Mohon tunggu...
sichanang
sichanang Mohon Tunggu... Lainnya - Gak perlu ucapan terimakasih atas pelaksanaan tugas!

Penulis. Pernah cantumin pekerjaan 'penulis' di ktp tapi diganti sama pak RT. Blog pribadi : http://sichanang.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Serasa Menyesal Aku Tak Sekolah TK

7 Januari 2024   07:00 Diperbarui: 7 Januari 2024   11:21 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah berkesempatan mengunjungi TK Muslimat Khodijah 157 Rogojampi, Banyuwangi, sejujurnya aku merasa menyesal dulu tidak sekolah PAUD dan TK. 

Di ujung timur pulau Jawa ini aku melihat dari dekat betapa menyengangkannya sekolah PAUD dan TK. Banyak hal yang berguna bagi proses menjadi manusia seutuhnya dari jenjang sekolah ini. Ya, di era kurikulum merdeka ini memang proses pembelajarannya bertujuan agar anak memiliki persepsi bahwa belajar itu menyenangkan.

Di sekolah ini beragam upaya ditempuh agar dapat memfasilitasi tumbuh kembang anak usia dini secara optimal. Pagi hari saat peserta didik datang diantar orang tuanya, aku melihat bunda-bunda yang tulus menyambut dengan senyuman. 

Masuk dari gerbang sekolah, aku melihat halaman sekolah yang nyaman dan banyak tanaman yang tumbuh subur disana. Tak jauh dari gerbang berjejer kran air untuk cuci tangan. 

Mengintip kelas, kulihat bunda-bunda guru mengajar dan bermain bersama murid-murid yang antusias. Sekilas pandang itu sangat mengesankan dan jujur membuatku menyesal tak pernah mengenyam bangku sekolah PAUD dan TK.

Ditambah lagi hasil perbincanganku dengan ibu kepala sekolah yang menceritakan bahwa menurut pengakuan salah satu orang tua murid, mengapa menyekolahkan anaknya di TK 157 ini.

"Untuk membuat buket yang baik saja perlu memilih vas dan bunga terbaik, maka untuk sekolah anak pun juga demikian!" Begitu kata salah satu orang tua seperti diceritakan bu Ida dengan penuh semangat.

Dan benar saja, kalau selama ini yang aku tahu, sekolah PAUD dan TK biasanya dihuni oleh anak-anak dari sekitar, baik itu lingkup RW, dukuh atau desa saja, tidak demikian dengan sekolah ini. Muridnya yang berjumlah 300an anak itu berasal dari 8 Kecamatan yang tersebar di Kabupaten Banyuwangi. Sungguh ini luar biasa.

Kolaborasi yang Kuat

Sisi menarik lainnya yang kulihat di sekolah 157 ini adalah kuatnya kolaborasi antara sekolah dengan berbagai pihak terkait. Komunikasi yang baik dengan Dinas Pendidikan sebagai kepanjangan Kemendikbudristek, khususnya Direktorat PAUD tampak pada terimplementasinya dengan baik program-program yang ada, seperti salah satunya, yaitu program PAUD Holistik Integratif.

Dalam implementasi delapan layanan esensial anak usia dini, kolaborasi tak hanya dijalin dengan Organisasi Pemerintah Daerah saja, namun juga melibatkan para profesional, bahkan orang tua pun turut terlibat aktif didalamnya. Baiknya kerjasama ini berdampak positif pada peserta didik. 

Kerjasama dengan Disdukcapil dan Kelurahan menjadikan anak mudah dalam memperoleh kepemilikan NIK dan KIA. 

Kerjasama dengan Dinas Kesehatan dan RS NU Banyuwangi menjadikan anak memperoleh pemenuhan gizi dan kesehatan, serta pemantauan tumbuh kembang anak berlangsung dengan baik. Selain berbagai fasilitas di sekolah pun juga memadai, termasuk air bersih dan sanitasi, serta adanya wastafel di tiap kelas.

Foto (dokpri)
Foto (dokpri)

Keterlibatan orang tua juga cukup menarik, tak hanya adanya kelas orang tua, namun orang tua juga menjadi duta-duta. Ada duta pendidikan, duta kesehatan, duta pengasuhan, duta keamanan & perlindungan, serta duta kesejahteraan. Menariknya, para duta ini dipilih dari orang tua yang memiliki latar belakang terkait dengan profesi atau keahliannya. 

Ada pun untuk kelas orang tua, banyak kegiatan yang dilaksanakan, seperti dengan menghadirkan psikolog yang menyampaikan bekal ilmu parenting para orang tua. Sehingga, tanggung jawab pendidikan dan pengasuhan tidak seluruhnya dibebankan pada sekolah. 

Orang tua memiliki pengetahuan untuk yang cukup dengan pemahaman bahwa bermain adalah belajar, dan itu merupakan sesuatu yang harus menyenangkan bagi anak. Disini terjalin sinergi yang baik dalam pendampingan anak sebagai generasi masa depan.

Mengetahui berbagai hal terkait pendidikan anak usia dini yang mengedepankan pengembangan karakter dan kemampuan anak, serta kemampuan dan kesiapan anak bersekolah di jenjang selanjutnya, benar-benar membuatku serasa ingin kembali ke masa itu. Masa-masa yang menyenangkan dan penuh kegembiraan.

Semoga Benar Merdeka Bermain

Kini pemerintah telah mengusung kurikulum merdeka belajar dan merdeka bermain. Lalu apa saja yang perlu dilakukan agar tujuan itu dapat tercapai?

Pertama, yaitu ciptakan suasana gembira. Pada beberapa sekolah, guru di kelas kerap disebut sebagai 'pawang' bagi murid-muridnya. Oleh karenanya, seperti di atas kusampaikan bahwa senyum tulus guru itu sangat menyenangkan, maka suasana gembira di kelas pun akan terbangun apabila dimulai dari senyum guru. Bukan wajah seram guru. Kalau gurunya murah senyum, tentu suasana di kelas pun akan terbangun kegembiraan. 

Terkadang ada guru-guru yang lupa membawa persoalan pribadinya ke dalam kelas, sehingga dia jadi lupa untuk menebar senyum. Padahal orang bijak bilang, senyum itu adalah ibadah. Jadi, dengan senyum tulus maka suasana gembira akan terbangun. Dan semua akan memperoleh pahala.

Kedua, pada beberapa sekolah kini telah dilangsungkan kegiatan belajar di dalam maupun di luar kelas. Ini menarik, karena tidak hanya akan membunuh kebosanan peserta didik. Anak juga dapat menikmati udara bebas serta bergerak bebas dengan ruang yang lebih luas.

Ketiga, pacu aktivitas kreatif. Seperti yang kulihat pada beberapa sekolah, banyak yang memanfaatkan barang bekas dan bahan dari alam sekitar sebagai media membuat mainan. Banyak manfaat yang bisa diambil dari aktivitas ini. Misalnya, anak jadi menghargai benda-benda, anak terpacu membuat kreasi, anak tidak terpaku dengan mainan yang mahal dan baru, dan lain sebagainya.

Keempat, berikan kebebasan memilih. Di satu sekolah aku melihat anak-anak naik-turun, jungkir balik pada alat mainan. Sepintas tampak mengerikan, namun karena sudah terbiasa melakukan hal itu, ternyata bagi anak-anak itu sangat menyenangkan. Jadi, kita tidak bisa selamanya memakai ukuran kita untuk menilai kemampuan orang lain, termasuk anak.

Kelima, menyatu dengan dunia anak. Kita sebagai orang tua harus mampu menyatu dengan dunia anak, jangan paksa anak menjadi seperti kita orang dewasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun