Pion pun menambahi. “Sampeyan pasti masih kesal karena sendalnya pernah diinjek orang yang ternyata sendal orang itu abis nginjek tai kucing ya mas Bas!”
Semua kembali tertawa. Dan hanya Basirin yang sewot karena mengingat kejadian itu.
“Soal tai kucing itu.... Eh, soal teladan itu, menurutku, kalau kita gak serius menyikapinya, suatu saat akan jadi boomerang buat bangsa ini. Tanda-tandanya sudah tampak loh, saat ini gak sedikit generasi penerus yang mulai mencari teladan dari ‘luar’. Dan bila ini dibiarkan terus-menerus, gak menutup kemungkinan bangsa ini akan kehilangan jati dirinya,” Klinying tampak serius memberi argumen.
“Lha terus gimana solusinya Nying?” tanya Basirin.
“Ya ayo kita semua, mulai dari diri sendiri, mulai dari hal yang kecil, memberi contoh yang baik dalam kehidupan kita”.
“Masalahnya, itu sepertinya mudah diucapkan tapi sulit untuk melaksanakan kata-kata itu Nying!”
“Itu lah sampeyan, selalu pesimis orangnya. Dan menurutku, dengan ngomong begitu, artinya sampeyan sendiri enggan untuk konsisten menerapkannya!” Klinying balik menyerang Basirin yang ngeyel.
“Loh...kok...,”
Lagi-lagi Klinying menyerang Basirin yang berusaha menghindar. “Sudahlah mas Basirin yang terhormat, gak usah lah kak kok, sekarang ayo kita lakukan, titik!”
Pion yang kemudian mengambil inisiatif. Anggota paling muda di Panggon Nggedabruz itu lalu berdiri dan berjalan ke arah sendal yang berantakan di depan surau. Sat set Pion dalam waktu singkat menyelesaikan menata sendal dalam keadaan rapi dan sendal-sendal itu kini berbaris membelakangi surau.
Pion berdiri diantara kawan-kawannya yang masih duduk di lantai sambil membersihkan tangannya. “Sebelum aku adzan, aku pingin dengar mas, apa dasarnya sampeyan tadi nanya ke kami soal teladan apa yang akan diberikan untuk bangsa dan negara ini?”