. Benar-benar pengalaman yang tak terlupakan.

Namun, di sela-sela kebahagiaan kami ada hal yang membuatku hatiku merasa tidak enak. Entah sejak kapan tepatnya, aku merasa sikap Mbah berubah menjadi dingin. Tatapan Mbah tidak sehangat kala aku tiba di tempat ini lima hari yang lalu. Mbah juga tidak lagi memasak masakan spesialnya untuk kami. Saat kutanyakan, Mbah hanya menjawab "Yo makanan luar kan lebih enak tho dari masakan Mbah." Hatiku agak teriris rasanya. Bukan maksud kami berpikir seperti itu. Aku bersumpah makanan Mbah adalah salah satu rasa terenak di dunia. Kupikir Mbah hanya salah paham dengan tindakan kami yang memilih untuk kulineran di luar daripada makan di rumah. Hanya saja, entah mengapa aku tak bisa mengatakan suatu pembelaan. Bibirku kelu ketika Mbah berlalu pergi.

Keesokan harinya, kami menjalankan agenda jalan-jalan kami seperti biasa. Saat kami baru akan berangkat, Mbah yang sedari tadi memperhatikan kami sibuk bersiap, akhirnya mengajak Mama bicara. "Ndok, kamu tuh jalan-jalan terus tiap hari, sebaiknya uangnya disimpen. Mendingan pergi ke empang aja nemenin mamak nyerok ikan, gratis. Ntar ikannya bisa dimakan bareng-bareng," ujar Mbah. Ibu pun menjawab "Wah mumpung di sini, Mak, kita puas-puasin jalan-jalan dulu keliling Magelang-Jogja. Nanti kalau sudah di Jakarta nggak bisa lagi. Kalau pergi di empang bisa kapan-kapan saja, Mak. Di Jakarta empang juga ada," ujar Ibu. Entah bagaimana setelah itu Mbah hanya terdiam beberapa saat. Sempat kulihat beliau menghela napasnya dengan wajah sendu. "Tapi di Jakarta kan mamaknya juga nggak ada, tho?" ujar Mbah. Deg. Hatiku tersentak saat mengingat kejadian itu. Di sisi lain dari depan halaman, Kak Mey datang mengampiri Mama. Rupanya dia sudah ada di luar sejak tadi. Dengan wajah sedihnya, Ia kehilangan sinyal dan menjadi rewel karena tidak bisa update Instagram-nya. Dengan segala kepentingan dan keinginan kami, akhirnya hari itu kami pun memutuskan untuk pergi.

Keesokan harinya, Ayah pun mendapat panggilan untuk menghadiri pertemuan mendadak di kantor. Akhirnya, hari itu kami mulai berkemas untuk kembali ke Jakarta dan liburan kami di Magelang pun usai sampai di situ. Sebelum pergi, kami berpamitan dengan Mbah. Dengan berat hati, kami pun harus berpisah. Hari itu, Mbah memelukku dengan sangat erat. Dielus kepalaku dengan lembut. Air mataku pun tak dapat terbendung lagi, begitupun dengan Mbah.

Tak ada yang pernah menyangka bahwa hal itu menjadi pengalaman pulang kampung terakhir kami bersama Mbah. Saat ini, yang bisa aku, Kak Mey, Papa dan Mama lakukan hanyalah menatap nanar batu nisan Mbah yang sekarang berada di depan mata kami di bulan September 2019 yang sendu ini. Kilas balik yang sungguh mengiris hati. Terdapat banyak penyesalan yang menumpuk. Hal itu mungkin menjadi salah satu penyebab Mama hari ini menangis tersedu-sedu. Jika saja, kala itu kami tidak sibuk dengan agenda jalan-jalan kami, mungkin kami bisa menghabiskan lebih banyak waktu dengan Mbah. Mungkin saat itu, Mbah akan sangat senang dan terpenuhi hatinya. Jika saja saat itu kami sadar bahwa kehangatan bersama keluarga adalah yang utama, maka mengisi status Whatsapp tidak akan menjadi prioritas bagi kami untuk merasa menjadi manusia yang bahagia.

Setelah kejadian ini, kusadari bahwa salah satu hal yang paling berharga adalah waktu bersama keluarga. Aku ingat Mbah pernah berbisik di telingaku sesaat sebelum kami kembali ke Jakarta hari itu. "Ndok, jadilah manusia yang sederhana. Seisi dunia ini nggak akan pernah cukup jika terus dikejar. Belajar yang rajin ya, jangan lupa doain Mbah," Dari pengalaman itu, aku menjadi sadar akan hal-hal yang seringkali manusia lewatkan. Sejak saat itu, aku selalu berusaha menghargai hal-hal yang kecil. Sesederhana makan masakan Mama yang sudah dibuat dengan susah payah di tengah-tengah kesibukannya, membuatkan teh untuk Ayah di Pagi hari, dan berbincang dengan kakak di hari libur. "Mbah, terima kasih atas wejangannya."

-Selesai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun