Pada edisi ini, saya akan membahas tentang manusia hidup bagai boneka Marionette. Manusia selalu diidentikkan sebagai makhluk sosial yang hidupnya selalu bergerak secara berkelompok. Setiap lini kehidupan manusia selalu dijalani dengan cara berkelompok dan bekerjasama.Â
Hal ini juga pernah dikatakan oleh seorang ahli filsafat Yunani Kuno yang terkenal dengan pembahasan tentang sistem kenegaraannya. Siapa lagi kalau bukan Aristoteles, beliau mengatakan bahwa manusia adalah zoon politicon yang berarti manusia itu sebagai makhluk yang memiliki sifat dasar selalu ingin bergaul dalam masyarakat. Karena memiliki sifat bergaul satu sama lain, manusia sangat tidak bisa dilepaskan dengan sifat hidup bersosialisasinya.Â
Dengan begitu, manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat dipisahkan dari kelompok masyarakat karena manusia memiliki naluri untuk hidup bersama dengan orang lain. Dalam kehidupan bermasyarakat, diperlukan interaksi sosial yang dapat diwujudkan dengan berbagai cara.
Pemikiran Aristoteles tentang konsep manusia sebagai Zoon politicon atau manusia politik, inilah yang menjadi salah satu asal usul terbentuknya kelompok masyarakat yang lebih besar bernama negara. Karena jika membahas tentang kelompok tidak akan lepas dari pembahasan sebuah negara. Disebutkan bahwa negara merupakan sebagai sarana aktualisasi diri.
Lantas, terbaginya sebuah komponen-komponen kenegaraan seperti desa yang didalamnya terdapat keluarga-keluarga. Bisa dikatakan bahwa manusia-manusia ini berkumpul membentuk sebuah unit-unit kecil, lantas mengikat satu sama lain sehingga menimbulkan sebuah konsep saling membutuhkan satu sama lain, atau bisa dikatakan dengan munculnya kelompok ini menimbulkan sebuah hubungan ketergantungan diantara anggota kelompok tersebut.
Namun untuk sebagian masyarakat, mereka lebih memilih hidup mandiri dengan menggunakan konsep DIY atau do it yourself, seperti anak-anak PUNK misalnya. Jika melihat ideologi dari anak-anak PUNK ini mungkin akan bertolak belakang dengan konsep yang telah dibuat oleh Aristoteles. Anak-anak PUNK selalu mengganggap bahwa mereka bisa hidup tanpa harus terikat dengan negara.Â
Nyatanya, di masa modern ini ego dan ideologi anak-anak PUNK mungkin sudah tergerus. Mengapa demikian? Dikarenakan power dari negara yang mengikat terlalu keras. Disamping itu juga, walaupun anak-anak PUNK menggunakan konsep do it yourself merekapun bahu membahu untuk menghidupi kehidupannya.Â
Pada akhirnya akan balik lagi membicarakan sistem kelompok. Lantas, apakah manusia masih bisa hidup sendiri dengan mandiri ataukah masih perlu kelompok untuk bersosial?
Pilih Hidup Bersosial Atau Mandiri? Ahh Sangat membingungkan
Saya selalu memiliki pertanyaan yang mengganjal dibenak saya bagaikan duri. Jika memang benar manusia hidup bersosial lalu sifat mandiri manusia itu apakah benar-benar ada? Seperti ini maksudnya, manusia selalu diidentikan dengan makhluk sosial yang bergerak dan bekerjasama satu sama lain. Lalu, banyak pendapat muncul bahwa manusia itu harus bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dan jika mau hidup harus bisa mandiri. Hal tersebut terlalu bias menurut saya. Bagaimana tidak, di satu sisi kita adalah makhluk sosial dan disisi lain kita diminta untuk hidup mandiri.
Kalian pasti berpikir bahwa kedua hal tersebut tidak bisa disandingkan, karena hal tersebut merupakan hal yang bersifat satu kesatuan. Hidup bersosial adalah hal yang alami dilakukan manusia dan hidup mandiri haruslah dimiliki semua manusia untuk bergerak maju. Namun tetap saja, menurut saya bahwa kita tidak bisa seratus persen hidup mandiri dan pastinya kita butuh bantuan orang lain.
Contohnya seperti ini, seberapa keras kita mencoba untuk membuktikan kita mandiri dan bisa melakukan sesuatu sendiri, tapi nyatanya segala kebutuhan yang kita butuhkan masih disediakan oleh orang lain. Kita tidak bisa seratus persen untuk melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain.Â
Contoh lainnya seperti ini, pernahkah kalian mendengar konsep do it yourself? Mungkin kalian pernah dengar konsep tersebut. Konsep tersebut sangat identik dengan perilaku mandiri dengan melakukan dan membuat sesuatu sendiri. Tapi, nyatanya konsep itu bisa dilakukan ketika segala kebutuhan atau bahan-bahan yang kalian butuhkan sudah terpenuhi.Â
Misal, kalian ingin membuat totebag, kalian mungkin bisa membuat totebag dengan menjahit menggunakan tangan kalian. Namun, ketika kalian tidak memiliki kain dan benang apakah totebag itu berhasil kalian buat? Tentu saja tidak, karena kadar mandiri manusia itu pasti ada batasnya.Â
Dalam kasus diatas, terkait benang dan kain, kalian pasti membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan kain dan benang kalian. Saya percaya bahwa manusia tidak bisa melakukan semua hal. Perlu adanya kerjasama didalamnya agar sebuah hal yang ingin kalian buat atau realisasikan tercapai.
Lalu jika kita sudah hidup dalam lingkaran kerjasama atau lingkaran sosial, pernahkah kalian berpikir apakah nasib kalian benar-benar ditentukan oleh kalian? Apakah cita-cita yang ingin kalian capai benar-benar murni pilihan kalian? Apakah keinginan untuk membeli sesuatu benar-benar keinginan kalian? Hal tersebut selalu menjadi pertanyaan yang berputar-putar didalam pikiran saya.Â
Setelah saya berpikir lebih dalam dan membaca-baca literatur tentang hal itu, saya mendapatkan sesuatu yang menarik terkait permasalahan ini. Mari baca tulisan dibawah ini, jangan berhenti ditengah jalan ya.
Manusia Akan Hidup Jika Digerakkan
Mengapa saya menganggap bahwa manusia itu seperti boneka marionette? Karena saya selalu berpikir bahwa keinginan atau kemauan yang dimiliki oleh manusia tidak sepenuhnya berdasarkan pandangan dari diri manusia tersebut. Ketika keinginan atau kemauan manusia muncul pasti ada sebuah motif yang mendasarinya.Â
Seperti manusia yang ingin membeli celana jeans, pasti motif awalnya ialah ia melihat orang lain memakai celana jeans dan ia mengimajinasikan dirinya menggunakan celana jeans yang sama dan merasa keren. Lalu, pada akhirnya ia memiliki keinginan untuk membeli celana jeans yang sama. Lalu, apakah itu bisa dikatakan sebagai keinginan atau kemauan otentik yang seratus persen berasal dari diri manusia itu?
Jika kita membahas tentang keinginan atau kemauan dengan melihat melalui perspektif sosial, menurut Willian L. Neuman, beliau mengatakan bahwa ada lima tahapan proses kemauan, antara lain: a) adanya motif, b) mempertimbangkan, c) memutuskan, d) perjuangan motif, d) melaksanakan kemauan.Â
Hal ini lah menjadi dasar yang membuat saya percaya bahwa keinginan manusia itu tidak benar-benar berasal dari dirinya. Bagaimana tidak? Tahapan awal yang dikatakan oleh Neuman dengan adanya motif itu adalah sebuah proses visualisasi dari diri manusia. Maksud proses visualisasi ialah, ketika manusia melihat sesuatu dan mengingatnya.Â
Seperti contoh diatas tentang celana jeans, seseorang melihat bahwa celana jeans itu sangat keren dan ia memvisualisasikan dirinya menggunakan celana jeans tersebut, lalu terlihat keren. Lantas, muncul sebuah keinginan untuk mempunyai celana jenas tersebut, seperti penjelasan contoh diatas.
Lantas bagaimana jika seluruh kehidupanmu nyatanya bukan digerakan oleh dirimu sendiri? melainkan itu hasil dari orang lain yang ingin kamu contoh? Hal tersebut tidaklah menjadi sesuatu yang salah ketika kita mencontoh orang lain, karena itu konsekuensi dari hidup bersosial. Namun, secara tidak langsung kita bisa menganggap bahwa hidup kita digerakan oleh orang lain secara langsung ataupun tidak langsung, iya kan? Saya yakin kalian semua pasti bingung pada tahap ini.
Saya selalu percaya bahwa segala yang kita putuskan itu merupakan hasil dari visualisasi yang kita lihat. Seperti halnya, seseorang bercita-cita menjadi seorang akuntan. Sebelum ia menetapkan dirinya akan menjadi seorang akuntan, proses pertama yang akan ia alami ialah, munculnya sebuah informasi terkait akuntan di lingkungan rumahnya ataupun di media sosial. Hal tersebut terus menerus muncul di kehidupannya, lalu lama-kelamaan hal tersebut menempel dibenaknya dan pada akhirnya ia memutuskan menjadi seorang akuntan.
Hal tersebut yang saya maksud bahwa kehidupan kita tidak sepenuhnya digerakan oleh diri kita. Contoh diatas bisa masuk kedalam segala jenis cita-cita atau kemauan yang ingin dimiliki oleh manusia. Gambaran dasarnya seperti ini, segala sesuatu yang diinginkan oleh manusia pasti berdasar pada hal yang mereka lihat terlebih dahulu.
Lalu, hal tersebut terus menerus muncul dikehidupannya dan pada akhirnya hal tersebut selalu teringat olehnya. Pada akhirnya hasil putusan yang ia tetapkan bukanlah seratus persen dari keinginan mereka tapi berdasarkan hasil pencampurkan dari informasi yang orang lain berikan.
Secara tidak langsung hidup kita digerakan oleh orang lain, ya walau tidak secara langsung. Mengapa saya beranggapan demikian? Saya pernah membaca sebuah literature yang membahas tentang teknik komunikasi. Didalam itu, memaparkan beberapa teori yang membahas terkait dengan propaganda.Â
Bagi kalian yang belum tahu, propaganda adalah sebuah teknik komunikasi yang bertujuan mempengaruhi pandangan. Menurut Edward Bernays, propaganda adalah usaha yang memiliki sifat yang konsisten dan juga secara terus menerus untuk dapat menciptakan dan membentuk berbagai peristiwa dengan tujuan mempengaruhi hubungan publik.
Tentunya hal tersebut sangat masuk di dalam kehidupan sosial masyarakat. Misal, mengapa remaja Indonesia yang sedang memilih kuliah lebih banyak memilih jurusan ilmu Ekonomi atau ilmu Hukum? Karena lingkungan yang memberikan informasi secara terus menerus tentang hal tersebut. Dikatakan dengan memilih jurusan itu dimasa depan hidup kalian akan terjamin dan juga memilih jurusan itu tidak terlalu sulit ketimbang memilih jurusan Kedokteran.
Berakar dari hal tersebut, saya selalu menafsirkan bahwa kehidupan manusia tidak benar-benar dijalankan oleh diri mereka sendiri, melainkan digerakkan oleh orang lain secara langsung maupun tidak langsung. Contoh kehidupan manusia digerakkan secara langsung mungkin kita bisa menafsirkan tentang bagaimana kehidupan seorang anak yang digerakan oleh orang tuanya, terkait kehidupan sekolahnya, terkait pemilihan pekerjaannya, ataupun pemilihan pasangan hidupnya. Itu contoh kehidupan manusia digerakkan secara langsung. Lalu, bagaimana jika kehidupan manusia digerakan secara tidak langsung? Hal tersebut masuk kedalam bentuk propaganda tadi, seperti yang sudah dijelaskan diatas.
Ketika informasi yang sama terus menerus muncul di kehidupan seseorang dan lambat laun hal tersebut akan melekat dalam kehidupannya. Adanya sosial media juga sangat berpengaruh dalam mengarahkan hidup manusia, mengarahkan untuk membeli kebutuhan sehari-harinya atau mengarahkan harus menjadi apa di masa depan. Hal ini seperti kita sakit panas lalu dokter menyuntikkan obat menggunakan jarum suntik. Efek yang akan dihasilkan tidak langsung terasa namun lama-kelamaan efek tersebut muncul dan mempengaruhi seluruh tubuh manusia.
Hal itu juga berhubungan dengan keinginan atau kemauan yang dimiliki oleh manusia yang tidak seratus persen ditentukan oleh manusia tersebut. Melainkan keinginan atau kemauan yang sudah dipengaruhi oleh orang lain. Saya selalu beranggapan, bahwa hidup manusia ini selalu digerakan oleh orang lain secara langsung maupun tidak langsung, kita tidak akan pernah bisa memutuskan sesuatu hal yang otentik seratus persen menggunakan keinginan kita. Melainkan hal tersebut pasti bercampur dengan informasi yang kita dapat dari luar hidup kita.
Salam damai semua :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H