Mohon tunggu...
Chandra Budiarso
Chandra Budiarso Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Iseng

Buah Pikiran

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dinasti Politik, Stagnasi Demokrasi?

18 Juli 2020   23:28 Diperbarui: 21 Juli 2020   08:06 659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dinasti politik ala Cikeas dan Cendana menjadi bahan olok-olokan para pendukung Jokowi. Sebut saja, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang sempat dibully karena maju sebagai calon Gubernur DKI Jakarta 2017. 

Narasi yang digaungkan adalah bahwa AHY tak lebih dari kepanjangan tangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang 'masih ingin berkuasa', berbeda dengan anak-anak Jokowi yang cenderung memilih hidup mandiri dengan membangun bisnis masing-masing.

Namun pada hari ini, semenjak diumumkannya bahwa Gibran Rakabuming Raka resmi didukung oleh PDIP sebagai calon Wali Kota Solo, membuyarkan semua citra Jokowi. 

Citra Jokowi yang memutus berbagai stereotip politisi di Indonesia, pada akhirnya sama saja. Banyak masyarakat yang kecewa dengan majunya Gibran sebagai calon Wali Kota, karena dianggap akan menciptakan dinasti politik yang baru.

Namun begini,

Yang saya lihat adalah, kekecewaan itu muncul karena sejak awal Jokowi diberikan ekspetasi yang tinggi dalam kancah politik Indonesia. Bagi sebagian orang, Jokowi dianggap sebagai permata didalam kubangan lumpur. Jokowi adalah antipati dari politik mainstream. Jokowi dianggap 'mesias' bagi sistem politik Indonesia.

Sayangnya, Jokowi tetaplah politisi. Sesungguhnya, hal itu sudah seharusnya tercium sejak beliau menerima pinangan Megawati dan mencalonkan diri sebagai Presiden, sebelum jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta tuntas. 

Ditambah lagi, gelagatnya dalam pemilihan anggota kabinet, serta reshuffle yang kerap kali dilakukan, menunjukan bahwasannya Jokowi tetaplah politisi biasa yang perlu berkompromi dan mengakomodasi kepentingan semua. 

Hal ini tidak hanya berlaku dalam pemilihan Kabinet Indonesia Kerja (2014), tetapi juga dalam pemilihan Kabinet Indonesia Maju (2019).

(Sejujurnya saya sedih mengatakan ini, tetapi fakta bahwa politik Indonesia masih berupa politik akomodasi adalah fakta yang tak dapat ditampik. Ego Partai Politik masih menjadi salah satu pertimbangan seorang Presiden, dan bagi saya, mau tidak mau, suka tidak suka, Jokowi harus melakukan itu dalam pemilihan kabinetnya)

Lalu, bagaimana dengan majunya Gibran sebagai calon Wali Kota Solo? Secara konstitusi, ini adalah sesuatu yang sah. Namun perlu diingat, bahwa menjadi seorang Kepala Daerah adalah perjalanan politik yang dapat menimbulkan banyak persoalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun