Mohon tunggu...
Sumire Chan
Sumire Chan Mohon Tunggu... Guru - www.rumpunsemesta.wordpress.com

Pengajar dan Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ketika Saya Salah, Apakah Anda Benar?

28 Januari 2022   18:54 Diperbarui: 3 Februari 2022   01:30 2776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah Anda mendengar sebuah kalimat perumpamaan, "Ketika Saya Salah, Apakah Anda Benar?"

Apa yang dipikirkan dalam benak saat mendengar hal tersebut? 

Ramai-ramai dalam kehidupan baik dalam dunia nyata ataupun maya seringkali kita berceloteh dengan kata-kata tajam. Menghakimi sebuah permasalahan tanpa tahu siapa yang benar dan siapa yang salah. 

Ketika mendengarkan kebenaran versi Si A, sebagian yang  berada di pihak si A merasa korban. Tapi, ketika mendengar cerita versi Si B, ternyata si B juga tidak salah. 

Inilah uniknya sebuah cerita jika kita tidak tahu persis dan tidak mengalami secara langsung. Mengomentari dan menghakimi orang lain. 

Sebuah pembenaran hendaknya dilihat dari berbagai segi. Tidak melihat suatu permasalahan dari satu sudut pandang. 

Bayangkan jika halnya Anda melihat sebuah bangunan rumah dari bagian depan, Anda akan melihat bagian pintu masuk dengan jendelanya. Lain halnya jika Anda melihat rumah tersebut dari bagian atas, Anda hanya akan melihat gentingnya saja. 

Akan berbeda lagi jika Anda melihatnya dari sudut kiri ataupun kanan. Anda hanya akan melihat bagian runcingnya saja tanpa tahu seperti apa tampak depan, belakang dan atas. 

Begitu halnya dengan permasalahan orang lain yang bukan menjadi permasalahan kita. Patutkan dikomentari untuk dihakimi?

Dia salah, mereka salah, dia benar dan mereka benar, kami benar dan mereka salah. Layakkah dihakimi? Padahal Anda bukan siapa-siapa. Bukan hakim apalagi pihak yang dirugikan dan dikorbankan. 

Memang mudah mencari kesalahan orang lain dibanding boroknya diri sendiri. Saat Anda sudah berani menentukan seorang salah dan tidak kemudian menghakiminya, merasa paling benar dan orang lain salah. Sudah dipastikan Anda seorang yang berani, berani menjadi egois. 

Perlu kita ingat, hakikat keberadaan hidup manusia, selain sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial. Manusia merupakan makhluk yang diciptakan dengan kesempurnaan dalam cara berpikir serta caranya untuk mengendalikan diri. 

Manusia diberikan nafsu dan hasrat untuk mencapai tujuan hidup, keinginan dan kebutuhan masing-masing melalui ragam karakter yang berbeda. 

Namun demikian, dengan keberagaman hal tersebut, adakalnya apa yang diinginkan tak sesuai dengan yang dibutuhkan. 

Hasrat dan nasfu yang tak pernah puas kadang-kadang menjadikan manusia tamak dan timbullah keinginan untuk mengenyampingkan orang lain demi memenuhi segala hasrat keinginan yang belum terwujud.  Hal ini seringkali menjadi bahan pergunjingan, masalah bahkan bentrokan satu dan lainnya. 

Jika diibaratkan kehidupan seperti piring dalam sebuah lemari. Piring-piring tersebut tentu tidak akan beradu dengan piring dari lemari yang lain, akan tetapi dengan piring yang ada dalam lemari itu sendiri. 

Ada yang hanya retak, terbelah bahkan sampai pecah berkeping-keping tanpa sisa. Begitu halnya dengan kehidupan, acapkali kita bersinggungan antara yang satu dengan yang lain. 

Ragam karakter, kehidupan sosial, kebiasaan, agama, lingkungan adalah sebagian dari pemicu hal yang melatarbelakangi sebuah perdebatan. 

Pada umumnya, dengan segala perdebatan yang terjadi. Masing-masing pihak punya argumen pembenaran sama-sama benar. 

Bukan sama-sama salah untuk menyudahi perdebatan. Merasa dirugikan, dikhianati kemudian mencari simpati ke sana kemari demi memperoleh empati. 

Hal itu banyak dilakukan bagi mereka yang sudah mengakui sebuah kesalahan yang dilakukan namun tidak mau mengakui kesalahan itu. 

Padahal hidup tidak sendirian, hidup sama-sama hidup dengan mereka yang punya hasrat dan keinginan yang sama. Jangan mudah diprovokasi. Jadilah dewasa dengan pola pikir yang seharusnya, bukan memaksakan kehendak. 

Mengakui sebuah kesalahan kemudian memperbaikinya adalah wujud penghormatan diri. Dipastikan ketika kita tidak bisa menghargai orang lain, artinya sama dengan tidak menghargai diri sendiri. 

Menyalahkan orang lain atas permasalahan yang terjadi bukanlah perkara terpuji. Menciptakan drama dan konflik berkepanjangan sebagai satu-satunya orang yang ingin dimengerti. Menghakimi orang lain disebabkan keinginan pribadi tidak terpenuhi. Pantaskah? 

Hidup memang bukan sekedar hidup.  Ada orang lain yang perlu kita hargai bukan kita hakimi. Benar tidak selalu benar sehingga salah tidak selalu salah. 

Ada baiknya kita introspeksi diri dari sekedar menghakimi orang lain, baik itu teman, rekan, kerabat atau kehidupan orang lain yang tidak pernah kita kenal sama sekali. 

Jadi pantaskah jika Anda merasa benar dan menyalahkan orang lain atas sesuatu yang terjadi? Kalaupun dia atau mereka salah, haruskah Anda yang menjadi hakim atas kehidupannya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun