Dalam dunia bisnis, kinerja sebuah perusahaan selalu tercermin dari laporan keuangannya. Itulah mengapa kualitas manajemen menjadi salah satu pertimbangan Buffett dalam memilih saham, karena laporan keuangan harus benar-benar menjadi cerminan kinerja dan bukan hasil make up. Dengan pertimbangan demikian, Garuda Indonesia sepertinya tidak akan pernah memenuhi kriteria Buffett sebagai perusahaan yang sahamnya layak dibeli. Sepertinya.
Lanjut lagi,
Menjembatani filosofi "buy and hold forever", dengan pertimbangan Buffett dalam memilih saham, maka sebenarnya yang diharapkan dan perlu dicari oleh para investor adalah perusahaan yang terus konsisten, memiliki kinerja bertumbuh, economic MOAT yang kuat, hingga sektor industri yang diharapkan dapat eksis "selamanya". Namun, secara subjektif saya merasa bahwa tidak ada yang bisa memprediksi bisnis jenis apa yang akan bertahan selamanya, karena setiap industri memiliki siklus bisnis tertentu, sehingga ide "buy and hold forever" menjadi ide yang kurang relevan untuk dilakukan. Dunia yang semakin dinamis, industri yang terus bertumbuh, hingga berkembangnya teknologi secara pesat adalah faktor yang membuat resiko atas ide "buy and hold forever" menjadi semakin besar.
Di Indonesia sendiri, seringkali terjadi miskonsepsi mengenai filosofi ini. Perusahaan-perusahaan dengan kapitalisasi pasar besar (bluechip) sering dianggap sebagai perusahaan yang layak untuk di "buy and hold forever". Padahal, kenyataannya tidak selalu demikian. Ada perusahaan-perusahaan bluechip yang secara harga saham tidak bertumbuh dan cenderung cyclical (naik-turun pada periode tertentu), meskipun bisa saja kedepannya menjadi bertumbuh. Tidak ada yang mampu memprediksi.
Dua saham diatas masuk kategori bluechip stocks, namun pergerakan harganya sejauh ini "tidak kemana-mana" dalam jangka waktu yang relatif panjang. Itu artinya ide untuk "buy and hold forever" kedua saham diatas mungkin bukanlah ide yang baik meskipun masuk kategori bluechip, apalagi bagi seorang investor retail yang secara umum mencari keuntungan melalui capital gain. Label suatu saham: bluechip, second-liner, ataupun gorengan, tidak memengaruhi apapun.Â
Pasar tetap bertingkah semaunya.
Di Indonesia, kita mengenal Bapak Lo Kheng Hong (Pak Lo) sebagai The Indonesian Warren Buffett. Ia dinilai sebagai salah satu orang yang sukses mengaplikasikan ilmu Buffett dalam keputusan investasinya.
Secara historis, saham yang banyak menguntungkan Pak Lo adalah saham yang bertipe cyclical dan mayoritas berada pada sektor komoditas. Sebut saja saham INDY dan INKP yang membuatnya untung hingga ribuan persen. Â Dengan tipikal saham cyclical, Pak Lo tentu tidak akan menerapkan "buy and hold forever" dalam gaya investasinya.
Sebagai contoh,