“Pak, anak-anakmu sudah jadi orang sekarang,” kata Sunarsih ketika ziarah di makam suaminya suatu hari. “Kalau kau masih hidup tentu kau akan menangis seperti aku sekarang. Anak perempuanmu yang pertama kawin dengan orang desa. Anaknya dua, cucumu sudah dua sekarang.
“Anak lanangmu sekarang pandai mencari uang. Kerja di pelabuhan. Aku dibelikannya baju-baju bagus. Kadang untuk menyenangkanku dia mengajak ke pasar dan menyuruhku memilih kerudung yang aku sukai. Ya anak lanangmu itu yang menyekolahkan adiknya sampai tamat. Sekarang anak perempuanmu yang terakhir akan kawin. Dapat laki temannya Bima, mestinya pandai mencari uang juga lakinya nanti. Dan aku beri tahu, anak-anakmu sangat pintar. Nilai mereka selalu masuk ranking. Dan tingkah mereka tidak neko-neko.Pantasnya mereka mendapat jodoh yang baik.
“Pendeknya, Pak, kamu akan gembira menyaksikan mereka. Dulu kita hidup terlunta-lunta di penampungan. Lalu dipindah ke pinggir kali. Kita yang tidak pernah bersekolah bisa membesarkan dan menyekolahkan anak-anak kita sampai lulus. Kita yang dibawa dari dusun...Kok kersane Gusti, anak-anak gelandangan bisa sekolah dhuwur. Oalah, Pak, Pak...”
Setelah menikah Sulis tinggal bersama suaminya. Mereka menyewa sebuah kamar yang letaknya tidak jauh dari pelabuhan. Meski suaminya berasal dari kota kabupaten yang bersebelahan dengan kota ini, pada awal-awal perkawinannya mereka menyewa sebuah kamar yang letaknya tidak jauh dari pelabuhan. Supaya dekat dengan tempat kerja. Kelak ketika usia kandungannya tua, Sulis diboyong oleh suaminya ke rumah orang tuanya. Dan di sana mereka selanjutnya tinggal.
Satu demi satu Sunarsih mulai ditinggalkan anak-anaknya. Tinggal Bimo yang menemaninya di rumah. Itu pun sepertinya tidak akan lama. Bimo jatuh cinta pada penjaga warung di tempat kerjanya. Gadis itu sudah berkali-kali diajak ke rumah. Sunarsih berpesan agar jangan terlalu lama pacaran. Dia pernah muda. Masa di mana gairah sesaat bisa menentukan masa-masa selanjutnya. Dia tidak ingin anak lelakinya berbuat keliru terhadap gadis pacarnya.
Benar saja. Kurang dari satu tahun Bimo kawin. Karena kedua-duanya bekerja di lokasi yang sama, Bimo bersama istrinya menyewa kamar di tempat yang dulu disewa oleh adiknya.
Sunarsih merasa lega. Anak-anaknya sekarang telah kawin. Kewajibannya sebagai seorang ibu telah tuntas. Anak-anaknya telah mandiri dan berkeluarga. Rupanya umurnya cukup panjang untuk bisa hidup melihat cucu-cucunya. Hidup mereka juga tidak semiskin dirinya dulu. Kalau pun tidak menjadi kaya paling tidak mereka tidak menjadi gelandangan kota sebagaimana dulu ditakutkan ketika anak-anak itu dilahirkan. O, masa-masa hitam. Dulu sempat terpikir agar anak-anak yang lahir itu dititipkan pada arus sungai saja. Kelewat takut dia membayangkan masa depan anak-anaknya kelak.
Kini tinggal di rumah sendirian tanpa anak-anak terasa sunyi. Anak perempuan biasanya membawa masuk suaminya ke dalam keluarganya. Dengan begitu mereka bisa merawat ibu mereka yang menapak usia senja. Tapi Sunarsih tidak mau memaksa anak-anaknya yang tidak ingin tinggal di sini. Dia sendiri berharap anak-anaknya keluar dari tempat ini. Memang lebih baik kalau mereka tidak tinggal di sini. Lingkungan di sini dapat berpengaruh buruk pada anak-anak mereka nanti.
Untungnya tetangga di kampung adalah orang-orang baik. Mereka mau saja menemani Sunarsih. Apalagi kalau anak-anak Sunarsih datang bersama cucunya. Tetangga-tetangga perempuan akan datang mengerumuni. Sebagian dari mereka ada yang pernah tinggal di penampungan bersama-sama. Mereka memuji-muji Marsidi dan Sunarsih di hadapan bayi-bayi yang sedang digendong. Mereka tahu nenek mereka dulu adalah kembang lelaki di timur sana. Diam-diam mereka iri, peruntungan berpihak pada Sunarsih.
Tapi kesunyian itu terusik dengan beredarnya berita pemukiman yang ada di atas stren kali akan segera digusur. Kampung-kampung lain yang terletak di stren kali telah lebih dulu digusur. Orang-orang kampung mengusahakan berbagai cara agar tidak dilakukan penggusuran terhadap rumah-rumah mereka. Mereka bersama dengan warga dari kampung lain yang tinggal di sepanjang aliran sungai membentuk paguyuban warga stren sebagai wadah perjuangan bersama.
Ketiga anak Sunarsih berembug lewat telepon. Mereka memutuskan ibunya akan ikut bersama Isnawati ke desa. Saat ini Bimo dan Sulis bekerja di luar pulau. Majikan mereka mengirim mereka ke sana untuk mengawal pekerjaan di sana.