Mohon tunggu...
Chandra Budiarso
Chandra Budiarso Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Iseng

Buah Pikiran

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

"Buy And Hold Forever" Ala Investor Nilai

15 Juli 2020   14:54 Diperbarui: 15 Juli 2020   15:01 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pergerakan harga saham PT. Bukit Asam, Tbk (PTBA)

"Our favorite holding period is forever"

--- Warren Buffett

Kalimat diatas cukup jelas menggambarkan konsepsi Buffett mengenai investasi saham. Statusnya sebagai investor tersukses di dunia, menjadikan filosofi yang ia terapkan  ditiru oleh banyak orang.  Sepanjang karirnya, Buffett dikenal sebagai investor penyabar dan berkepala dingin. Fluktuasi harga dan suasana pasar tidak banyak memengaruhi keputusan investasinya selama hampir 80 tahun. Itulah mengapa konsep "buy and hold forever" seolah melekat pada dirinya.

Seperti yang diketahui, melalui Berkshire (Perusahaan yang dipimpin Buffett), Buffett membeli saham Coca-Cola pada tahun 1988 dan hingga saat ini saham itu masih dimilikinya. Pada awal tahun 2000 ketika bisnis internet dan teknologi booming dan memberikan return hingga ribuan persen bagi banyak investor, ia tetap setia memegang saham Coca-Cola dan beberapa saham low-tech lainnya. Buffett tetap berkepala dingin menghindari saham-saham high-tech dan stick with his own value, dimana ia tidak akan berinvestasi pada bisnis yang tidak dapat dipahaminya. Sebagai konsekuensi atas konsistensinya, Buffett seringkali ditertawakan oleh banyak investor lain karena dianggap terlalu menutup diri terhadap masa depan teknologi.

"This is the end of Warren Buffett era"

--- Sebagian besar investor pada masa itu

Tidak lama, saham-saham teknologi mulai runtuh dan "memakan banyak korban". Buffett survive.

Mengenai konsep buy and hold forever,

Mengulik filosofi mengenai "buy and hold forever" dapat menciptkan miskonsepsi bila ditelan mentah-mentah. Dengan kemajuan teknologi,  tulisan atau artikel mengenai saham yang cocok untuk di "buy and hold forever" sangat mudah ditemukan dimana-mana dan dampaknya bisa saja berbahaya terutama bagi seorang pemula yang kemungkinan besar akan mengikuti rekomendasi tersebut tanpa mempertimbangkan lebih jauh. Padahal pada kenyataannya, tidak ada yang pasti dalam dunia pasar modal dan poin ini sering kali terasingkan oleh historis harga suatu saham yang konsisten mengalami kenaikan.

Konsep "buy and hold forever" perlu dipahami dengan mempertimbangkan aspek lain yang dibawa Buffett dalam keputusan investasinya. Bukan rahasia umum, Buffett selalu membeli perusahaan yang baik dari segala sisi : kinerja bisnis itu sendiri hingga manajemen yang berintegritas. Bagi Buffett, kriteria yang ia buat sebagai standar investasinya dalam memilih saham, mutlak harus dipenuhi oleh sebuah perusahaan sebelum ia berinvestasi didalamnya.

Dalam dunia bisnis, kinerja sebuah perusahaan selalu tercermin dari laporan keuangannya. Itulah mengapa kualitas manajemen menjadi salah satu pertimbangan Buffett dalam memilih saham, karena laporan keuangan harus benar-benar menjadi cerminan kinerja dan bukan hasil make up. Dengan pertimbangan demikian, Garuda Indonesia sepertinya tidak akan pernah memenuhi kriteria Buffett sebagai perusahaan yang sahamnya layak dibeli. Sepertinya.

Lanjut lagi,

Menjembatani filosofi "buy and hold forever", dengan pertimbangan Buffett dalam memilih saham, maka sebenarnya yang diharapkan dan perlu dicari oleh para investor adalah perusahaan yang terus konsisten, memiliki kinerja bertumbuh, economic MOAT yang kuat, hingga sektor industri yang diharapkan dapat eksis "selamanya". Namun, secara subjektif saya merasa bahwa tidak ada yang bisa memprediksi bisnis jenis apa yang akan bertahan selamanya, karena setiap industri memiliki siklus bisnis tertentu, sehingga ide "buy and hold forever" menjadi ide yang kurang relevan untuk dilakukan. Dunia yang semakin dinamis, industri yang terus bertumbuh, hingga berkembangnya teknologi secara pesat adalah faktor yang membuat resiko atas ide "buy and hold forever" menjadi semakin besar.

Di Indonesia sendiri, seringkali terjadi miskonsepsi mengenai filosofi ini. Perusahaan-perusahaan dengan kapitalisasi pasar besar (bluechip) sering dianggap sebagai perusahaan yang layak untuk di "buy and hold forever". Padahal, kenyataannya tidak selalu demikian. Ada perusahaan-perusahaan bluechip yang secara harga saham tidak bertumbuh dan cenderung cyclical (naik-turun pada periode tertentu), meskipun bisa saja kedepannya menjadi bertumbuh. Tidak ada yang mampu memprediksi.

Pergerakan harga saham PT. Perusahaan Gas Negara, Tbk (PGAS)
Pergerakan harga saham PT. Perusahaan Gas Negara, Tbk (PGAS)

Pergerakan harga saham PT. Bukit Asam, Tbk (PTBA)
Pergerakan harga saham PT. Bukit Asam, Tbk (PTBA)

Dua saham diatas masuk kategori bluechip stocks, namun pergerakan harganya sejauh ini "tidak kemana-mana" dalam jangka waktu yang relatif panjang. Itu artinya ide untuk "buy and hold forever" kedua saham diatas mungkin bukanlah ide yang baik meskipun masuk kategori bluechip, apalagi bagi seorang investor retail yang secara umum mencari keuntungan melalui capital gain. Label suatu saham: bluechip, second-liner, ataupun gorengan, tidak memengaruhi apapun. 

Pasar tetap bertingkah semaunya.

Di Indonesia, kita mengenal Bapak Lo Kheng Hong (Pak Lo) sebagai The Indonesian Warren Buffett. Ia dinilai sebagai salah satu orang yang sukses mengaplikasikan ilmu Buffett dalam keputusan investasinya.

Secara historis, saham yang banyak menguntungkan Pak Lo adalah saham yang bertipe cyclical dan mayoritas berada pada sektor komoditas. Sebut saja saham INDY dan INKP yang membuatnya untung hingga ribuan persen.  Dengan tipikal saham cyclical, Pak Lo tentu tidak akan menerapkan "buy and hold forever" dalam gaya investasinya.

Sebagai contoh,

Pak Lo membeli saham INDY tahun 2013 kemudian melepasnya ditahun 2016 karena perusahaan tersebut mengalami kerugian yang tercermin dalam laporan keuangannya. Hal ini adalah bukti bahwa investasi memerlukan independensi dan sikap adaptif terhadap pasar, bukan sekedar berlandaskan keyakinan pada orang lain meski ia seorang investor sekelas Warren Buffett sekalipun. 

Dengan kata lain, meskipun saham yang dibeli dikategorikan sebagai bluechip-stocks, seorang investor sewajibnya tetap melakukan maintanance dan pemantauan terhadap saham yang dipegangnya. Ingat, tidak ada yang pasti di pasar saham.

Satu hal yang saya yakini adalah Pak Lo sukses sebagai investor saham karena memiliki caranya sendiri dalam berinvestasi, disamping ia memang mengidolakan Buffett dan membaca semua bukunya. Ada nilai yang ia bawa; Bukan cara, apalagi pilihan saham Buffett.

Konsep buy and hold forever bukanlah konsep yang sama sekali salah dalam berinvestasi. Setiap orang memiliki pertimbangan dan pemikiran masing-masing mengenai keputusan investasinya. Namun perlu diingat bahwa dalam proses bertumbuhnya suatu saham juga diperlukan kinerja nyata perusahaan yang bekerja dibaliknya. Saham BBCA misalnya, dinobatkan oleh banyak orang sebagai saham terbaik kerena telah tumbuh secara konsisten selama belasan tahun dan melewati berbagai gejolak ekonomi, termasuk krisis ekonomi global tahun 2008. Namun saya yakin, bahwa pada tahun 2005 tidak ada seorangpun yang mencap BBCA sebagai saham terbaik (Alasannya adalah karena belum ada yang tahu bagaimana kinerja perusahaan dan ketahanan harganya di dalam pasar).

Narasi-narasi seperti: "Kalian beli saham BBCA  15 tahun yang lalu seharga Rp10 juta, maka tahun ini kalian akan memiliki uang Rp168 juta" biasanya disampaikan untuk menggaet calon-calon pelaku pasar modal yang baru, sehingga akan menarik minat banyak orang untuk berinvestasi. Seolah, setiap orang bisa kaya tanpa melakukan apa-apa di pasar saham.

Pak Lo yang sudah berinvestasi di pasar modal selama puluhan tahun, kini juga dikenal sebagai the sleeping investor karena membiarkan uangnya bertumbuh sendiri melalui pasar modal. Diksi yang dipakai oleh Pak Lo boleh menjadi sangat menarik karena sepertinya memungkinkan seseorang untuk tidur sambil  menghasilkan uang yang sangat banyak dari pasar modal. Sayangya kebanyakan orang berhenti sampai disini tanpa mencari tahu mengenai diksi "tidur" lebih dalam dari pernyataan Pak Lo.

Bila ingin menelaah lebih dalam diksi "tidur" milik Pak Lo, mari kita melihat keseharian Pak Lo.

Hampir setiap hari dari pagi, siang, sore hingga malam Pak Lo duduk di halaman rumahnya melakukan tiga hal yang ia sebut sebagai RTI : Reading, Thinking, Investing. Ia membaca koran yang datang ke rumah setiap hari, laporan keuangan perusahaan dan data statistik pasar modal. Selain ketekunannya dalam membaca, Pak Lo juga seringkali berada pada posisi berlawanan dengan pialang sahamnya ketika memutuskan untuk berinvestasi. Seorang "investor tidur" harus cukup andal untuk menjaga kepala tetap dingin, dan Pak Lo melakukannya dengan baik.

Pun, Buffett melakukan hal serupa. Dalam buku-bukunya sering kali ditulis bahwa Buffett selalu menghabiskan setidaknya enam jam per hari untuk membaca buku dan koran dalam ruangan pribadinya. Selain itu, pengalamannya berhadapan dengan euforia saham teknologi telah membuktikan kapasitasnya sebagai sekaligus menjadi alasan mengapa Buffett menjadi seorang Buffett yang kita kenal sekarang.

Mungkin terdengar mudah dan sederhana, namun pada kenyataannya, tidak semua orang mampu menggapai tingkatan yang mereka capai.

Frasa "investor tidur" memang cukup menggugah dan sering dipakai sebagai gambaran format ideal seorang investor. Namun jika ditelaah lebih dalam, profesi sebagai "investor tidur" jauh lebih banyak menuntut profesionalisme, tanggung jawab, konsistensi, dan independensi seseorang dalam mengambil keputusan, terutama dalam masa-masa krisis seperti sekarang ini.

Dunia pasar modal memiliki persepsi tak berhingga. Ada yang menganggapnya sebagai harta karun dan mesin pencetak uang, namun tak sedikit pula yang menganggapnya sebagai mesin pembakar uang yang tidak kenal ampun. Apapun persepsi orang, tidak ada yang salah, karena semua orang punya cerita. 

Namun kata-kata Rafiki dari Film Lion King boleh jadi pertimbangan :

"Oh yes, the past can hurt. But the way I see it you can either run from it or learn from it"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun