Mohon tunggu...
Sumire Chan
Sumire Chan Mohon Tunggu... Guru - www.rumpunsemesta.wordpress.com

Pengajar dan Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Tak Semulus Mandalika

21 Maret 2022   13:52 Diperbarui: 21 Maret 2022   14:00 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Sumber gambar: Sport.okezone.com

Perhelatan Moto GP begitu dihebohkan dengan aksi pawang hujan yang mendunia. Bagaimana tidak, seluruh pemberitaan ramai mengulas aksinya. Satu hal yang terlintas di hati, semua adalah kuasa Tuhan. 

Tuhan yang menggerakan, menghidupkan, menghendaki, menyelamatkan. Jika Tuhan sudah berkehendak, jadilah maka jadilah. Begitu dalam Alquran pada Surat Yasin ayat 82.

Sebenarnya ini tak ada hubungannya sama sekali dengan Mandalika. Ini hanya curahan hati dalam bayang-bayang jalan mulus lancar tanpa lubang. Rasanya ingin sekali melintas di jalanan seputar sirkuit mandalika. Melewati jalan yang glowing nyaris tanpa cacat dengan aspal berkualitas nomor wahid. Nyatanya itu memang hanya angan-angan dalam benak.

Sebagai satu dari sekian orang yang tergolong dalam kategori PJKA (Pulang Jumat Kembali Ahad) rasanya badan ini sudah tak sebaik dulu,  tak sesehat dulu. 

Di balik faktor usia yang tak lagi muda, ditambah dengan bumbu-bumbu masalah kehidupan yang datang silih berganti, dilengkapi dengan jalanan berlubang rusak tak layak dilewati, akan tetapi malah dilintasi setiap hari. Saya memang bisa apa selain bersyukur untuk yang kesekian kali akan karunia Tuhan yang tak henti-henti.

Meskipun demikian adakalanya mulut ini mengumpat pada sang pemangku kebijakan. Adakalanya pemerintah menuntut hasil yang sama, padahal prasana tidaklah merata. Kita lihat perkembangan pedesaan dan perkotaan terlihat kesenjangan yang benar-benar jauh berbeda.

Lagi-lagi yang tak pernah merasakan pasti akan bilang "sabar". Namun cukupkah? Sebuah komentar seringkali dilayangkan tanpa merasakan.

Sudah menuju tahun pada angka keempat tahun saya bekerja jauh dari tempat tinggal dan keluarga. Saya, notabene orang yang biasa hidup di pinggir perkotaan. Memang bukan kota layaknya ibu kota. Tapi sudah cukup disebut kota pikirku. Jarak 4 jam perjanalan cukup membuatku lelah. 

Tahun pertama semangat masih menggelora dengan beberapa harapan dan keinginan yang mungkin saja kelak menjadi sebuah kenyataan untuk lebih baik. Tahun kedua dengan penantian yang sama dan seperti biasa seminggu sekali saya pulang menemui keluarga. 

Mulai tahun ketiga, aspal-aspal jalanan itu mulai habis terbawa arus air setiap kali hujan. Ya, persis setiap kali hujan tanpa perbaikan. Lubang-lubang jalan itu hampir merata, lubang di tengah dan pinggiran tak terkira. 

Lubang 5cm, 10 cm bahkan 30cm. Saat melewati jalanan ini, Anda akan merasakan goyangan yang tak biasa di dalam mobil. Jangankan tidur, duduk saja pasti akan terus bergeser kanan kiri depan belakang.

Tak ada yang bisa dipilih saat menggunakan kendaraan roda empat. Apalagi jika kendaraan elf yang Anda tumpangi, perlahan-lahan rasanya badan akan hancur dibuai dengan segala sensasi goyangan jalan mulai dari ritme terendah sampai tertinggi. 

Supir-supir elf di sini terkenal dengan cara jalannya yang kebut-kebutan di samping juga siput-siputan. Mereka tak pernah bergerak berirama stagnan. 

Prediksi perjalanan pun tak bisa ditentukan. Akhir-akhir ini bahkan lama perjalanan bisa mencapai 6-7 jam. Penyebab utamanya jalan jelek dan berlubang tadi yang kian parah.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia rasanya sudah lama tak bergeming. Seharusnya seluruh rakyat mendapatkan hak teradil. Kehidupan masyarakat di daerah perkotaan mungkin sudah lupa dengan akses jalan berlubang. Berlubang sedikit saja akan segera diperbaiki.

Saya tidak berbicara ini terjadi di Indonesia atau halnya di beberapa daerah di Indonesia. Akan tetapi fakta yang terjadi memang demikian. Andai saja jalan raya yang saya lewati setiap hari dan setiap pekan itu semulus mandalika. Mungkin hati dan badan ini tak akan terlalu sakit. Detik demi detik dalam menempuh perjalanan bisa saja terasa lebih menyenangkan.

Seribu bahkan seratus kata andai mencolek-colek isi kepala. Seribu dan seratus andai. Andai jalan tak kunjung diperbaiki, maka pemerintah daerah dipusatkan di sini, di desa ini. Biar aparat pemangku kebijakan sedikit merasakan jalan yang aduhai. Andai pemerintah daerah masih belum bisa merasakan kondisi jalan ini, maka pemerintahan daerah dan provinsi yang dipusatkan di sini. 

Untuk apa? Untuk sama-sama merasakan seperti halnya kata pepatah, berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Karena sebuah komentar akan selalu mudah terlontar tanpa merasakan gemetar.

Satu dua tiga kali Anda melewati jalan ini mungkin tak akan terasa lelahnya. Butuh satu hari istirahat mungkin akan me-recharge tubuh Anda. Namun, jika ini terjadi kontinu berhari-hari, berpekan-pekan hingga bertahun-tahun. Sama seperti makan sambal sedikit demi sedikit tak mengapa, tapi tiap hari tentu perut anda akan sakit.

Bukan jalan raya utama saja yang nyaris tak layak dilewati. Jalan menuju tempat bekerja pun tak jauh berbeda. Kalapun kita lihat di TV, ada siswa-siwa yang menaiki perahu  menyebrangi jembatan. Hal ini memang tak se-ekstrem itu. Tapi cobalah tuan-tuan yang terhormat sama-sama merasakan. 

Ringkihnya badan saat setiap hari melewati jalan yang tak layak ini. Parahnya kondisi demikian bukan hanya di tempat dimana saya bertugas. Banyak daerah-derah lain yang memang naas, miris untuk diceritakan. Ah ini memang sekedar bayangan saya saja. Sekedar mimpi dengan beribu andai. Andai jalan yang selalu saya lewati semulus dan seglowing sirkuit mandalika.

Saya memang belum memberikan konstribusi apapun bagi negara. Saya hanya manusia yang berusaha menjadi warga negara yang baik saja. Salah satunya dengan turut serta dan membayar pajak tepat waktu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun