Tak ada yang pernah menyangka bahwa hal itu menjadi pengalaman pulang kampung terakhir kami bersama Mbah. Saat ini, yang bisa aku, Kak Mey, Papa dan Mama lakukan hanyalah menatap nanar batu nisan Mbah yang sekarang berada di depan mata kami di bulan September 2019 yang sendu ini. Kilas balik yang sungguh mengiris hati. Terdapat banyak penyesalan yang menumpuk. Hal itu mungkin menjadi salah satu penyebab Mama hari ini menangis tersedu-sedu. Jika saja, kala itu kami tidak sibuk dengan agenda jalan-jalan kami, mungkin kami bisa menghabiskan lebih banyak waktu dengan Mbah. Mungkin saat itu, Mbah akan sangat senang dan terpenuhi hatinya. Jika saja saat itu kami sadar bahwa kehangatan bersama keluarga adalah yang utama, maka mengisi status Whatsapp tidak akan menjadi prioritas bagi kami untuk merasa menjadi manusia yang bahagia.
Setelah kejadian ini, kusadari bahwa salah satu hal yang paling berharga adalah waktu bersama keluarga. Aku ingat Mbah pernah berbisik di telingaku sesaat sebelum kami kembali ke Jakarta hari itu. "Ndok, jadilah manusia yang sederhana. Seisi dunia ini nggak akan pernah cukup jika terus dikejar. Belajar yang rajin ya, jangan lupa doain Mbah," Dari pengalaman itu, aku menjadi sadar akan hal-hal yang seringkali manusia lewatkan. Sejak saat itu, aku selalu berusaha menghargai hal-hal yang kecil. Sesederhana makan masakan Mama yang sudah dibuat dengan susah payah di tengah-tengah kesibukannya, membuatkan teh untuk Ayah di Pagi hari, dan berbincang dengan kakak di hari libur. "Mbah, terima kasih atas wejangannya."
-Selesai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H